480. everyone love you
Kayla tidak pernah sekalipun berpikir bahwa pemandangan seperti ini akan terjadi tepat di hadapannya. Kayla tidak pernah sekalipun membayangkan bahwa ia akan melewati hal berat seperti saat ini.
Ketika pintu ruang rawat inap Nathan terbuka, sekujur tubuhnya termangu. Akalnya mencoba mencerna ini semua. Jiwanya tidak siap dengan semua prasangka buruk yang mulai bermunculan. Kayla berjalan pelan ke dalam ruangan, berbanding terbalik dengan Rain yang berjalan tergesa.
Rain tidak ingin bertanya mengapa 3 dokter dan beberapa suster itu ada di ruangan ini. Rain tidak ingin bertanya mengapa orang tua Nathan menangis pilu di samping ranjang sahabatnya itu. Rain tidak ingin menatap wajah 2 sahabatnya yang sudah basah karena air mata. Rain hanya berjalan cepat menuju ranjang pasien untuk bertemu sahabatnya, Nathan.
Nafas Rain menghempas kasar ketika ia masih mendapati senyum di wajah Nathan. Tersirat sedikit rasa lega di dadanya. Namun, rahang wajah Rain kembali mengeras saat memandang lebih dekat sahabatnya itu. Rain tahu, Rain dapat merasakannya dari tatapan laki-laki yang telah menjadi sahabatnya sejak SMA ini, ia sedang kesakitan.
“Dok, kenapa diem aja? Nathan kesakitan, Dok!” Marah. Bentakkan yang keluar dari bibir Rain. Matanya mulai merah menahan sesak di dadanya. Para dokter tadi hanya menunduk, merasa bersalah.
Nathan tersenyum kecil lalu menyentuh pelan tangan Rain. Bibirnya terbuka untuk mengatakan sesuatu kepada Rain. “Makasih banyak, Rain. Bu ... buat semuanya. Makasih banyak karena mau temenan ssa ... ma gue dari dulu. Maaf, gue belum jadi sahabat yang baik buat lo. Gue ... titip Kayla, ya? Peri cantik itu ... harus bahagia.”
Rain mencengkram lengan Nathan, “Nggak, gue nggak terima maaf lo kecuali lo sembuh, Nat. Gue nggak mau.”
Hatinya patah melihat sahabatnya dengan keadaan seperti ini. Air matanya tidak bisa lagi Rain tahan ketika Raga dan Ale menarik tubuhnya untuk mundur, memberi Kayla space untuk mendekat dengan Nathan.
“Udah, Rain. Dokter udah ngelakuin yang terbaik tadi ... nggak bisa, Nathan komplikasi sejak awal dia selesai operasi 2 hari lalu. Tubuh Nathan langsung nolak ginjal barunya. Tadi sempet sesek nafas dan kram. Kata mereka, dia bisa sadar dan bicara saat ini udah merupakan keajaiban. Tapi, kerja jantungnya udah mulai menurun, Rain” Setelah mengatakan itu, Raga membalikkan badannya menghadap jendela di luar. Tangannya mengepal keras untu menahan emosi yang sudah akan pecah. Semua, semua orang di ruangan ini merasakan hal yang sama dengannya, takut kehilangan.
Kayla menahan tangisannya ketika sudah mengambil posisi duduk di sebelah ranjang Nathan, ia genggam tangan Nathan yang tidak sehangat biasanya. Ia usap lembut pipi Nathan yang sedikit kering, lalu jari telunjuk kecilnya menyapa senyum tenang yang masih Nathan pamerkan di wajah pucatnya.
“Nathan, sakit, ya?”
Tangan lemah Nathan menggenggam balik tangan mungil itu. Memandang wajah cantik yang akan ia rindukan. “Hm. Tapi ... nggakpapa, bentar lagi sembuh.”
Kayla paham maksud dari kalimat itu, ia tersenyum pedih. Dadanya sesak. Nafasnya mulai tidak beraturan karena dirinya yang kelewat takut. “Nat, maafin Kayla, ya? Maaf Kayla nggak bisa bahagiain Nathan.”
Nathan menggeleng pelan mendengarnya. “Aku yang minta maaf sama kamu, Kay. Maaf aku bikin kamu nangis. Maaf aku ... nggak bisa tepatin janji aku. Maaf dan makasih ... Kamu, tolong terus bahagia, ya? Ada Rain yang bakal jaga kamu waktu aku nggak ada ... .”
Suaranya melemah, semakin rendah. Mata indahnya tidak lagi menatap Kayla dengan fokus. “Kay, bisa janji sama aku untuk tetep bahagia?”
Masih. Masih itu yang Nathan tanyakan saat kalimat yang terucap dari bibirnya terus disertai ringisan. Rain yang memperhatikan interaksi keduanya menggeleng pasrah. Tidak habis pikir, bagaimana bisa masih hal itu yang Nathan tanyakan bahkan di saat matanya sudah tidak terbuka lebar seperti biasanya. Sebesar itu, sepenting itu, kebahagian Kayla bagi Nathan.
Kayla menggeleng berkali-kali dengan air mata yang sudah mulai keluar membasahi pipinya. Namun, Nathan memberikan tatapan memohonnya ketika perempuan itu mengangkat kepala untuk menatap matanya lagi.
“Iya. Janji.”
Nathan tersenyum mendengarnya. “I love you, Kay ... Makasih, dan ... .”
Dan, kalimat Nathan tidak berlanjut lagi setelahnya.
Kayla memejamkan matanya ketika mendengar kalimat itu tidak selesai. Hanya suara dari derasnya air hujan di luar jendela yang dapat ia dengar. Dadanya sangat sesak. Kayla tidak ingin melihat apa yang terjadi di depannya. Kayla hanya terus menggenggam tangan Nathan yang kehangatannya mulai hilang.
“Nathan, maafin Kayla.”
Telinganya dapat mendengar suara tangis yang lebih kencang dari orang tua Nathan, juga Ale. Kayla tidak ingin beranjak dari duduknya di samping laki-laki yang selama ini mencintainya dengan begitu tulus.
“Nat, Kayla belum ajak Nathan makan di mang Ari.”
“Kayla belum kenalin Nathan ke papa.”
“Nat, Kayla bahkan belum pernah beliin Nathan hadiah apapun.”
“Nathan ... ayo jawab ... buka matanya ... .”
Semakin ia menahan suara tangisnya, semakin dadanya sakit. Rasanya seperti ia ditusuk oleh busur panah. Rasanya seperti mimpi buruk. Kata kehilangan tidak pernah sekalipun mudah untuk dihadapi oleh siapapun. Kayla hancur.
“Nathan janji sama Kayla kalau nggak akan pergi kemanapun. Nathan bilang nggak akan tinggalin Kayla. Nathan bilang, Nathan mau pegang kue ulang tahun Kayla tahun depan, kan?”
“Nat, Kayla bahkan belum bilang kangen secara langsung.”
“Ayo jawab, Nat. Kayla tahu Nathan denger.”
“Nat, maaf ... .” Suara Kayla bergetar.
Tubuhnya semakin melemas begitu pundaknya ditarik dalam sebuah rengkuhan hangat. Kayla membuka matanya dan melihat suster yang sedang melepas semua alat bantu di tubuh laki-laki terbaik di dunia ini. Kayla membuka matanya untuk mengambil kesempatan melihat wajah damai laki-laki itu terakhir kalinya. Laki-laki yang mengajarkannya cara untuk mencintai seseorang dengan tulus. Laki-laki yang mengajarkannya untuk selalu menjadi diri sendiri.
Kayla hampir ambruk. Dadanya sakit karena merasa ada sesuatu yang hilang di sana. Hatinya memang bukan milik Nathan, tapi seluruh waktu yang ia punya beberapa bulan terakhir hanya diisi oleh kehadiran laki-laki itu. Laki-laki itu selalu punya tempat di hati Kayla, sebagai seorang sahabat yang sangat berharga untuknya.
Rain memeluk gadisnya lebih erat. Ia tarik Kayla ke dalam dekapan hangatnya. Ia biarkan pundaknya basah oleh tangisan Kayla. Ia biarkan dirinya terlihat lemah di depan Kayla kali ini. Ia biarkan air matanya ikut turun secara terus-menerus membasahi pipinya.
Rain menoleh ke arah jendela di sampingnya. Masih hujan, deras. Memori di kepalanya memutar bagaimana sosok Nathan di matanya. Memutar bagaimana tawa anak laki-laki yang tenang itu. Memutar bagaimana sabarnya anak laki-laki itu menghadapi Raga dan Ale yang sering kali meributkan hal sepele. Memutar bagaimana perilaku random anak laki-laki itu ketika moodnya sedang baik.
Langit di luar bahkan ikut hancur, Nathan. Langit di luar bahkan tidak berhenti mengeluarkan tangisannya. Langit di luar begitu gelap.
Semesta ikut merasa kehilangan sosok laki-laki paling penyayang di bumi ini. Semesta ikut bersedih karena kamu lebih memilih hidup di surga dengan para bidadari.
Perjuangan Nathan selesai sampai di sini.
Nathan sudah sembuh. Nathan sudah sehat. Nathan menutup matanya tanpa penyesalan apapun. Keinginannya untuk menjadi salah satu alasan Kayla bahagia sudah terwujud atas bantuan Rain. Nathan meninggalkan mereka semua dengan senyum damai yang masih terlukis indah di wajahnya.
Waktu itu, Kayla pernah berdo'a ; untuk Mentari agar urusannya cepat selesai dan untuk Nathan agar dipertemukan dengan perempuan yang pantas dengannya.
Keduanya memang terkabul. Namun, Kayla lupa menambahkan permintaan untuk tidak melukai Mentari ataupun Nathan.
Urusan Mentari selesai dengan fakta menyakitkan, Mentari dan Rain yang ternyata sepupu kandung. Juga Nathan yang saat ini sudah dipertemukan dengan bidadari, perempuan yang pantas untuk dirinya.
-hhaolimau_