ayya.

Kayla tidak pernah sekalipun berpikir bahwa pemandangan seperti ini akan terjadi tepat di hadapannya. Kayla tidak pernah sekalipun membayangkan bahwa ia akan melewati hal berat seperti saat ini.

Ketika pintu ruang rawat inap Nathan terbuka, sekujur tubuhnya termangu. Akalnya mencoba mencerna ini semua. Jiwanya tidak siap dengan semua prasangka buruk yang mulai bermunculan. Kayla berjalan pelan ke dalam ruangan, berbanding terbalik dengan Rain yang berjalan tergesa.

Rain tidak ingin bertanya mengapa 3 dokter dan beberapa suster itu ada di ruangan ini. Rain tidak ingin bertanya mengapa orang tua Nathan menangis pilu di samping ranjang sahabatnya itu. Rain tidak ingin menatap wajah 2 sahabatnya yang sudah basah karena air mata. Rain hanya berjalan cepat menuju ranjang pasien untuk bertemu sahabatnya, Nathan.

Nafas Rain menghempas kasar ketika ia masih mendapati senyum di wajah Nathan. Tersirat sedikit rasa lega di dadanya. Namun, rahang wajah Rain kembali mengeras saat memandang lebih dekat sahabatnya itu. Rain tahu, Rain dapat merasakannya dari tatapan laki-laki yang telah menjadi sahabatnya sejak SMA ini, ia sedang kesakitan.

“Dok, kenapa diem aja? Nathan kesakitan, Dok!” Marah. Bentakkan yang keluar dari bibir Rain. Matanya mulai merah menahan sesak di dadanya. Para dokter tadi hanya menunduk, merasa bersalah.

Nathan tersenyum kecil lalu menyentuh pelan tangan Rain. Bibirnya terbuka untuk mengatakan sesuatu kepada Rain. “Makasih banyak, Rain. Bu ... buat semuanya. Makasih banyak karena mau temenan ssa ... ma gue dari dulu. Maaf, gue belum jadi sahabat yang baik buat lo. Gue ... titip Kayla, ya? Peri cantik itu ... harus bahagia.”

Rain mencengkram lengan Nathan, “Nggak, gue nggak terima maaf lo kecuali lo sembuh, Nat. Gue nggak mau.”

Hatinya patah melihat sahabatnya dengan keadaan seperti ini. Air matanya tidak bisa lagi Rain tahan ketika Raga dan Ale menarik tubuhnya untuk mundur, memberi Kayla space untuk mendekat dengan Nathan.

“Udah, Rain. Dokter udah ngelakuin yang terbaik tadi ... nggak bisa, Nathan komplikasi sejak awal dia selesai operasi 2 hari lalu. Tubuh Nathan langsung nolak ginjal barunya. Tadi sempet sesek nafas dan kram. Kata mereka, dia bisa sadar dan bicara saat ini udah merupakan keajaiban. Tapi, kerja jantungnya udah mulai menurun, Rain” Setelah mengatakan itu, Raga membalikkan badannya menghadap jendela di luar. Tangannya mengepal keras untu menahan emosi yang sudah akan pecah. Semua, semua orang di ruangan ini merasakan hal yang sama dengannya, takut kehilangan.

Kayla menahan tangisannya ketika sudah mengambil posisi duduk di sebelah ranjang Nathan, ia genggam tangan Nathan yang tidak sehangat biasanya. Ia usap lembut pipi Nathan yang sedikit kering, lalu jari telunjuk kecilnya menyapa senyum tenang yang masih Nathan pamerkan di wajah pucatnya.

“Nathan, sakit, ya?”

Tangan lemah Nathan menggenggam balik tangan mungil itu. Memandang wajah cantik yang akan ia rindukan. “Hm. Tapi ... nggakpapa, bentar lagi sembuh.”

Kayla paham maksud dari kalimat itu, ia tersenyum pedih. Dadanya sesak. Nafasnya mulai tidak beraturan karena dirinya yang kelewat takut. “Nat, maafin Kayla, ya? Maaf Kayla nggak bisa bahagiain Nathan.”

Nathan menggeleng pelan mendengarnya. “Aku yang minta maaf sama kamu, Kay. Maaf aku bikin kamu nangis. Maaf aku ... nggak bisa tepatin janji aku. Maaf dan makasih ... Kamu, tolong terus bahagia, ya? Ada Rain yang bakal jaga kamu waktu aku nggak ada ... .”

Suaranya melemah, semakin rendah. Mata indahnya tidak lagi menatap Kayla dengan fokus. “Kay, bisa janji sama aku untuk tetep bahagia?”

Masih. Masih itu yang Nathan tanyakan saat kalimat yang terucap dari bibirnya terus disertai ringisan. Rain yang memperhatikan interaksi keduanya menggeleng pasrah. Tidak habis pikir, bagaimana bisa masih hal itu yang Nathan tanyakan bahkan di saat matanya sudah tidak terbuka lebar seperti biasanya. Sebesar itu, sepenting itu, kebahagian Kayla bagi Nathan.

Kayla menggeleng berkali-kali dengan air mata yang sudah mulai keluar membasahi pipinya. Namun, Nathan memberikan tatapan memohonnya ketika perempuan itu mengangkat kepala untuk menatap matanya lagi.

“Iya. Janji.”

Nathan tersenyum mendengarnya. “I love you, Kay ... Makasih, dan ... .”

Dan, kalimat Nathan tidak berlanjut lagi setelahnya.

Kayla memejamkan matanya ketika mendengar kalimat itu tidak selesai. Hanya suara dari derasnya air hujan di luar jendela yang dapat ia dengar. Dadanya sangat sesak. Kayla tidak ingin melihat apa yang terjadi di depannya. Kayla hanya terus menggenggam tangan Nathan yang kehangatannya mulai hilang.

“Nathan, maafin Kayla.”

Telinganya dapat mendengar suara tangis yang lebih kencang dari orang tua Nathan, juga Ale. Kayla tidak ingin beranjak dari duduknya di samping laki-laki yang selama ini mencintainya dengan begitu tulus.

“Nat, Kayla belum ajak Nathan makan di mang Ari.”

“Kayla belum kenalin Nathan ke papa.”

“Nat, Kayla bahkan belum pernah beliin Nathan hadiah apapun.”

“Nathan ... ayo jawab ... buka matanya ... .”

Semakin ia menahan suara tangisnya, semakin dadanya sakit. Rasanya seperti ia ditusuk oleh busur panah. Rasanya seperti mimpi buruk. Kata kehilangan tidak pernah sekalipun mudah untuk dihadapi oleh siapapun. Kayla hancur.

“Nathan janji sama Kayla kalau nggak akan pergi kemanapun. Nathan bilang nggak akan tinggalin Kayla. Nathan bilang, Nathan mau pegang kue ulang tahun Kayla tahun depan, kan?”

“Nat, Kayla bahkan belum bilang kangen secara langsung.”

“Ayo jawab, Nat. Kayla tahu Nathan denger.”

“Nat, maaf ... .” Suara Kayla bergetar.

Tubuhnya semakin melemas begitu pundaknya ditarik dalam sebuah rengkuhan hangat. Kayla membuka matanya dan melihat suster yang sedang melepas semua alat bantu di tubuh laki-laki terbaik di dunia ini. Kayla membuka matanya untuk mengambil kesempatan melihat wajah damai laki-laki itu terakhir kalinya. Laki-laki yang mengajarkannya cara untuk mencintai seseorang dengan tulus. Laki-laki yang mengajarkannya untuk selalu menjadi diri sendiri.

Kayla hampir ambruk. Dadanya sakit karena merasa ada sesuatu yang hilang di sana. Hatinya memang bukan milik Nathan, tapi seluruh waktu yang ia punya beberapa bulan terakhir hanya diisi oleh kehadiran laki-laki itu. Laki-laki itu selalu punya tempat di hati Kayla, sebagai seorang sahabat yang sangat berharga untuknya.

Rain memeluk gadisnya lebih erat. Ia tarik Kayla ke dalam dekapan hangatnya. Ia biarkan pundaknya basah oleh tangisan Kayla. Ia biarkan dirinya terlihat lemah di depan Kayla kali ini. Ia biarkan air matanya ikut turun secara terus-menerus membasahi pipinya.

Rain menoleh ke arah jendela di sampingnya. Masih hujan, deras. Memori di kepalanya memutar bagaimana sosok Nathan di matanya. Memutar bagaimana tawa anak laki-laki yang tenang itu. Memutar bagaimana sabarnya anak laki-laki itu menghadapi Raga dan Ale yang sering kali meributkan hal sepele. Memutar bagaimana perilaku random anak laki-laki itu ketika moodnya sedang baik.

Langit di luar bahkan ikut hancur, Nathan. Langit di luar bahkan tidak berhenti mengeluarkan tangisannya. Langit di luar begitu gelap.

Semesta ikut merasa kehilangan sosok laki-laki paling penyayang di bumi ini. Semesta ikut bersedih karena kamu lebih memilih hidup di surga dengan para bidadari.

Perjuangan Nathan selesai sampai di sini.

Nathan sudah sembuh. Nathan sudah sehat. Nathan menutup matanya tanpa penyesalan apapun. Keinginannya untuk menjadi salah satu alasan Kayla bahagia sudah terwujud atas bantuan Rain. Nathan meninggalkan mereka semua dengan senyum damai yang masih terlukis indah di wajahnya.

Waktu itu, Kayla pernah berdo'a ; untuk Mentari agar urusannya cepat selesai dan untuk Nathan agar dipertemukan dengan perempuan yang pantas dengannya.

Keduanya memang terkabul. Namun, Kayla lupa menambahkan permintaan untuk tidak melukai Mentari ataupun Nathan.

Urusan Mentari selesai dengan fakta menyakitkan, Mentari dan Rain yang ternyata sepupu kandung. Juga Nathan yang saat ini sudah dipertemukan dengan bidadari, perempuan yang pantas untuk dirinya.

-hhaolimau_

“APA LO?? LO MAU NGAPAIN?” Jerit Kayla sedikit dipelankan agar tidak menganggu beberapa pengunjung dan pasien yang masih menikmati lalu-lalang angin di udara.

Tubuhnya ditarik berdiri oleh Rain menuju tengah halaman rumah sakit ini. Memang benar kata Nathan, pemandangan di sini sangat nyaman dan indah. Bahkan Kayla yakin beberapa kupu-kupu yang terus terbang beriringan mengelilingi bunga-bunga di sini tidak memiliki keinginan untuk beranjak pergi.

“Sumpah deh, Rein, jangan dangdut. Lo mau ngapain?” Kayla melepas genggaman tangan Rain. Berdiri berhadapan dengan laki-laki yang mencuri hatinya sejak waktu yang Kayla sendiri tidak tahu kapan.

Rain tertawa kecil melihat wajah galak yang Kayla tunjukkan untuknya. Galak, judes, tapi lucu. Matanya bahkan ikut tersenyum karena melihat Kayla dengan ekspresinya saat ini.

“Mau jujur-jujuran. Ayo. Main truth or dare aja gimana? Tapi hapus darenya, jadi truth aja.”

Kayla menepuk lengan atas sebagai bentuk protesnya. “Mana ada truth or dare tanpa dare, onyon!”

Mendengar itu Rain justru tertawa. “Jangan ngomel dulu. Lucu banget.”

“Rein demi Tuhan, lo kesambet apa anjir?” Kayla melotot heran. Benar-benar heran akan kelakuan sahabat kecil yang biasanya selalu mengejek dan membuatnya kesal. Ini Rein serius kenapa sih? Dia beneran mau ngomong jujur? Sekarang? Di rumah sakit?

Tawa Rain terbit lagi. Entah, apa mulai sekarang omelan dari Kayla akan menjadi salah satu alasannya tertawa?

“Dek, kalian berdua anak kembar ya? Mirip banget, meski nggak identik sih.” celetuk seorang perempuan muda yang sepertinya sedang menjaga ayahnya yang sedang sakit dan duduk di kursi roda.

“Eh bukan, mba. Ini pacar saya. Hehe, mirip ya?” sahut Rain dengan mudahnya tanpa memikirkan bagaimana ekspersi Kayla ketika mendengar itu.

“Oh pacar toh? Wah, semoga langgeng ya, dek. Cocok.” Perempuan itu menunduk sedikit bermaksud untuk masuk lebih dulu ke dalam gedung rumah sakit karena langit yang semakin gelap.

Kayla memukul keras lengan Rain setelah memastikan tidak ada lagi orang di sekitar mereka. Lengkap dengan matanya yang menatap Rain sinis.

“Gue pacarnya Nathan! Enak aja lo ngaku-ngaku! Lo beneran suka ya sama gue?” sinis Kayla sambil melipat kedua tangannya di dada.

“Ini truth pertama dari lo? Oke, gue jawab.”

Iya ... beneran suka. Suka banget.” Jantung Rain berdegup kencang ketika mengatakannya. Tatapannya mengunci mata Kayla. Rain tersenyum cerah seakan mengatakan itu adalah hal yang sangat mudah. Padahal kenyataannya Rain butuh bertahun-tahun untuk akhirnya memberanikan diri mengakui perasaannya di hadapan Kayla.

Kayla terdiam. Tubuhnya reflek menahan nafas. Dirinya menatap balik mata yang sedang melengkung seperti bulan sabit itu untuk mencari satu titik kebohongan di dalam sana. Namun Kayla tidak berhasil menemukannya. Laki-laki ini sedang berkata jujur, dari hatinya.

“Pertanyaan pertama dari gue ... omongan lo tahun lalu pas mabok, bener cuma halusinasi?” Rain sama sekali tidak memutus tatapannya pada gadis cantik di depannya. Gadis cantik yang pipinya mulai sedikit memerah karena malu. Ya Tuhan, sejak kapan Kayla kalau kayak gini malah gemesin banget?

“Jujur, Kay. Inget, kita di sini untuk saling jujur. Itu permintaan Nathan tadi, kan ... .”

Kayla mengepalkan kedua tangannya, mengumpulkan keberanian dan menekan rasa malunya dalam-dalam. Sekarang atau tidak sama sekali, Kay. Kayla terus mengingat bahwa Nathan ingin melihat dirinya bahagia. Kayla terus meyakinkan dirinya bahwa Nathan tidak akan kenapa-napa seperti yang laki-laki itu katakan padanya tadi.

“Salah ... maksud gue, nggak bener. Itu bukan halusinasi.”

Kayla menunduk,menghindari tatapan Rain. Menggigit sedikit bibir bawahnya untuk menahan rasa malu yang benar-benar menggerogoti dirinya. Jantungnya terasa berdetak lebih cepat.

Sementara Rain tersenyum semakin manis. Tangannya memegang kedua bahu Kayla agar perempuan itu tetap berdiri menghadap dirinya.

“Please jangan pegang-pegang gue dulu. Gue salting.” Itu suara Kayla. Suara dari perempuan yang tidak pernah berubah sedikitpun di mata Rain. Masih selalu terus terang, masih selalu mengekspresikan dirinya jika di hadapkan dengan situasi seperti ini. Situasi yang memaksa dia harus tetap menjadi dirinya sendiri.

Rain tertawa renyah. “Kay, gerimis. Cepet gantian, tanya gue.”

Tangan Kayla mengadah ke langit dan benar saja, rintik hujan mulai turun membasahi telapak tangannya. Kayla beruntung tidak merasa kedinginan karena tubuhnya sedang memakai hoodie hitam yang diberikan Rain sejak sampai di Singapore.

Kayla mengangkat kepalanya kembali untuk menatap Rainnya. “Kenapa nggak confess dari dulu? Lo nggak tau gimana rasanya gue yang banyak overthinking karena mikir diantara kita, cuma gue yang punya rasa ini?” Kayla harus tahu alasannya. Apapun itu selama alasannya bukan karena Rain punya rasa dengan Mentari, Kayla akan terima.

“Gue takut. Alasan klise, gue tahu. Tapi emang kenyataannya gue nggak seberani itu untuk ngajak lo naik status dari sahabat jadi pacar. Gue takut lo marah atau malah ninggalin gue. Gue juga nggak pernah kepikiran kalau lo punya rasa yang sama kayak gue, lo kan, selalu acuh tiap orang-orang di sekitar bahas status kita.”

“Kayak lo nggak acuh aja!” geram Kayla seraya memukul lengan Rain, lagi.

“Jangan ngajak ribut dulu. Dengerin gue dulu sampai akhir. Satu lagi, jangan ketawa! Gue lagi serius.”

Kayla yang sudah ingin tertawa karena tidak terbiasa berada di situasi serius dan sedikit canggung dengan Rain saat ini otomatis membungkam mulutnya. Mengendalikan dirinya untuk tetap tidak terlalu mudah tertawa.

Rain tersenyum kecil melihat Kayla yang menuruti perkataannya, lalu melanjutkan kalimatnya yang tadi terputus. “Nathan butuh lo lebih dari gue butuh lo, Kay ... Nathan sakit dan gue tahu dia suka sama lo sebelum dia tahu gue juga suka sama lo. Rasa sayang gue buat Nathan ternyata lebih besar dari rasa egois gue yang mau milikin lo. Apalagi sejak lo bilang lo nggak pernah suka sama gue lebih dari sahabat, gue tahu gue nggak punya kesempatan karena dari awal gue dateng di hidup lo sebagai sahabat ... .”

“Jadi satu tahun lalu, gue bener-bener milih untuk buang jauh-jauh perasaan gue buat lo. Karena hadirnya lo jadi semangat baru untuk Nathan sembuh, Kay.”

“Dan tentang Mentari ... gue sempet mikir kalau dia adalah hadiah yang dikirim Tuhan buat gue setelah gue relain lo sama Nathan. Gue sempet mikir, kalau lo bisa sama Nathan, berarti gue juga bisa sama Mentari. Tapi, akhirnya lucu, kan? Dia sepupu gue dan Nathan terus-terusan minta lo jujur sama diri lo sendiri. Karena Nathan sadar, Kay, setiap lo sama dia, Nathan nggak lihat lo yang biasanya. Nathan nggak lihat lo jadi diri lo sendiri ... .”

Tangan Rain menggenggam kembali kedua tangan kecil Kayla. Menggenggamnya penuh sayang. Tidak erat, tapi sangat cukup membuat Kayla nyaman dan merasa terjaga.

Kayla hanya diam mendengarkan semua perkataan Rain ditemani suara rintik hujan yang mulai terdengar kencang. Menerima satu fakta di otaknya, bahwa Rain menyukai dirinya sejak lama ... Selama ini, Kayla tidak jatuh sendirian.

Persis seperti keadaan langit saat ini, langit tidak akan pernah meninggalkan hujan sendirian. Begitupun sebaliknya. Langit tidak akan berpindah tempat saat hujan turun maupun saat air hujan kembali berkumpul di langit.

“Pertanyaan terakhir dari gue, Kay, lo masih suka sama gue? Atau hati lo udah milih Nathan sepenuhnya?”

Kayla menghela nafas berat. Memejamkan matanya sebentar untuk mencari jawaban dari lubuk hatinya. Mencari-cari, sebenarnya apa yang hatinya inginkan.

Pikirannya mendadak berjalan mundur. Semua kenangan yang ia lalui dengan Nathan terputar layaknya kaset musik favoritnya di rumah. Kayla selalu bersyukur karena dirinya dicintai laki-laki setulus dan sebaik Nathan.

Namun, pernyataan dari Nathan maupun Rain benar. Kayla memiliki batasan kasat mata yang tanpa sadar ia gunakan setiap bersama Nathan. Kayla sadar bahwa setiap bersama Nathan, bibirnya sering kali tidak luput dari membicarakan hal yang mungkin sebenarnya akan menyakiti Nathan, yaitu Rain. Kayla sering kali reflek menyebutkan atau membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan Rain dimanapun ia dan Nathan sedang berkencan.

Tapi, semuanya berbanding terbalik ketika ia bersama Rain. Kayla tidak merasa canggung sedikitpun. Kayla tidak merasa menjadi orang lain ketika di dekat Rain. Rain mampu membuat Kayla nyaman dimanapun mereka berbicara atau bercanda berdua.

Rain memang tidak banyak bertanya, Rain tidak sering menunjukkan sisi pedulinya, tapi Kayla tahu ada banyak hal yang Rain lakukan di belakang untuknya. Contohnya, tentang Nathan yang tiba-tiba tahu kalau ia memiliki pengalaman buruk di bioskop, atau tentang Kaje yang tiba-tiba mengajaknya nonton dan berjanji akan mentraktirnya. Kayla tahu semua itu ulah Rain.

Perkataan Kaje waktu lalu seketika lewat di kepalanya, kasih hati lo sama laki-laki yang emang lo butuhin afeksinya, yang dengan kehadirannya di sisi lo aja lo bisa tenang, yang bisa treat lo like a queen.

Iya, Nathan memang memperlakukan Kayla setiap saat seperti ratu dari kerajaan, tapi Nathan tidak bisa memberikan afeksi dan kenyamanan yang Kayla butuhkan. Dan perasaan tidak pernah bisa dipaksa untuk berubah.

Kayla menarik nafasnya lebih dalam. Mencoba mengikut apa yang hatinya inginkan. Lalu setelahnya ia membuka matanya untuk menatap laki-laki berparas pangeran di hadapannya.

“I just like you, from the first, Rein. Nathan emang baik. Gue sayang Nathan sebagai sahabat gue. Tapi kenyataannya, hadirnya Nathan, bahkan Mentari, nggak bikin gue lupa rasanya kupu-kupu terbang di perut gue setiap lo natap gue kayak gini. Nathan nggak bisa bikin gue ngerasain perasaan aneh dan merinding nggak jelas kayak tiap sama lo.”

Selesai mengatakan itu, Rain tidak memberi kesempatan Kayla untuk bernafas lega sedetikpun karena Rain segera menarik gadis itu ke dalam dekapannya. Memeluknya hangat di bawah dinginnya air hujan yang mulai turun semakin banyak dan cepat. Lalu membisikkan satu kalimat yang sukses membuat suhu tubuh keduanya menghangat, “I love you, Kaylani.”

Merinding, keduanya. Rain dan Kayla. Pada akhirnya, hari ini, di negara tetangga, di rumah sakit, atas permintaan Nathan tadi, keduanya berhasil merobohkan dinding bernama gengsi dan egois yang sebelumnya berdiri sangat kokoh di antara mereka berdua.

Terima kasih, Nathan. Terima kasih, langit dan hujan.

Pelukan Rain melonggar ketika mendapat beberapa notif chat dan telfon di handphonenya. Tangannya bergerak menyalakan handphone untuk mengecek isi notif tersebut dan setelah membaca chat dari Raga tubuhnya sontak menegang.

Tangannya dengan erat menggenggam tangan Kayla untuk mengikutinya berlari ke dalam gedung rumah sakit.

Ya Tuhan, tidak bisakah Engkau membiarkan langit dan hujan bersama tanpa petir?

-hhaolimau_

Dokter sudah keluar dari ruangan Nathan setelah melakukan beberapa pemeriksaan ketika Nathan membuka matanya beberapa saat lalu. Orang tua Nathan pergi meninggalkan ruang rawat VIP anak semata wayangnya untuk mengikuti dokter menuju ruangannya.

Meninggalkan Rain dan Kayla bersama Nathan yang hanya bisa terbaring lemah. Senyum di wajahnya sudah hadir sejak ia menyadari Kayla terus menggenggam tangan kanannya dan juga Rain yang berdiri di sebelah kirinya.

“Ale, Raga?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Nathan setelah pandangannya menyebar mengelilingi ruangan luas ini.

“Ada. Lagi di bawah tadi, otw ke sini.”

Jawaban Rain mendapat anggukan pelan dari Nathan. Wajahnya sangat pucat. Kayla dan Rain bisa melihat kedua kakinya yang sedikit membengkak.

Tiba-tiba Nathan meringis kecil. Bekas jahitan di perutnya terasa begitu ngilu dan kepalanya sedikit pusing.

“Ada yang sakit? Bentar, bentar. Gue panggil dokter ya. Lo tahan, bentar aja.” Kayla sudah akan beranjak dari duduknya dan melepas tangan Nathan dari genggamannya, namun gerakannya tertahan.

Nathan tersenyum tenang menatapnya. Bahkan sedikit tertawa kecil. “Nggak. Kamu jangan gampang panik gitu dong, Kayla.”

Luruh. Kayla terenyuh. Matanya tiba-tiba berkaca, merasa bahagia akhirnya bisa melihat senyum tenang itu lagi.

“Aku minta maaf. Aku bikin kamu khawatir terlalu lama ya? Maaf ya, Kaylani.” Nathan menggenggam balik tangan gadis cantik di depannya dengan lebih erat.

Kayla menggeleng dengan sedikit ricuh. Nafasnya sedikit menggebu. “Enggak. Nggak perlu minta maaf. Gue nggak mau nanya sekarang tentang apa alasan lo ngumpetin sakit lo dari gue. Gue nggak mau nanya gimana ceritanya lo bisa begini padahal terakhir ketemu gue, lo cuma demam. Gue cuma mau lo sembuh, Nathan. Gue cuma mau lo kuat, lo bertahan. Lo udah janji nggak bakal ninggalin gue, ya, kan?” Suara Kayla melemah di akhir. Tenaganya butuh lebih banyak energi untuk melampiaskan semua emosi yang ia rasa.

Lagi, Nathan tersenyum tenang dengan bibir pucatnya. Mengelus tangan Kayla lembut. Tangan seorang perempuan yang membangkitkan semangatnya untuk berobat, untuk sembuh.

Namun tiba-tiba tangan Nathan bergerak mengambil tangan sahabatnya sejak SMA, Rain. Rain sempat terkejut. Dirinya sudah memutuskan untuk diam seribu bahasa, bermaksud memberi waktu untuk Kayla dan Nathan berbicara.

“Kay ... bisa dengarkan aku baik-baik dan percaya semua omongan aku sekarang?” Suara rendah dari bibir Nathan cukup menghipnotis Kayla untuk hanya fokus dan mendengarkan perkataan Nathan selanjutnya.

Begitu juga Rain. Laki-laki itu memindahkan posisi berdirinya menjadi duduk di pinggir ranjang pasien Nathan.

“Aku kangen banget sama kamu, Kay. Banget. Saking kangennya aku mimpiin kamu selama aku tidur ... .”

Nathan masih setia menatap mata coklat gadis dihadapannya. Mencoba meyakinkan Kayla melalui tatapannya kalau saat ini dirinya baik-baik saja. Meski mungkin Kayla tidak akan sepenuhnya yakin.

“Bagi aku, kamu itu lebih dari segalanya, Kay. Aku nggak pernah main-main tentang perasaan aku ke kamu. Aku nggak pernah bercanda setiap aku bilang kalau prioritas aku itu bahagianya kamu ... Kamu harus bahagia, Kayla. Dengan atau tanpa aku.”

“Tapi gue bahagia kalau ada lo juga. Lo nggak boleh ninggalin gue, tahu, kan?” Kayla menahan jatuhnya air mata yang mulai berkumpul. Kayla tidak boleh menangis. Apalagi di depan Nathan.

Nathan tersenyum, lagi. “Aku sangat-sangat bersyukur Tuhan kasih aku kesempatan untuk kenal kamu lebih dalam beberapa bulan belakangan, Kay. Rasanya bahagia. Aku bahagia karena dikasih kesempatan untuk bisa jadi salah satu alasan kamu ketawa setiap harinya.

Aku bahagia kamu mau memilih aku. Kamu udah bisa lihat aku di sini. Itu udah lebih cukup, Kay. Dan dari kesempatan yang Tuhan kasih itu, aku tahu satu hal .... aku tahu perasaan kamu buat aku nggak pernah berubah. Kamu menyayangi aku sebagai sahabat kamu. Kamu sayang dan menghargai aku karena kamu tahu itu kewajiban antar sahabat.

Di hati kamu, tempat spesial di sana, cuma milik satu orang, Kay. Milik Rain, sahabat kecil kamu.”

Nafas Nathan terdengar mulai lelah karena terlalu banyak menyeruakan isi hatinya.

Kayla meremat bajunya sendiri. Ia gugup. Pernyataan yang Nathan berikan tidak bisa ia sanggah sedikitpun, karena pada dasarnya hatinya memang masih untuk Rain. Bahkan setelah sakit yang laki-laki itu berikan dulu, Kayla hanya mempunyai Rain di hatinya.

Sementara Rain sedikit terkejut mendengarnya. Rain kira Nathan hanya dapat meraba perasaan dirinya untuk Kayla. Namun ternyata, Nathan juga dapat merasakan itu dari sisi Kayla. Nathan merasakan hati Kayla benar untuknya, untuk Rain. Padahal selama ini, Rain sendiri ragu akan fakta itu.

Tapi Nathan kelewat paham atas itu semua. Laki-laki ini, kelewat peka.

“Boleh aku minta sesuatu, Kay? Sama lo juga, Rain.”

Rain dan Kayla sontak mengangkat kepala mereka untuk menatap laki-laki paling tulus yang sedang terbaring dengan selang infus di tangannya dan selang untuk membantunya mengatur nafas di hidungnya. Bertanya melalui tatapan mereka, iya, apa Nathan?

“Di belakang rumah sakit ini, ada halaman bagus. Cantik banget apalagi sore-sore begini. Aku beberapa kali pernah ke sana setiap check up dulu.

Kalian belum pernah ngobrol serius berdua, kan? Ngobrol tentang kalian ... tentang hati kalian satu sama lain. Tentang perasaan kalian.”

Ketika kalimat permintaan Nathan bertemu titik, Kayla sudah menangis. Kayla tahu kemana arah pembicaraan Nathan. Pacarnya ini akan memintanya untuk jujur dengan hatinya sendiri lagi. Pacarnya ini ingin ia menuruti keinginan hati kecilnya sendiri.

“Nat, jangan mulai.” teguran terlontar begitu saja dari bibir Rain yang sedari tadi diam. Rain tidak ingin semua rasa egoisnya yang sudah ia hilangkan dulu terasa sia-sia. Rain tidak ingin pengorbanan dirinya untuk mengalah pada Nathan terbuang cuma-cuma.

Nathan tersenyum lalu menatap Rain penuh harap. “Makasih, Rain. Karena lo ngasih kesempatan gue buat bahagiain Kayla. Makasih karena lo ngasih kesempatan Kayla buat milih gue. But maybe it's ur turn. Mungkin ini balesan yang setimpal buat lo karena dulu lo berani mengorbankan perasaan lo buat sahabat lo?” Nathan tersenyum. Mengingat bagaimana Rain selalu menghindar setiap Ale dan Raga mewawancarai dirinya perihal perkembangan hubungannya dengan Kayla.

Nathan masih ingat dengan jelas Rain memberikannya list minuman dan makanan favorit Kayla bahkan sebelum ia dan Kayla berpacaran. Nathan ingat tepat sebelum ia dan Kayla pergi untuk menonton bioskop pertama kalinya, Rain memberitahunya tentang Kayla yang mempunyai pengalaman buruk di bioskop.

Nathan tidak pernah lupa bagaimana ributnya Rain setiap mengarahkan ia menuju tempat syuting Kayla setiap Nathan ingin menjemput Kayla. Nathan tidak pernah lupa tentang Rain yang selalu mengingatkannya sebelum ia pergi bersama Kayla untuk menjaga jarak dengan orang merokok dimanapun itu, karena Kayla akan langsung terbatuk-batuk jika menghirup asap rokok. Nathan tidak pernah lupa membawa sandal cadangan di mobilnya karena hal itu mungkin akan dibutuhkan Kayla secara mendadak. Tentu, yang satu itupun merupakan saran dari Rain. Laki-laki yang diam-diam selalu memperhatikan setiap detail kebiasaan Kaylani.

Nathan melepas kedua tangan manusia di genggamannya. “Aku bener-bener mau kalian saling jujur. Aku bener-bener mau lihat kalian bahagia. Anggap gue nggak ada di sini, anggap gue sehat di Indo. Tolong, gue mohon. Jujur satu sama lain. Tolong untuk kali ini, kalian harus egois.”

Rain menangkap keseriusan dalam nada bicara Nathan. Rain tahu mungkin ini satu-satunya cara agar Nathan tenang. Rain tahu mungkin ini cara terakhir Rain untuk membuat Nathan bahagia. Rain tahu Nathan tidak pernah main-main setiap mengucapkan 'bahagianya Kayla adalah prioritas gue'.

Jadi, demi Nathan, Rain akan egois hari ini. Rain akan perlihatkan kepada Nathan kalau Kayla akan bahagia dengannya. Ia menarik tangan Kayla di sisi ranjang satunya dan mengajak gadis itu keluar. Menuju halaman belakang yang dimaksud Nathan.

Sebelum menutup pintu, Kayla menolehkan lagi kepalanya untuk melihat Nathannya.

Laki-laki itu menggerakkan bibirnya tanpa suara, “Nggakpapa, Kay. Aku bahagia lihat kamu sama Rain bahagia.”

Lalu setelah memastikan Nathan benar-benar berhenti bicara dan mulai tersenyum, Kayla menutup pintu dan menggenggam balik tangan Rain, melangkah pasti menuju halaman belakang.

Ruangan ini tiba-tiba terasa sedikit mencekam untuk Nathan. Sunyi. Sangat. Nathan benci. Matanya memejam dengan air mata yang mengalir haru di kedua matanya.

“Gue titip Kayla, Rain. Gue tahu lo bisa jaga dia lebih baik dari gue.”

-hhaolimau_

Nathan memberhentikan mobilnya di salah satu jalan utama di kota Jakarta.

Padatnya kendaraan yang berlalu lalang memenuhi pandangan Kayla saat ini. Tentunya ditemani pemandangan langit kota berwarna orange dikarenakan matahari sudah mulai terbenam dan juga Nathan di sampingnya. Lelaki yang masih setia menempatkan matanya untuk tetap menatap satu-satunya objek hidup di hadapannya.

Merasa sedikit canggung karena belum ada percakapan yang memecah keheningan di dalam mobil, Kayla berinsiatif untuk menyalakan radio dan lagu The reason – Hoobastank langsung menyapa untuk menggantikan hening diantara mereka berdua.

Belum sempat tangan Kayla kembali ke posisi awalnya, di atas kedua pahanya, Nathan lebih dulu mengambil alih kedua tangan Kayla untuk ia genggam. Tubuhnya bergerak pelan untuk menghadap Kayla sepenuhnya.

Kayla gugup. Terlalu tiba-tiba. Pikiran dan hatinya belum sempat menebak apa yang akan dilakukan Nathan dengan posisi seperti ini. Wajahnya sedikit tegang dan Nathan sadar akan hal itu.

“Kay, ahaha, kenapa kok tegang?” tanya Nathan dengan tawa di bibir tipisnya, “aku nggak mau ngapa-ngapain kok. Mau pegang aja. Kangen.”

Setelahnya Kayla mulai membuang nafasnya yang entah sejak kapan ia tahan. Wajahnya sudah lebih rileks dan sedikit mengulum senyum untuk menahan rasa malu yang tiba-tiba datang.

“Kay, aku seneng banget bisa denger kamu cerita panjang kali lebar hari ini ... di depan aku.” tutur Nathan masih dengan mata dan tangan yang tidak lepas dari Kayla. Seakan-akan perempuan di depannya itu hanya satu-satunya anugerah Tuhan yang paling indah di dunia ini.

“Gue bawel banget, ya? Lo nggak nyaman, ya? Aduh sorry, Nat. Gue tuh ... ,” perkataan Kayla terputus karena Nathan lebih dulu menarik tangan Kayla menuju dada kirinya. Bermaksud untuk membuat Kayla paham tentang keadaannya, yang selalu berdegup kencang saking bahagianya setiap bersama Kayla. Nathan tersenyum melihat Kayla yang mengatupkan bibirnya, “Kerasa, kan? Jantung aku kayak gini, bukan karena nggak nyaman. Bukan karena nggak suka atau keganggu. Ini karena aku bahagia banget, Kay. Aku kangen banget liat kamu ceria kayak seharian ini. Aku kangen banget.

Aku bahagia, Kay. Makasih ya karena luangin waktu kamu buat aku. Makasih udah ngisi hari-hari aku 3 bulan belakangan ini.” kata Nathan dengan lembut. Entah Nathan sadar akan hal ini atau tidak, tapi Kayla sangat sadar bahwa intonasi laki-laki ini semakin rendah.

Apa Nathan kecapean ya?

Dan apa yang dilihat Kayla setelahnya seakan mengiyakan pertanyaan di benaknya. Kayla tidak sengaja melihat ke bagian bawah jok bagian belakang dan menemukan plastik putih yang Kayla yakin ada beberapa obat di sana.

Kayla menolehkan kembali wajahnya menghadap Nathan, “Lo sakit? Lo kecapean?” tanya Kayla sedikit panik, tangannya memegang dahi Nathan untuk mengecek suhu tubuh laki-laki itu, “kok lo gak bilang sih? Badan lo agak anget gini, Nat. Kita pulang, ya. Mau gantian nyetir?”

Kayla sudah akan membuka pintu mobil untuk berpindah ke posisi pengemudi, namun lengannya di tahan. Nathan menatap Kayla sayang. Matanya begitu menyiratkan rasa tidak ingin kehilangan.

Belum sempat Nathan membuka mulutnya untuk berbicara, suara dari radio mobil tiba-tiba memecah fokus keduanya. Suara Rain. Iya, Rainnya Kaylani.

“So gimana nih hari kalian? Sesuai harapan kalian kah? Gue sama Ale mau berbagai tips nih menghadapi kenyataan yang nggak sesuai sama ekspektasi kalian. Check it out.” Tangan Nathan bergerak untuk sedikit mengecilkan volume radio lalu berpindah posisi di rambut gadisnya. Mengelus lembut di sana, lalu tangannya yang lain memeluk Kayla erat dan hangat.

“Kay, kamu harus inget ini, ya. Kebahagiaan kamu itu segalanya buat aku. Apapun keputusan kamu buat hidup kamu lebih baik, aku akan selalu ada buat dukung kamu. Kamu itu sumber bahagia aku, Kay. Kamu sumber penyemangat aku setiap bangun pagi. Kamu alasan aku kenapa aku bisa bertahan selama ini. Apapun itu, sumpah, aku cuma mau kamu bahagia.

Karena hadirnya kamu bener-bener udah buat aku bahagia dan menikmati hidup aku. Kamu selalu jadi alasan kenapa aku bersyukur masih diberi kesempatan bernafas, Kay. Kamu perempuan kuat, perempuan baik dan cantik. Semua orang disekitar kamu bersyukur punya kamu. So, please, kamu harus bahagia, ya?”

Belum, Kayla belum ingin menjawab. Air matanya tanpa sadar sudah mengalir untuk membasahi pundak Nathan. Kayla merasa amat sangat disayangi dan dihargai oleh laki-laki ini. Hatinya menghangat. Sangat.

“Even though, someday, aku terpaksa harus biarin kamu sendirian di sini, aku mohon kamu harus ikutin kata hati kamu. Berhenti egois, Kay. Datengin Rain kalau itu yang hati kamu inginkan. Dimanapun aku saat itu, kamu harus percaya, aku nggak apa-apa. Aku dukung kamu, selama kamu bahagia.”

Lagi. Entah sudah sampai hitungan keberapa Nathan menyebutkan bahwa prioritasnya hanya untuk membuat Kayla bahagia. Berkali-kali ia ulang kata itu untuk meyakinkan gadis di pelukannya, bahwa apapun yang terjadi nanti Kayla harus mengikuti kata hati kecilnya.

Dan Nathan akan selalu mendukung keputusan Kayla, apapun itu.

Kayla mencubit kecil pinggang pacarnya itu, “Lo nggak bakal kemana-mana. Gue percaya lo orang yang nepatin janji. Gue yakin lo nggak akan ingkar janji sama gue. Lo nggak akan tinggalin gue sendiri.”

Nathan tersenyum pilu di balik punggung Kayla. Maaf, untuk janji yang itu. Maaf, Kay.

Air matanya ikut turun membasahi pipinya. Nathan tidak bisa mengatakan terus terang bahwa sakit ginjal yang dideritanya semakin menggeruk habis kesehatannya. Nathan tidak bisa, Nathan tidak bisa melihat Kayla menangis untuk dirinya.

Nathan sedikit meringis ketika tangan Kayla mulai melonggarkan pelukan mereka dan mengajak Nathan untuk segera pulang karena wajahnya yang semakin pucat.

Ngilu. Pinggangnya sangat ngilu dan Nathan harus bertahan. Nathan harus mengantar Kayla pulang dan mencium dahi gadis itu sebelum pergi dari rumah Kayla yang mungkin tidak akan ia kunjungi untuk waktu yang sedikit panjang.

Jadi, dengan kaki gemetar yang ia tahan mati-matian agar Kayla tidak melihatnya, Nathan berusaha mengendarai mobilnya dengan aman sampai keinginannya untuk mengantar Kayla pulang tercapai.

Nathan memeluk Kayla sedikit lebih lama di depan pagar rumah bernuansa hitam putih ini lalu mencium dahi gadis itu penuh sayang. Ya Tuhan, tolong kasih kesempatan Nathan ngelakuin ini lagi di lain waktu.

“Sampai kamar jangan lupa ganti bajunya dulu, ya, baru tidur. Tidur yang nyenyak, Kay. Have a nice dream, cantiknya Nathan. I love you.”

Kayla tersenyum manis mendengar perkataan Nathan lalu bergerak cepat mencium pipi Nathan sebelum berlari ke dalam rumah karena malu.

Nathan tersenyum. Kalau saat itu Kayla tahu tentang sakitnya Nathan, mungkin ia tidak akan melangkahkan kakinya sedikitpun untuk masuk ke dalam rumah.

Kalau saat itu Kayla menolehkan sedikit kepalanya sebelum menutup pintu, mungkin Kayla yang akan mengantar Nathan ke rumah sakit malam itu juga.

-hhaolimau_

Mentari duduk sendirian di ruang rawat inapnya dengan televisi yang menyala di depannya. Entah acara apa yang sedang ditayangkan saat ini, Mentari tidak terlalu memperhatikannya.

Setelah makan siang tadi, Rain meninggalkan rumah sakit untuk segera menuju kantor ayahnya dan Raga juga sudah pergi ke kantornya sejak pagi hari tadi.

Lamunan Mentari buyar saat mendengar suara pintu kamar yang terbuka. Sosok perempuan paruh baya berwajah cantik dengan setelan jas yang terlihat elegan melangkah masuk ke dalam disertai senyum manis di bibirnya.

Dan Mentari mengenali siapa perempuan ini melalui senyumnya yang khas. “Eh, Tante, udah dateng, ya.”

Perempuan yang Mentari panggil tante itu menyapa balik Mentari dengan menggenggam sebelah tangannya. “Hehe iya nih, Mentari. Tante taruh buahnya di sini, ya. Maaf nggak bawa banyak, sayang.”

Tangan kiri Tante Reta atau yang Mentari kenal sebagai Bunda Rain ini, mengangkat parsel buah untuk diletakkan di atas meja.

Tante Reta mengambil kursi di samping ranjang Mentari. Senyum di wajahnya bahkan tidak luntur sedikitpun sejak pertama kali ia melangkahkan kaki ke dalam kamar.

“Mentari..., ya ampun, anak cantik. Mentari masih ada yang ngilu badannya? Masih susah bergerak ya? Atau sudah enakkan? Udah 6 hari ya di sini?”

Mentari terhenyak seketika. Hatinya menghangat mendengar rentetan pertanyaan dari perempuan yang masih asing ini. Namun di sisi lain, Mentari merasa sangat sedih. Bagaimana bisa pertanyaan semacam itu bukan dilontarkan oleh mamanya sendiri? Ah, bahkan Mentari sedikit lupa dengan fakta bahwa Mama Elsa bukan mama kandungnya.

“Hehe iya Tante, udah mulai enakkan kok badannya. Tante, apa kabar?”

“Kenapa, sayang? Ada yang sakit? Pusing? Kamu kok nangis?”

Tante Reta bingung, sangat. Ketika pertama kali melangkahkan kakinya ke dalam ruang rawat ini dan melihat Mentari menyapanya dengan senyuman, ia kira perempuan ini benar-benar perempuan yang kuat dan ramah. Namun, baru 5 menit ia mengistirahatkan dirinya di kursi pembesuk, perempuan cantik di depannya sudah meneteskan air matanya. Tangannya di genggam lebih erat oleh Mentari.

“Tante, Mentari minta maaf. Maaf, Tan. Maaf karena Mentari, hidup Rain jadi nggak sedamai sebelumnya.” Mentari bergerak untuk mencium telapak tangan Tante Reta sebelum pipinya mulai basah karena air mata yang terus mengalir.

Mendengar perkataan itu, Tante Reta bergerak cepat untuk mengangkat kepala Mentari dari tangannya dan memeluk tubuh perempuan yang tidak sepenuhnya salah. Kesalahan ini bukan hanya karena Mentari, tapi juga karena anaknya, Rain Ragastama.

“Dengar Tante ya, Mentari. Semua ini bukan hanya salah kamu. Kesalahan Rain jauh lebih besar. Rain bahkan bikin kamu merasakan sakitnya kehilangan bayi di kandungan kamu..., Tante benar-benar minta maaf atas apa yang Rain perbuat ke kamu, Ta. Tante minta maaf...,”

Tangan Tante Reta tidak berhenti mengelus punggung sempit Mentari, mencoba menenangkan perempuan yang tangisnya terdengar makin pilu.

Tante Reta tidak tahu bagaimana kehidupan Mentari, Tante Reta tidak tahu apa yang sudah Mentari lewati sampai ia ada di titik ini. Tapi, melihat Mentari yang seperti ini, Tante Reta dapat merasakan bahwa ia lelah. Tangisan Mentari benar-benar terdengar seperti sebuah pelampiasan yang sudah lama ia pendam sendiri.

“Nggakpapa, sayang. Nangis aja sampe puas ya. Nggakpapa, Tante nggak...”

“Mama? Dateng sekarang? Aku kira sore.”

Kalimat Tante Reta terputus begitu saja saat tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan Mentari menyapa orang yang baru masuk tersebut dengan sebutan 'mama'.

Tante Reta melepaskan pelukannya pelan-pelan lalu melakukan hal yang sama dengan Mentari, menghapus air mata dan mengambil nafas panjang.

“Iya. Mama nggak tau kalau kamu kedatangan tamu. Ini sia..., Reta?”

Detik itu, dunia Tante Reta maupun Ibu Elsa mendadak seperti berhenti berputar. Semua oksigen seakan tertarik dengan keras dan cepat je dalam perut bumi. Memori keduanya bergerak secara konstan untuk mengumpulkan kenangan masa kecil yang mulai hilang. Keduanya terdiam cukup lama lalu tanpa sadar mata keduanya mulai berkaca-kaca.

Mentari terpaku. Dirinya terdiam seribu bahasa. Perasaannya sedikit tidak enak ketika melihat ada bulir air mata yang mulai menetes di pipi mamanya. Menanti dan berharap diam-diam dalam hati bahwa tidak akan ada takdir yang lebih buruk dari dia yang kehilangan anak dalam kandungannya di usia yang sangat muda. Ada apa lagi ini?

“Rita, kamu benar-benar masih hidup. Rita, aku..., aku cari kamu kemana-mana sejak belasan tahun lalu...,” Suara Tante Reta terputus oleh gerakan cepatnya untuk memeluk mamanya. Mama Elsanya Mentari.

Rita? Masih hidup? Ini semua apa?

Kepala Mentari mendadak pening. Apalagi ketika melihat mamanya, yang bernama Elsa, sama sekali tidak menyanggah panggilan nama yang disebutkan Tante Reta. Bahkan mamanya memeluk balik Tante Reta dengan erat, lengkap dengan suara tangisannya yang mulai terdengar.

“Rita? Rita siapa? Kenapa mama sama Tante Reta pelukan? Kenapa nangis? Kalian udah saling kenal? Ini, ada apa sih?” Mentari mulai menangis ketika melontarkan semua pertanyaan itu. Akalnya tidak bisa mencerna dengan baik.

Pelukan kedua perempuan paruh baya itu terlepas. Lalu mamanya menggenggam sebelah tangan Mentari lembut. “Tante Reta ini, saudara kembar Mama. Kita terpisah sejak umur 14 tahun.”

Iya, kedua perempuan yang masih menatap haru satu sama lain itu sebenarnya adalah saudara kembar. Mereka dipisahkan dengan terpaksa karena orang tua mereka yang bercerai, lalu kehilangan kontak satu sama lain sejak saat itu. Saat mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama.

Mentari sudah hampir pingsan memikirkan kesimpulan dari fakta di depannya. Apa katanya? Saudara kembar? Bundanya Rain?

Menyadari wajah Mentari yang semakin basah karena terus menangis dan terlihat bingung, Tante Reta yang sudah mulai berhenti menangis itu menyadari suatu hal.

Jika Mentari adalah anak Rita... Ya Tuhan, berarti anakku melakukan hubungan terlarang dengan sepupunya?

Hancur. Itu yang di rasakan Mentari dan Tante Rita sadar akan itu semua. Tangannya menggenggam kembali tangan Mentari, bermaksud menguatkan perempuan itu agar tidak pingsan menghadapi kenyataan di depannya.

“Ma, Rain..., Rain..., Ma..., Rain, anak Tante Reta. Tante ini..., Tante Reta ini, bundanya Rain, Ma....,” ujar Mentari dengan terbata-bata. Kedua tangannya berusaha melepaskan genggaman Tante Reta, ia ingin mengepalkan tangannya untuk menahan emosi dan rasa sakit di dadanya.

Plak.

Suara tamparan. Mentari yang menjadi korbannya dan Mama Elsa pelakunya. Mama Elsa menampar anaknya sendiri di depan Tante Reta, saudara kembarnya.

Tante Reta yang terkejut akan hal itu sontak bergerak memeluk erat Mentari di dekapannya. Bermaksud untuk melindungi Mentari.

“UNTUK APA KAMU TAMPAR ANAK KAMU SENDIRI, RITA?” Suaranya meninggi. Tante Reta benar-benar tidak menyangka kalau saudara kembarnya bisa bersikap kasar kepada anak perempuan semata wayangnya. Bahkan Tante Reta saja tidak pernah bermain tangan terhadap anaknya, Rain.

“Dia melakukan hal yang sangat terlarang, Re. Bahkan dengan sepupunya sendiri! Ya Tuhan, Mentari! Apa ini balasan kamu untuk Mama?”

“Tapi aku bukan anak kandung Mama, kan? Ak-aku, aku nggak mungkin sepupuan sama Rain. Kata Papa aku bukan anak Mama, kan.”

Untuk kali ini, hanya untuk kali ini, Mentari berharap sungguh-sungguh kepada Tuhan bahwa benar ia bukan anak Mama Elsa. Mentari akan sanggup menerima fakta itu dengan lapang dada dibanding dia harus menerima fakta bahwa lelaki yang menjadi cinta pertamanya, yang dia cintai selama ini adalah sepupunya.

Tangisannya benar-benar pecah. Ketiganya. Tidak satupun dari perempuan di ruangan ini yang tidak menangis pilu dan bingung. Perih.

“Papa nggak tau ini, Ta. Tapi kamu benar anak Mama. Mama kamu ini, Mama Elsa yang mempunyai nama asli Rita ini, adalah mama kandung kamu, Nak. Maafkan Mama.”

Mama Elsa atau yang mulai saat ini kita ketahui nama aslinya adalah Rita, mengambil nafas panjang, bersiap untuk bercerita kisah kelamnya di masa lalu, membuka luka lama dalam dirinya.

“Mama ditelantarkan kakek kamu saat Mama berumur 14 tahun, di pinggir jalan. Tepat satu tahun setelah kakek dan nenek kamu bercerai. Nenek kamu hidup lebih bahagia dengan Tante Reta dan berbanding terbalik dengan Mama yang hidup di panti asuhan. Mama mengganti nama Mama sejak di sana. Mama tidak ingin keluarga besar kakek kamu mencari Mama.

Selama hidup di panti, Mama hidup mengandalkan kemampuan Mama dalam bidang pendidikan dan sosial sampai Mama akhirnya mendapat beasiswa selama sekolah dan panggilan seminar ke luar negeri.

Di New York, Mama melakukan kesalahan yang sama dengan kamu saat ini, Ta. Saat itu hidup di New York memang tidak asing lagi dengan berhubungan seksual sebelum menikah. Sampai akhirnya Mama mengandung anak pacar Mama, kamu. 9 bulan Mama dan pacar Mama menunggu kamu dengan penuh cinta. Laki-laki itu berjanji akan menikahi Mama setelah kamu lahir.

Perempuan paruh baya yang Mentari panggil sebagai Mama itu menjeda kalimatnya karena mulai menangis terisak-isak.

Tante Reta, saudara kembar mamanya, bunda dari Rain, memberikan tisu dan usapan kecil di punggung Mamanya.

“Tapi setelah kamu lahir, dia pergi, Ta. Dia meninggalkan Mama sendirian di New York dengan kamu yang saat itu masih berumur 1 pekan. Mama kacau, Ta. Mama bingung dan nggak tau harus apa. Mama nggak bisa mengaku ke Ibu Raya tentang apa yang terjadi di New York. Jadi, saat itu, Mama titipkan kamu di salah satu panti asuhan di sana. Lalu Mama pulang ke Indonesia.

Maafkan Mama, Ta. Mama memang pengecut. Maafkan Mama. Ini adalah dosa besar Mama yang selama ini Mama simpan sendiri. Maafkan Mama karena telah menelantarkan kamu di sana sendirian selama 6 bulan.

Ketika kembali ke Indonesia, Mama bertemu dengan Papamu. Papamu menikahkan Mama dengan jarak waktu yang cepat karena Oma mengancam Papa tidak akan mendapatkan warisan jika saat itu ia belum memiliki pasangan sah. Itu alasan kenapa Papa selalu kasar sama Mama, karena dari awal dia tidak pernah mencintai Mama, Ta.

1 bulan setelah menikah, Papa mengajak Mama ke New York untuk urusan bisnis. Saat itulah Mama akhirnya bisa mengambil kamu kembali dengan alasan mengadopsi anak panti, Ta. Mama tau yang Mama lakukan salah, tapi sejak Mama tau kamu ada di kandungan Mama, Mama tidak pernah sedikitpun berpikir untuk membuang kamu. Kamu anak kandung Mama, Ta. Darah daging Mama.

Maafkan kesalahan Mama. Maafkan Mama yang nggak bisa menjaga kamu dengan benar. Maafkan Mama mempertemukan kamu dengan sosok Papa yang sangat buruk. Maafkan Mama untuk semua derita yang kamu alami selama ini, Ta.

Tangisan Mentari semakin kuat. Ia mencengkram erat pergelangan tangan Tante Reta. Tubuhnya bergetar menandakan bahwa semua fakta itu sangat mempengaruhi dirinya dan mentalnya. Mentari tertampar, sangat keras dan sakit. Lebih sakit dari pukulan papanya yang ia terima selama ia hidup.

Mama Elsa, atau mulai saat ini, sebut saja Mama Rita, memeluk anak perempuannya yang sangat terpukul. Tangannya mengusap punggung Mentari terus menerus.

Mentari tidak habis pikir. Akalnya bahkan tidak sampai lagi untuk berpikir jernih.

Semua fakta yang Mentari terima mengingatkannya pada semua kejadian yang ia lalui 5 bulan belakangan.

Tentang Mentari yang bertemu tidak sengaja dengan Rain dan langsung merasa akrab untuk bercerita. Tentang Mentari yang patah dan selalu dipertemukan Tuhan dengan Rain. Tentang Mentari yang selalu menjadikan Rain tempat ternyamannya untuk pulang. Tentang Mentari yang bertemu kembali dengan teman SMPnya.

Tentang Mentari yang mabuk dan melakukan hubungan terlarang dengan Rain. Tentang Mentari yang hamil. Tentang Mentari yang berhasil mendirikan perusahaannya dengan bantuan Rain dan Raga. Tentang Mentari yang kecelakaan dan selalu ditemani Rain dan Raga selama di rumah sakit. Tentang Mentari yang...., mencintai sepupunya sebegitu besarnya.

Mentari hancur. Sepenuhnya hancur. Satu bulan ini rasanya seperti semesta marah padanya karena kehadirannya yang mengganggu bahagianya seorang langit.

Mentari menangis pilu, hatinya sangat sakit. Bahkan semua tubuhnya terasa sakit. Sampai bibirnya tidak bisa lagi mendeskripsikan rasa sakitnya seperti apa.

Matanya memang penuh dengan air mata, tapi Mentari bisa menangkap adanya bayangan orang lain di pintu ruangannya yang sedikit terbuka. Corak sepatunya terlihat dan Mentari tahu pasti itu siapa.

Tangan Mentari berpindah posisi untuk memegang tangan Tante Reta. Ia menarik nafas panjang, berusaha mengatur tangisannya untuk berhenti.

“Tante Reta, salam kenal ya. Mentari seneng akhirnya punya tante kandung. Maafin Mentari ya, Tante.”

Sebelum air matanya kembali lolos, Mentari yakin untuk mengambil keputusan untuk dirinya dan masa depannya.

“Mentari cape banget, Ma, Tan. Mentari mau pulang.... Di sini sesek banget, sakit banget. Mentari izin pergi ya?”

-hhaolimau_

Jarum jam dinding di tengah ruangan pasien nomor 321 ini sudah menempati angka 03.40 pagi dan Rain masih setia membuka matanya sejak tiba di sini semalam. Tubuhnya terduduk di sebelah kanan ranjang pasien sejak ia di sini, sejak operasi kecil yang dilakukan pada perempuan di depannya selesai.

Rain tidak tahu sejak kapan ia sudah merasakan bahwa akan ada hal buruk yang menimpa Mentari.

Dan benar saja, perempuan itu sekarang terkapar lemah dengan perban penutup luka di beberapa bagian tubuhnya. Entah apa yang sedang ada di pikiran Mentari ketika menyetir, sampai ia tidak menyadari bahwa lampu lalu lintas sedang berwarna merah dan ia tetap menerobos jalan. Sebelum bertabrakan dengan mobil lain, Mentari reflek membanting stir mobil dan tepat mengenai tiang besar di pinggir jalan.

Jadi di sini Mentari berakhir, dengan Raga, Pak Naka dan Rain yang masih menemaninya. Dengan keadaan Mentari yang penuh dengan perban di berbagai tubuhnya dan harus menjalani operasi kecil karena bagian kanan pinggangnya robek terbentur bagian mobil yang sedikit tajam.

“Rain....”

Suara lemah yang keluar dari mulut Mentari sontak membuat tiga laki-laki di sana mendekat ke ranjang pasien. Merapalkan syukur dalam hati karena akhirnya perempuan ini sudah sadarkan diri.

“Kenapa? Ada yang sakit? Mana yang sakit? Mau gue panggil dokter? Mau minum?”

Itu bukan suara dari nama yang disebut oleh Mentari. Itu suara dari teman SMP Mentari yang beberapa bulan belakangan memang turut andil menemani dan membantunya, Raga. Mentari tersenyum kecil menanggapinya. Gerakannya terbatas karena lehernya harus memakai neck collar.

Menyadari pertanyaannya yang kelewat beruntun, Raga menarik diri. Begitu juga Pak Naka. Memberi space untuk Rain dan Mentari berbicara berdua.

“Rain...”

“Iya, Ta, kenapa? Tidurnya enak? Atau ada yang sakit?” Rain mendekat untuk menggenggam tangan Mentari.

Mentari tidak menjawab pertanyaan itu, ia tiba-tiba meneteskan air matanya. Wajahnya sedih bukan main dan Rain ikut terenyuh sendu.

Raga dan Pak Naka yang menyadari situasi ini segera berinisiatif keluar dari ruangan pasien. Keduanya sama-sama paham bahwa mungkin pagi dini hari ini Rain akan membiarkan Mentari merasakan sakit yang lebih dari semua luka di tubuhnya.

Rain menghapus air mata yang terus membanjiri pipi perempuan ini. Tangannya di genggam semakin erat. Ya Tuhan, tolong kasih kekuatan lagi buat Mentari.

Mentari menggerakkan tangannya yang masih lemas untuk mengusap lembut perutnya. Sedikit meringis karena terdapat bekas jahitan di sana.

“Anak kita...., udah nggak ada, kan?”

Pedih. Rain tahu sebagai laki-laki seharusnya ia jauh lebih kuat, tapi ketika kalimat itu keluar dari bibir Mentari, air matanya ikut terjatuh membasahi pipinya.

Di saat langit masih diselimuti cahaya lembut bulan, Rain mengangguk pasrah. Hatinya pilu, sama dengan Mentari. Keduanya terluka dengan takdir ini. Mereka sudah melakukan kesalahan besar, namun kenapa mereka bahkan tidak diberi kesempatan untuk bertanggungjawab?

Rain menggenggam kedua tangan Mentari yang gemetar. Wajahnya yang sudah pucat semakin terlihat jelas.

“Aku..., apa emang nggak dibolehin bahagia, ya, sama Tuhan?”

Kali ini bukan hanya tangannya yang bergetar, tapi setiap kalimat yang keluar dari bibirnya juga menyiratkan bahwa Mentari lebih hancur lagi hari ini. Garis takdir yang diterimanya lebih berat lagi. Kehilangan anak yang bahkan belum ada satu bulan di perutnya, yang bahkan belum ketemu dokter kandungan, yang bahkan keluarga mereka belum ada yang diberi tahu.

Tangan Mentari mencengkram ujung lengan kemeja yang Rain pakai sejak dari Skylight kemarin malam,

“Hidup aku, berat, Rain. Aku..., sakit. Dada aku sakit. Aku cape, Rain. Please, bahkan anakku nggak diizinkan ada di dunia ini...,”

ucap Mentari dengan nada yang terputus-putus karena sibuk mengatur nafasnya, mulai sesak, dirinya terlalu banyak menangis sementara tubuhnya masih begitu lemas.

Air mata Rain tidak kalah deras dengan milik Mentari. Rain memajukan lagi tubuhnya untuk memeluk Mentari, perempuan cantik yang baru saja kehilangan satu hal yang ia kira akan menjadi cahaya baru di hidupnya.

“Rain, kali ini, aku boleh nyerah?”

Pertanyaan itu sontak membuat Rain memeluk Mentari lebih erat lagi. Menciumi seluruh bagian wajah perempuan itu penuh kasih dan juga penuh air mata sembari menggelengkan kepalanya.

“Nggak boleh mikir gitu ya, Ta. Gue di sini sama lo. Kita lewatin ini bareng-bareng ya. Lo nggak sakit sendirian, gue juga ngerasain yang lo rasain, Ta. Dia juga anak gue.

Lo harus tetep hidup. Lo harus tetep jadi Mentari yang kuat dan tahan banting. Nggakpapa sekarang nangis-nangis, gue temenin. Sumpah, jangan ngomong kayak gitu lagi, Ta. Cukup bayinya, lo jangan.”

Suara Rain bergetar. Sakit melihat Mentari sefrustasi ini. Sakit mengingat kalimat yang di ucapkan Mentari. Hukuman untuk keduanya datang terlalu cepat.

“Bahkan aku belum ajak dia banyak ngobrol 4 hari ini, Rain. Bahkan aku....,”

Kalimatnya tidak berlanjut. Mentari pingsan.


Plakk.

Suara tamparan kedua yang Rain dapat di pukul 07.10 pagi hari ini, tepat di depan pintu kamar rawat Mentari. Pelakunya masih sama dengan tamparan pertama yang ia terima ketika menyapa di awal tadi, Pak Gerry, papanya Mentari.

“Kamu buat dia hamil dan kamu juga yang membiarkan dia menyetir sendirian malam-malam?”

Tamparan ketiga sudah akan mendarat, namun ditahan di udara dengan tangan Pak Naka yang memegangnya. “Maaf Pak, tapi jika wartawan lihat perlakuan Bapak Gerry yang seperti ini, timeline berita bukan hanya tentang Ibu Mentari.”

Entah kalimat itu hanya sebuah alibi agar Rain tidak ditampar lagi atau memang dia khawatir dengan status sosial papanya Mentari.

Lalu setelahnya, Pak Naka bergerak sedikit mundur, berniat untuk berpamitan, “Ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan di kantor, Ibu Mentari sudah bisa dijaga oleh Mas Rain, Mas Raga dan Ibu Elsa. Saya pamit undur diri lebih dulu, Pak.”

Pak Gerry mengangguk memberi izin lalu kembali menghadap Rain, kembali menatap arogan untuk menyidang laki-laki ini.

“Mentari memang bukan anak kandung saya, tapi dia akan mengacaukan segalanya jika wartawan tau dia hamil di luar nikah. Itu semua gara-gara kamu! Memang seharusnya saya tidak mengiyakan ketika Elsa berkeinginan mengadopsi anak itu di New York. Pembawa celaka.”

Rain tersenyum sarkah, bahkan bapak tua di hadapannya lebih peduli dengan urusan itu dibanding Mentari yang penuh luka di dalam.

“Saya tidak ada urusan dengan kamu. Saya hanya minta setiap kamu dan anak itu, Raga Bagaskara, mengunjungi Mentari, hindari kamera dan para wartawan. Tutup mulut kalian berdua. Mentari sudah keguguran, itu tandanya kamu sudah tidak ada ikatan apapun dengan dia. Begitu juga kamu, Raga.

Tinggalkan dia setelah dia keluar dari rumah sakit. Jauhi dia dan biarkan dia fokus dengan perusahaannya.”

Raga terdiam. Sejak tadi dia tidak sedetikpun melihat wajah Pak Gerry. Juga tidak mengeluarkan kalimat apapun dari mulutnya.

Pak Gerry benar-benar memiliki aura yang sangat kuat. Rain bisa merasakan itu. Rain mengerti kenapa Ibu Elsa dan bahkan Mentari tidak berani melawan perintahnya. Bahkan Raga yang mempunyai kebiasaan menatap orang ketika sedang berbicara, sepanjang Pak Gerry berbicara sejak datang tadi,. ia menghindari terjadinya kontak mata antara dirinya dan Pak Gerry.

“Meskipun Mentari bukan anak kandung Anda, apa Anda tidak bisa memperlihatkan kasih sayang Anda dengan Mentari? Mentari sejak kecil hidup dengan Anda. Mentari tidak butuh kekuasaan, dia hanya butuh kasih sayang, Pak.” Rain berdiri mengikuti Pak Gerry yang hendak membuka pintu kamar pasien.

“Sedang saya lakukan. Dengan menghentikan hubungan kamu dengan dia.”

Lelaki berumur yang masih mempunyai fisik gagah itu membuka pintu kamar VIP Mentari tanpa berniat untuk masuk menyapa anaknya.

“Elsa, kamu harus ikut saya rapat sekarang. Cepat.”

Dan seperti dugaan Rain maupun Raga, Ibu Elsa, tanpa berpikir panjang meninggalkan anak semata wayangnya yang sedang terbaring lemah.

Namun sebelum berjalan menjauh, Ibu Elsa berbalik sedikit untuk menatap mata Rain. Tolong jaga Mentari buat saya.

-hhaolimau_

Kayla menghentikan mobilnya di pinggir jalan kota besar ini. Sudah berjam-jam setelah pulang dari apartemen Rain, Kayla tidak mempunyai niat untuk pulang ke rumahnya meski ia tahu tubuhnya sudah sangat lelah.

Ralat. Bukan hanya tubuhnya, tapi juga hatinya.

It's already 11.30 pm and she's forget to come home. She's forget where is her phone, she's forget her parents and Kaje yang mungkin saat ini sudah mulai cemas karena ia pergi tanpa menghidupkan mobile data handphonenya.

She's forget Ryu, Helen, even Nathan, her bf. Kayla hanya merasa ia harus menuntaskan semua emosinya di sini. Di tengah kota, berjalan sendirian dengan kaki kecilnya yang mulai luka karena lupa untuk mengganti high heelsnya.

Kayla meninggalkan jejak air mata di setiap langkahnya yang mulai tertatih. Wajahnya terkadang mengadah ke langit, mencoba mencari untuk alasan berhenti menangis. Tapi Kayla tidak bisa. Air mata dan hatinya tidak henti-hentinya merasa perih.

Biarkan malam ini Kayla mempertanyakan semua pertanyaan yang selama ini ia pendam sendiri pada langit.

Ya Tuhan, kenapa harus Rain? Kenapa harus ada Mentari? Kenapa Kay harus jatuh cinta sedalam ini sama Rain? Kenapa harus sahabat 19 tahun Kay? Kenapa Kay nggak bisa merelakan Rain jadi milik Mentari? Kenapa harus Rain yang melakukan kesalahan menjijikkan itu? Kenapa ya Tuhan? Kenapa Kay bahkan nggak bisa mencintai Nathan setulus laki-laki itu mencintai Kay?

Tolong, tolong ambil hati Kay jika rasanya memang sesakit ini, seperih ini. Tolong, hapus ingatan Kay tentang Rain. Kay nggak terbiasa, ya Tuhan. Kay nggak suka perasaan kayak gini.

Kakinya melemah dan akhirnya menyerah untuk melangkah lebih jauh. Dirinya terduduk lemah di pinggir taman kota. Beruntung tidak di pinggiran jalan yang ramai. Di sini lebih aman untuk menangis sekencang-kencangnya tanpa memedulikan orang lain.

Jadi Kay mengulang semua ingatannya tentang Rain selama 19 tahun ini. Tentang Rain yang selalu menjahilinya. Tentang Rain yang tidak pernah mengalah padanya. Tentang Rain yang labil dan bodoh. Tentang Rain yang selalu menjadi alasannya tertawa dan mencaci. Tentang Rain yang akhir-akhir ini lebih memikat hatinya.

Kayla bisa merasakan dadanya mulai sesak dan kepalanya mulai pusing. Tangannya merogoh sakunya berharap menemukan uang untuk membeli air minum, tapi nihil. Hanya ada kunci mobil di sana.

Sebelum Kayla menjatuhkan kepalanya di kedua lututnya yang terangkat di depan dadanya, Tuhan mengirimkan malaikat untuknya.

Nathan di sini. Nathan menemukannya di antara padatnya seluruh jalanan di Jakarta. Nathan memeluknya tanpa mengatakan apapun. Nathan ada untuknya, selalu begini.

Nathan mendudukkan dirinya di samping Kayla dan merengkuh lembut gadis itu. Meletakkan dengan hati-hati kepala gadis itu di pundaknya. Namun Kayla bergerak mendekat untuk memeluk erat Nathan, meletakkan kepalanya dan semua tangisannya di dada laki-laki itu.

Nathan terluka, ia sangat terluka melihat gadisnya sehancur ini. Nathan marah. Nathan tidak terima.

Dan seperti dugaannya, Kayla melanjutkan nangisnya di dalam pelukkan hangat Nathan. Meluapkan emosinya di sana. Membasahi hoodie Nathan dengan air matanya yang mengalir deras.

Nathan bisa merasakan sakitnya dari isakkan Kayla. Nathan merasakan sakitnya setiap Kayla bergerak ke kanan kiri untuk sekedar mengambil nafas.

Tapi yang bisa Nathan lakukan saat ini hanya menenangkan gadisnya, like he always do. Tangan kirinya mengusap lembut dan pelan punggung Kayla. Sementara tangan kanannya mengusap sayang rambut Kayla yang sudah tidak tertata.

Cara itu selalu ampuh. Tangisan Kayla mulai mereda.

“Aku nggak tau kamu mau dengerin aku ngomong sekarang atau nggak, tapi aku tetep mau ngomong. Hehe.”

Nathan sedikit tersenyum mengetahui gadis dipelukannya mengangguk kecil.

“Aku emang nggak tau rasa sakitnya sebesar apa, Kay. Aku nggak tau rasa kecewa dan marah kamu sebesar apa. Aku nggak tau sepatah apa hati kamu sekarang. Aku nggak masalah sekarang kamu mau nangis sepuas-puasnya. Aku seneng kamu akhirnya sadar dan jujur sama apa yang kamu rasain di hati kamu. Aku seneng kamu berani mengeluarkan emosi kamu dan sisi lemah kamu.

Tapi kamu harus tau kalau aku selalu di sini. Aku selalu bisa jadi tempat kamu pulang, Kay. You don't understand how much you really meant to me. Hampir 4 jam aku nyari kamu, Kay. Rasanya mau gila. Sumpah.”

Kayla mendengarkan semuanya. Bahkan jantung Nathan yang masih berdetak begitu cepat terdengar jelas di telinganya. Kayla mengeratkan pelukannya. Merasa sangat-sangat bersyukur Tuhan menghadirkan Nathan di hidupnya.

“Aku tau kamu kesakitan. Aku tau kamu perlu melampiaskan emosi kamu. Tapi mikirin hal itu ditambah aku nggak tau kamu dimana bener-bener bikin aku hampir gila. Ini Jakarta, sayang, dan kamu pergi sendirian sampai jam segini dengan kondisi handphone yang nggak tau dimana?

Aku bukan mau marahin kamu, Kay. Maaf kalau kamu nangkepnya aku marah. Tapi sebenernya emang ada marahnya sih, dikit.”

Kayla tersenyum kecil. Mengetahui bahwa dirinya seberharga dan sepenting itu dalam hidup orang lain membuatnya mulai melupakan sejenak lukanya tadi. Nathannya bahkan sudah bisa membuatnya tersenyum dalam waktu singkat setelah ia habis-habisan menangis.

“Aku nyari kamu sejak Rain bilang kamu ke apart nemuin Mentari. Tapi pas aku ke sana kata Mentari kamu udah pulang. Nomor kamu nggak aktif, mba Vera nggak tau kamu kemana. Ya Tuhan, Kay, 4 jam tadi rasanya beneran kayak moment hidup yang paling aku takuti.”

Tangan Nathan mengambil sebelah tangan Kayla untuk meletakkannya di dada kirinya. Detak jantungnya masih bersuara keras, tidak beraturan. Kayla rasa Nathan sempat berlari ke sana sini mencarinya.

“Ini karena kamu, Kay. Karena aku takut kamu pergi dan ninggalin aku sendirian.”

Kayla meletakkan tangannya di leher Nathan lalu memeluk erat laki-laki itu. Laki-laki yang menjadi malaikat di hidupnya. Laki-laki yang didatangkan Tuhan untuk mengobati lukanya.

“Nathan, makasih banyak. Dan, maaf bikin khawatir.”

Nathan menghela nafas lega mendengarnya. Senyumnya mengembang. Tidak ada isak tangis lagi di kalimat yang keluar dari mulut gadisnya ini.

“Let it flow ya, Kay. Let it be. Kamu tau kan, jodoh nggak akan kemana. Aku bakal nemenin kamu buat lawan sakitnya. Aku bakal sembuhin luka kamu. Kamu punya aku buat tempat kamu berkeluh kesah, Kay. Baby, you're amazing, and i love you so crazy, Kayla.”

Nathan selalu datang di waktu yang tepat. Nathan berhasil. Nathan membantu Kayla untuk menerima kenyataan bahwa tidak semua hal berjalan sesuai ekspektasi kita. Tidak ada yang perlu kamu sesali terlalu lama, tidak ada yang perlu kamu benci selamanya, hidup itu berjalan. Let it flow, biar hati kamu belajar bagaimana caranya menerima.

“Nat, kok kaki kamu kayaknya agak bengkak? Sakit?”

Kayla memperhatikan Nathan ketika beranjak bangun dari duduknya. Laki-laki itu sedikit meringis dan Kayla bisa lihat kaki Nathan sedikit lebih besar dari biasanya.

“Iya, di gigit semut merah gitu, Kay. Bengkak deh, gede banget lagi. Udah, ayo pulang.”

Kayla mengangguk percaya, lalu meraih lengan Nathan untuk berjalan bersama dengannya menikmati langit malam Jakarta.

Tuhan, terima kasih sudah menghadirkan Nathan untuk Kayla. Terima kasih sudah memberi kesempatan Kayla untuk merasakan bagaimana rupa malaikat secara nyata di dunia ini.

Walau Kayla tidak tahu bahwa waktu mereka tidak akan lama lagi, tapi tolong berikan mereka kesempatan untuk bahagia bersama.

-hhaolimau_

Kayla mengemudikan mobil mba Vera dengan kecepatan sedang. Air matanya tidak berhenti mengalir bahkan sejak dia meminta izin mba Vera untuk memakai mobilnya.

Kayla tidak pernah menyangka ia akan merasakan patah hati separah ini. Kayla tidak pernah sekalipun menyangka kalau dirinya akan menjadi salah satu dari sekian banyak perempuan yang menangis pilu di balik stir mobil.

Pandangannya sedikit kabur, air matanya bahkan sudah enggan turun dan hanya berkumpul di pelupuk kedua matanya. Kayla kecewa setengah mati. Hatinya terluka.


“Kay, minum dulu, tenggorokan kamu pasti kering kebanyakan nangis.”

Itu suara Mentari. Kayla sampai dengan selamat di apartemen sahabat kecilnya yang bernuansa abu ini. Pelukan hangat dari Mentari ketika Kayla membuka pintu tadi meruntuhkan semua emosinya. Kayla menangis sejadi-jadinya di pelukan Mentari, yang juga menangis.

Rain, hari ini kamu melukai dua hati perempuan sekaligus.

Tangannya mengambil pelan gelas berisi air putih itu untuk segera dia tenggak. Jejak air matanya masih terlihat jelas di kedua pipinya. Kayla tidak berniat membersihkan wajahnya. Untuk apa? Toh dia masih akan menangis kembali?

Tidak berbeda jauh dengan Kayla, pipi Mentari pun sama basahnya. Mentari tidak bisa membayangkan sehancur apa hati Kayla ketika diberi tahu bahwa Rain-nya akan memiliki anak dengan perempuan lain. Dengan dirinya, Mentari.

“Aku, nggak tau harus apa, Kay. A-Aku bingung dan takut. A-ak, aku nggak mau liat kamu sesakit ini. Ma-maaf Kay, maafin aku. Demi Tuhan, Kayla, aku minta maaf sama kamu.”

Lagi. Air mata yang Mentari coba tahan untuk sekedar menyampaikan perasaannya kepada Kayla kembali mengalir di pipi lembutnya.

Melihat itu, Kayla mengambil beberapa tisu untuk menghapus air mata perempuan cantik di hadapannya. Lalu tangannya menggenggam erat tangan Mentari.

Mengambil nafas dalam lalu Kayla berusaha mengatur emosinya. Jika saat ini ia menangis lagi bersamaan dengan Mentari yang masih menangis, maka tidak akan ada masalah yang selesai. Kayla harus berfikir memakai otak jernihnya dan keegoisan dirinya yang mementingkan orang lain. Dirinya mulai mencoba membangkitkan senyum di wajahnya. Tentunya untuk terlihat baik-baik saja.

“Kamu, mau bayi ini, kan, Ta?”

Tapi untuk suara, Kayla tidak bisa berbohong. Pertanyaan pertama yang ia utarakan terdengar bergetar. Kayla kesakitan.

“Iya. Aku tau ini kesalahan aku sama Rain. Tapi aku nggak pernah sedikitpun berpikir untuk menghilangkan anak ini, Kay. Begitu juga Rain. Dia bilang, dia mau tanggung jawab. Dia mau bawa aku ke bunda ayahnya dan ketemu mama papaku, Kay.”

“Kayla, i'm so sorry. Mungkin kata maaf aja nggak cukup buat gambarin gimana menyesalnya aku liat kamu kayak gini. Aku tau kamu kesakitan. Begitu juga aku, Kay. Aku sakit hati dan nyalahin diri aku sendiri karena bisa-bisanya aku ngancurin hati kamu. I know you love him so much, but also i am.”

“Aku dan Rain memang nggak bilang menyesal melakukan hal itu, tapi kamu tau, Kay? Bahkan sampai tadi malem, Rain tetep menghawatirkan kamu.”

Tangan Kayla kembali bergetar. Dadanya mulai sesak karena menahan emosi yang membuncah. Air matanya tidak bisa lagi Kayla cegah untuk turun. Ya Tuhan, kenapa serumit ini, Rain?

“Dengerin aku baik-baik ya, Kay. Maybe now he will be mine, but actually i'm already know and i know u know too, he never loves me. He just loves you. From the first. Bahkan before he meets me in London 5 months ago. His choice is always you. Aku yang jahat di sini, Kay. Aku yang tetep maju disaat aku tau dia cuma liat kamu. Dunianya cuma ada di mata kamu.

But now with baby in my tummy, i can't let him go to you, again. Aku dan anak aku need Rain more than you now, Kay.”

Tangan Mentari mulai bergetar. Hatinya perih mengatakan fakta itu. Fakta bahwa bagaimanapun ia harus bersama Rain yang masih mencintai Kayla, karena laki-laki itu adalah ayah dari bayi di kandungannya saat ini.

Kayla mendengarkan semua perkataan Mentari dan tidak berniat sedikitpun untuk mengelak. Omongan Mentari benar. Mau bagaimanapun anak itu butuh ayah. Mentari dan anak itu butuh Rain melebihi dirinya.

Hatinya tercabik, jelas. Kayla sangat bisa merasakan bahwa dirinya terluka. Karena Rain, dan Mentari.

Ketika tangisan keduanya mulai mereda dengan sendirinya, Kayla mengumpulkan tangan Mentari jadi satu dan tersenyum manis dengan mata sembabnya.

“Aku tau itu, Ta. Aku nggak akan melarang Rain dan kamu untuk bersatu. Ada ataupun nggak adanya bayi itu, kamu bisa mendapatkan hati Rain kok, Ta. Rain bakal buka hatinya buat kamu, aku yakin.

Lagipula ada Nathan yang harus aku jaga, Ta. Kayak yang kamu bilang, we're so grateful to having each other. Aku percaya kok, seiring berjalannya waktu aku pasti bisa lupain rasa aku buat Rain. Kamu jangan khawatir ya.

Dan please, Mentari, berhenti merasa bersalah ya. Besok hari pertama kamu jadi bumil dimulai, hehe. Kamu harus tetep sehat dan kuat. Biar bayinya bisa sehat dan selamat sampai ketemu semua aunty dan unclenya di sini. Nanti aku sering mampir ke sini buat bawain vitamin, okey?” Kayla mengakhiri kalimatnya dengan tersenyum manis, lalu diikuti tubuhnya yang bangkit dari duduknya.

Mentari ikut berdiri, memeluk hangat teman perempuan keduanya setelah Qila. Teman yang seharusnya Mentari jaga baik-baik hatinya sejak dulu.

Kayla sudah banyak menyimpan luka sendirian, begitu juga Mentari yang diam-diam terluka hatinya. Semuanya disebabkan oleh satu nama laki-laki yang dengan tidak sopannya mengisi relung hati mereka berdua, Rain.

Kayla berpamitan pulang sebelum Rain datang ke sini. Ia harus menghindari laki-laki itu untuk beberapa hari kedepan.

Baru satu langkah kaki Kayla keluar pintu apart, Mentari mengajukan satu pertanyaan untuknya, “Kay, if someday he back to you, or he tell you he needs you so damn, please don't reject it, ya?”

Kayla tersenyum manis dengan anggukan kecil setelahnya, lalu kakinya mulai melangkah meninggalkan tempat yang mungkin tidak akan ia kunjungi untuk waktu yang belum ditentukan.

-hhaolimau_

Rain di sini. Di depan pagar rumah yang biasanya menjadi tempat kedua dia untuk pulang. Pagar rumah yang sudah 19 tahun menjadi saksi pertengkaran kecil dan tawa dua orang yang sekarang mulai sama-sama mengambil jarak mundur. Pagar rumah yang menjadi saksi Kayla dipeluk lelaki lain selain papanya dan dirinya, Rain.

Mengambil nafas dalam lalu meyakinkan diri untuk masuk ke dalam menuju halaman belakang rumah ini.

Pikirannya mendadak berjalan mundur ketika melewati ruang tamu, ruang makan, bahkan ruangan dengan pintu putih berstiker Pooh yang tertutup rapat.

Rumah ini, menjadi saksi pertumbuhan dirinya dan Kayla. Rumah ini yang tanpa sadar terisi penuh dengan kenangan mereka. Rain bersumpah di dalam hatinya, ia rindu.


Hal pertama yang menyapa dirinya ketika membuka pintu halaman belakang adalah speaker yang memutar lagu favorit Kayla, free love.

Pandangan Rain mengedar. Semua temannya dan Kayla ada di sini. Semua orang bersorak heboh melihat Ale dan pacarnya, Ryu, sedang battle dance di salah satu box floor di tengah party ini. Sampai pandangannya menemukan hal yang ia tuju malam ini, gadis cantik yang hari ini lebih dulu menginjak umur 23 dibandingkan dirinya.

Rain berhenti di salah satu sisi meja dan mengambil minuman untuk menghilangkan rasa kering mendadak di tenggorokannya.

Gadis cantik itu saat ini sedang tertawa dan berdansa absurd dengan teman-temannya dan tentu saja, Nathan.

Is it funny, right? Tahun lalu Rain yang ada di sana, Rain yang membuat wajah Kayla kotor penuh dengan krim kue tart. Rain yang membuat Kayla tertawa lepas. But look at now, kali ini Rain hanya bisa memandang dari jauh gadis yang sedang merapalkan do'a sebelum meniup lilin di atas kuenya.

Dengan gerakan reflek yang selalu dia lakukan setiap tahunnya di hari ulang tahun Kayla, Rain bergerak membuat permohonan bersamaan dengan Kayla di sana. Rain menyelesaikan permohonannya ketika sorak tawa dari semua orang mulai terdengar lagi, tandanya Kayla sudah meniup lilin. And it's time for party.

Nathan sudah melihat Rain dari awal lelaki itu masuk ke pekarangan rumah ini. Jadi setelah dia memastikan Kayla sudah bertemu semua tamu yang di undang, tangannya mendorong kecil pinggang Kayla, agar berjalan ke arah Rain. Lalu meninggalkan mereka berdua ketika Kayla sudah bisa menangkap maksud dari dorongan Nathan di pinggangnya.

Kayla berjalan mendekat, begitu juga Rain.

Tatap mereka bertemu. After 3 weeks, and they know for sure why their hearts suddenly feel hot. Yes, they miss each other and found it hard to hide it before.

Rain lebih dulu tersenyum, “Apa kabar, Kay?

Kayla menahan nafasnya dengan reflek, oh god, his smile, dan dengan senyum yang tersungging di bibir merahnya dia menjawab, “Good. Lo gimana? I guess u're not here tonight.”

“I'm good. Iya tadinya ngga mau dateng, takut lo canggung. But I think i should to be here tonight.”

Kayla mengambil segelas minuman di meja, “And let her alone?”

her. Rain tahu maksudnya, Mentari.

“Yes. Ada hal penting yang harus gue sampein ke lo.”

“Lebih penting dari dia?”

Mendengar jawaban Kayla, fokus Rain benar-benar mulai terkumpul pada perempuan ini. Mengabaikan beberapa orang yang memandang mereka berdua penasaran di belakang Kayla. Termasuk his bf, Nathan.

Malam ini Rain ingin egois. Malam ini Rain ingin mengatakan semuanya tanpa bayang-bayang Nathan atau Mentari di benaknya.

Rain mengangguk sebelum menjawab pertanyaan Kayla, “It's always you. Dari awal juga cuma lo yang bisa ambil ngerangkap semua hal penting di dunia ini.”

Kayla terdiam. Berdiri bersandar di samping Rain. Menyenderkan punggungnya yang tertutup cardigan coklat, membuat Rain tersenyum. Cardigan coklat yang sedang dipakai Kayla ini, miliknya. Milik Rain.

“Listen to me, ya, Kay. Gue mau ngomong panjang dan jangan lo potong dulu. Please, ini mungkin bakal agak aneh tapi lo jangan ketawa.”

Rain baru selesai berbicara tapi Kayla sudah mulai menahan tawanya. Ah gadis ini, tolong bantu Rain biar rasa gugup di dadanya nggak menghabiskan waktu banyak.

“Biasa aja dong muka lo, iya iya nih gue berhenti ketawa. Sok, go on, gue dengerin.”, Kayla memalingkan wajahnya dari Rain. Pandangannya mengedar memperhatikan pesta di depannya.

“Gue tau lo denger gosip dari Amel.”

Kayla yang tadinya tersenyum melihat Ale dan Ryu yang sedang bertengkar kecil, mendadak mengulum senyumnya. Dadanya mulai bergemuruh resah. Telinganya memerah dan memulai fokusnya hanya pada suara di sampingnya.

Gugup. Kayla hanya bisa menyiapkan hatinya untuk mendengarkan kalimat selanjutnya yang akan diucapkan Rain. Antara berharap atau berusaha tidak peduli.

“Malem itu, gue nggak tidur sama Mentari di Mars. Mentari emang mabu di Mars, tapi abis itu gue anter ke apart. Gue balik ke rumah dan liat lo ciuman sama Nathan.”

Rain menjeda kalimatnya untuk melihat ekspresi wajah Kayla. Dan sesuai dugaannya, Kayla mengerutkan dahinya, bingung.

“Iya, itu yang gue liat malem itu. Gue baru tau belakangan ini kalau ternyata Nathan nyium pipi lo. Gue juga baru tau kalau malem itu lo nangis, lo takut, karena gue..

Lo takut gue ngelakuin yang Amel bilang. Tapi malem itu gue nggak tau lo kenapa, Kay. Yang gue tau cuma lo ciuman sama Nathan. Dan lo tau anehnya apa? Gue marah.”

Kayla tidak berani sedetikpun memandang wajah Raih. Hatinya tiba-tiba merasa ngilu. Otaknya berusaha mencerna semua omongan Rain saat ini. Rain marah karena ngira gue ciuman sama Nathan?

Tidak hanya Kayla, Rain juga merasakan hal yang sama. Tiba-tiba dia merasa takut, lagi. Dia takut Kayla benar-benar meninggalkannya. Dia takut Kayla marah besar saat tahu kesalahan yang sudah dia lakukan.

“Kata orang, kata Mentari, itu artinya gue cemburu. Tapi rasa cemburu gue malem itu, bener-bener nggak bisa gue kontrol, Kay. Rasanya beneran sakit. Gue balik ke apart dan minum sama Mentari..

Dan dengan keadaan setengah sadar, keadaan gue sama Mentari yang malem itu sama-sama hancur, we had a sex.”

Emosi Kayla yang sedari tadi mati-matian dia tahan akhirnya berantakan. Air matanya turun deras. Kepalan tangan yang sengaja ia masukkan ke dalam saku dressnya menguat. Pandangannya tidak lagi ke arah teman-temannya, pandangannya jatuh ke kakinya. Kayla tidak ingin air matanya dilihat Rain.

Nathan. Nama itu yang pertama kali muncul di otaknya ketika sadar air matanya tidak berhenti keluar. Kayla berniat untuk mencari Nathan dan meninggalkan Rain di sini.

Tapi bahkan sebelum kepalanya terangkat untuk mencari keberadaan pacarnya, lelaki di sebelahnya sudah menariknya ke dalam satu pelukkan erat.

“I'm sorry. I'm sorry. Sorry. Please don't cry like this, please Kayla.”

Gagal. Kayla semakin mengeluarkan air matanya deras.

Ya Tuhan, hatinya sakit. Sakit sekali. Walau belakangan ini pikiran negatifnya sudah menebak hal ini, tapi mendengar pengakuan langsung dari Rain sangat menggores hatinya. Sahabat yang ia percaya, lelaki yang selama ini diam-diam ia harapkan untuk bisa ia ganti nama kontaknya dengan sebutan 'mine' malah melukai dirinya.

“Pukul gue, Kay. Tampar gue. I beg you. Please, jangan kayak gini, jangan hancur kayak gue. Lo punya Nathan.”

Kalimat terakhir dari Rain sukses membuat Kayla melepas paksa pelukannya dan memukul lengan Rain keras. Sangat keras sampai Rain mengaduh.

“Air mata gue udah sebanjir ini dan lo masih bisa-bisanya mention gue punya Nathan?!”

Kayla tahu sahabatnya ini memang minim rasa peka, tapi dia tidak pernah berpikir kalau Rain sebodoh ini.

“Lo mikir nggak sih anjir? Lo pikir kenapa gue sampe nangis segininya? Lo pikir kenapa malem itu Nathan sampe harus nenangin gue, Rein!?”

Rain terdiam. Tangan kanannya masih memegang pinggang gadis di depannya dengan posesif.

“Demi Tuhan Rain Ragastama lo nggak tau juga!?” Suara Kayla mulai sedikit meninggi. Emosinya sudah di ujung kepala. Tapi dengan santainya laki-laki di depannya malah menariknya kembali dalam pelukan baru.

Lalu berbisik tepat di telinga Kayla, “Tau. Cuma nggak boleh lo duluan yang ngomong. Harus gue. Gue suka sama lo, Kay. Bukan sebagai sahabat. Tapi sebagai seorang perempuan.”

Dunia di sekitarnya mendadak seperti hening. Aneh tapi perut Kayla tiba-tiba menghangat. Rasanya asing. Dadanya masih bergemuruh tapi kali ini seperti sedang di serbu ribuan kupu-kupu.

Tangannya bergerak sendiri memeluk balik tubuh Rain di dekapannya. Euphoria yang baru dia dapat di umur ke 23 nya, dia dapat dari Rain. Kayla memejamkan matanya rasa marahnya seakan meluap terbang tiba-tiba.

Untuk kali ini, biarkan Kayla menyampingkan Mentari. Biarkan Kayla melakukan apa yang Nathan minta tanpa mencoba mencari tahu apakah Nathan melihatnya saat ini atau tidak. Biarkan Kayla lupa kalau saat ini dirinya merupakan pacar orang. Biarkan Kayla menuruti kemauan hatinya untuk kali ini.

“I miss you, Kay. I miss you like crazy.”

And also Rain. Laki-laki itu memejamkan matanya. Menghirup dalam-dalam wangi rambut yang belakangan ini sangat ia rindukan. Tangannya mengelus lembut pinggang dan rambut Kayla. Rasa egoisnya sedang berada di puncak. Rain membuang pikirannya tentang apa yang sedang dilakukan Mentari atau apa yang dilakukan Nathan saat melihat dia memeluk Kayla seperti ini.

Rain ingin jujur dengan hatinya selama ini. Rain sedang tidak peduli dengan takdir seperti apa yang akan dia hadapi kedepannya. Entah dengan Mentari, Nathan, ataupun Kayla.

Malam ini, yang Rain dan Kayla pedulikan hanya satu, rasa rindu yang akhirnya terbayar. Rasa sayang yang selama ini tertahan mulai tersampaikan.


“Nat, langsung ke rumah sakit aja ya?”

Nathan menganggukkan kepalanya lemas. Tangannya menggigil kedinginan. Sakitnya kambuh dan dia tidak punya alasan untuk menolak ke rumah sakit.

“Bokap nyokap lo udah nyiapin UGD di sana.”

Raga memasukkan handphone ke sakunya dengan kasar. Membenarkan posisi kepala Nathan di pangkuannya.

Lalu Raga melihat Ale keluar dari rumah Kayla dengan terburu-buru. Masuk ke kursi pengemudi dan menyalakan mesin mobil dengan cepat, “Gue udah pamit sama mama Karin. Kayla masih sama Rain.”

Nathan tersenyum, “Nggakpapa, Kayla aman sama Rain.”

-hhaolimau_

“Jadi sebenernya kenapa lo nggak berani ngelepasin diri dari ikatan bokap lo?”, itu suara Rain. Laki-laki yang saat ini sedang duduk santai di sofa kamar hotel 345, kamar yang sama dengan pemiliknya yang masih sama dengan kemarin. Rain memutar pelan gelas wine di tangan kanannya

“Ya, karena aku nggak berani. Lagian kalau aku lepasin diri, aku harus kemana coba? Ancaman papa yang bakal blacklist aku dari pewaris perusahaan itu nggak main-main. Dan untuk saat ini, hidup aku masih tergantung sama papa dan perusahaannya.”, perempuan yang memiliki kunci kamar ini, Mentari. Menyesap wine di tangannya. Menikmati efeksi ringan yang diberikan minuman tersebut di otaknya. Dengan tangan kirinya yang memainkan beberapa hasil foto pola dirinya dan Rain di photobox tadi. “Kenapa lo nggak coba ngembangin bisnis atas nama lo? Maksud gue, lo pasti dapet royalti yang nggak kecil kan selama kerja di perusahaan papa lo. Lo sebenernya bisa aja kok mulai usaha baru dengan uang tabungan lo sendiri.”, Rain menjeda kalimatnya, “Itu pun kalo lo berani sih. Karena pasti nggak mudah. Kecuali lo pinter main saham.” “Jangan kebanyakan minum, ntar lo teler kayak kemarin, gue yang repot.”, tiba-tiba Rain sedikit memajukan badannya untuk mengambil gelas di tangan Mentari, tapi perempuan itu menghindar. “Kadar alkoholnya nggak tinggi. Minum aja yang banyak. Kamu pasti masih sadar sampai kamu keluar dari sini.”, Mentari melanjutkan meminum gelas di tangannya sampai habis. Rain tersenyum. Lalu kembali mengambil gelasnya dan menuangkan wine.

“Terus lo sampe kapan di London?”, Rain bertanya sambil terus memperhatikan gerak-gerik Mentari yang sepertinya sedikit tidak seimbang seperti sebelumnya. “Sampai semua klien setuju diajak kerjasama. Sampai papa bilang, kamu boleh pulang.”, Mentari berbalik memperhatikan Rain yang masih asik menghabiskan wine di gelasnya. Sampai Mentari mulai menyadari, tatapan laki-laki di depannya tidak sehangat sebelumnya. Rain mulai mengucek matanya, pandangannya mulai tidak fokus.

“Ta, coba lo cek kadar alkoholnya deh. Kok gue pusing ya. Gue nggak terlalu kuat soalnya sama yang kadar alkoholnya tinggi.”, Rain mulai beranjak membaringkan tubuhnya di sofa. Memegang kepalanya yang mulai terasa pusing. Aduh, Rain itu gayanya doang keren, tapi paling nggak kuat sama kadar tinggi alkohol. Kayla jauh lebih kuat dibanding dirinya.

Mentari, yang sebenarnya sudah mulai oleng, mengambil botol wine lalu mengeceknya, “12%. Tapi tadi kamu minum 2 gelas.”

“Shit. Tolong ta, ambil handphone gue, telfon Nathan, suruh jemput gue.”, Rain bergerak lemah mencoba mengeluarkan handphone di saku kemejanya. Klik link below for the song

Sialnya, ketika Mentari mendekat untuk mengambil handphone Rain, kakinya tersandung oleh kaki meja dan membuatnya semakin oleng hingga terjatuh tepat di atas wajah Rain.

Sebut ini bisikkan setan, tapi Rain yang sebenarnya tidak mempunyai otak kotor seperti Ale malah bergerak posesif menahan pinggang Mentari untuk tetap di atas dirinya.

“Ta, gantian ya?”, tidak ada maksud izin, jadi setelah mengatakan itu, Rain meraih dagu Mentari untuk dia sapa dengan bibirnya. Meski sebenarnya terkejut, tapi Mentari Jujur dengan hatinya lalu mulai memejamkan matanya. Mentari merasa nyaman. Mentari merasa aman. Kepalanya memutar memori 8 jam yang lalu, ketika senyum laki-laki ini selalu mengambil fungsi titik di setiap akhir kalimat di bibirnya.

Tidak ada pergerakan beberapa saat, sampai akhirnya Mentari bergerak ingin berdiri dan menyudahi ciumannya. Tapi Rain malah menarik tangan Mentari dan menggeser cepat badannya. Berbagi sofa yang tidak besar itu dengan perempuan asing yang baru 2 hari ini dia hafal namanya. Lalu kembali mencium bibir merah di hadapannya dengan lembut.

“Rain, di sini sempit.”, Mentari menahan gerakan Rain dengan mengelus pelan rahangnya yang sedikit mengeras. “Ayo ke kasur.”, laki-laki itu bergerak cepat menggendong Mentari dan membaringkannya di kasur. “Rain please, jangan berbekas, besok aku ada meeting”, Mentari berbisik lembut di telinga laki-laki yang kini mendekapnya erat dan terus menciumi seluruh wajah dan lehernya. “Hmm.” Ya Tuhan, bolehkah Mentari merasa bersyukur?

Laki-laki asing ini, mendengar ceritanya dengan baik, mendengar tawa dan keluhannya dengan tulus, mendengar hidupnya yang sebelumnya tidak pernah dia bagi dengan orang lain, memberikan dia beberapa nasihat dadakan yang membuat dirinya lebih baik. Laki-laki ini membuat dia akhirnya merasakan bagaimana rasanya “didengar”.

Biarkan Mentari melakukan hal yang sangat dilarang papanya sekali ini saja. Biarkan Mentari berhenti memikirkan perkerjaannya kali ini. Biarkan Mentari merasakan dekapan hangat yang dia impikan. Biarkan Mentari tidur dengan tenang tanpa dengar suara keributan malam ini. Biarkan Mentari bermimpi tanpa diselimuti suara tangisan mamanya.

Biarkan musim panas di London tahun ini menjadi saksinya,

Mentari luluh di bawah kendali hujan, Rain-nya, dengan tiba-tiba, tanpa peringatan, tanpa undangan, tanpa tanggungjawab. Tapi, Mentari suka.

-hhaolimau_