ayya.

Keyza masih memandangi wanita yang ternyata sebaya dengannya ini duduk manis dengan gadis kecil berambut kuncir kuda berusia 4 tahun.

Sudah 1 jam berlalu dan hidangan di atas piringnya juga piring Yura sudah habis. Saat ini, Yura sedang menyuapi makanan untuk gadis kecilnya, Emma.

Senyum di wajah Keyza menampakkan bahwa dirinya menikmati interaksi seorang Ibu dan anak di depannya ini. Banyak sekali pertanyaan yang Keyza biarkan menguasai pikirannya sekarang. Ia sangat mengagumi bagaimana sosok Yura yang terbilang masih berumur muda itu terlihat sangat mampu merawat anaknya. Bagaimana bisa tatapan tegas yang Yura berikan untuk Keyza di awal pertemuan mereka tadi secara otomatis berubah menghangat dan melembut saat ia berinteraksi dengan Emma?

Lucu banget ya, punya anak kecil ...

Hatinya meluruh saat ia melihat dengan kedua netranya senyum cerah di wajah Emma terbit begitu saja. Bahagia anak itu sungguh disebabkan dengan hal-hal kecil di dunianya. Untuk keadaan saat ini, bahagia Emma karena Mamanya, Yura, menyuapinya makan siang dengan ribuan candaan yang menggelitik perut.

Keyza tenggelam dalam lamunannya sampai akhirnya Yura mengajaknya berbicara.

“Emma nggak kenal siapa ayahnya, Key. Emma punyanya Om Cade ... .” Yura menjeda kalimatnya untuk memberikan senyum hangat untuk Emma. “Tapi, Em nggak masalah dengan itu. Ya, kan, Sayang?”

Mendengar intonasi tanya yang diberikan Mamanya, Emma tersenyum lalu menganggukkan kepalanya berkali-kali. Lagi-lagi, Keyza meluruh.

“Ayahnya nggak tau dimana. Makanya untuk semua kebutuhan Em selama ini, aku selalu dibantu Cade. Aku nggak tau kalau Cade nggak ada, aku bakal gimana, Key. Aku bukan wanita sekuat itu ... .” Intonasi suara Yura sedikit merendah sambil meletakkan piring makanan Emma yang sudah habis di meja.

“Kamu udah lama bareng-bareng sama Cade ya, Ra?” Pertanyaan Keyza keluar begitu saja dari bibirnya tanpa ia rencanakan sebelumnya.

Yura menghentikan gerakan tangannya untuk memasukan keperluan Emma ke dalam tasnya saat mendengar pertanyaan itu. Raganya bergerak untuk menghadap Keyza seutuhnya.

Yura mengawali kalimatnya dengan senyuman. “Sejak kuliah, Key. Aku sama dia satu jurusan ... Sama kamu juga, dulu.”

Tidak bisa Keyza pungkiri dirinya sedikit terkejut mendengar fakta itu. Fakta bahwa Yura juga merupakan teman lamanya. Bagian dari masa lalunya. Keyza mengingat semua perkataan Cade padanya tempo hari. Tidak ada sekali pun Cade menyebut Yura sebagai teman Keyza saat kuliah. Seharusnya, Cade tidak menyembunyikan fakta kecil itu, kan? Tapi, mengapa ia tidak diberitahu?

Tangan Yura mengenggam kedua tangan milik Keyza erat. “Aku, kamu dan Cade itu temen satu jurusan, Key. Kita bersahabat sangat dekat selama masa kuliah. Bahkan aku dan Cade sempat berpacaran dulu ... .”

“Apa namaku dulu ... benar Keyra?”

Yura mengangguk. “Iya. Kamu Keyra. Keyra yang suka sama Cade dari dulu dan aku nggak tau itu sama sekali. Kamu itu wanita nomor satu yang mahir menyembunyikan perasaan, Key. Sampai aku pacaran sama Cade pun, kamu nggak pernah marah atau keliatan kesel sama aku atau Cade.”

“Kamu itu cinta dan sayang banget sama Cade. Dan waktu aku melakukan kesalahan fatal dengan Cade, kamu—” Ucapan Yura terpotong karena tiba-tiba tangan kecil milik Emma menarik bajunya.

“Mam, Em mau buang air kecil.” rengekan dari Emma total membuyarkan percakapan serius antara Yura dan Keyza. Dengan segera Yura melepas genggamannya pada Keyza dan beranjak berdiri dari duduknya.

“Aku ke kamar mandi dulu ya, Key. Nanti kita lanjut lagi.” Keyza mengangguk patuh mendengarnya. “Yuk, Sayang.”

Yura menggenggam erat tangan Emma untuk berjalan seiringan dengannya menuju kamar mandi kafetaria kantor ini. Senyum cerah keduanya seakan menunjukkan bahwa mereka merasa cukup bahagia dengan kehidupan yang mereka lalui bersama 4 tahun belakangan.

Sebenarnya, jauh di dalam hati Yura ia merindukan Vano. Ia butuh Vano. Laki-laki yang datang menjadi obatnya setelah kekacauan yang ia dan Cade perbuat dulu. Laki-laki yang seharusnya menggenggam tangan kecil Emma bersamanya. Laki-laki yang seharusnya Emma panggil Papa.

Pandangan Yura mengedar untuk sedikit melihat keadaan kafetaria yang ternyata tidak banyak berubah sejak dirinya resign dari Meilleur Group tepat sebelum melahirkan Emma. Yura mengakhiri kontrak kerjanya dan memilih untuk fokus merawat juga membesarkan anaknya tanpa sosok suami di sisinya.

Sebelah tangan Yura yang mengayun gontai terangkat tinggi untuk menyapa seseorang yang merupakan salah satu partner kerjanya dulu, Angga.

“Angga!” seru Yura. Suaranya yang nyaring mampu membuat beberapa orang di sini menolehkan kepala mereka untuk mencari sumbernya. Termasuk seorang laki-laki yang berdiri tidak jauh di sebelah Angga.

Namun siapa sangka, kedua netra Yura menangkap dengan jelas siapa pemilik tubuh berproporsi tinggi itu. Tubuhnya berhenti mendadak saat laki-laki itu menampakkan wajah terkejut yang sangat kentara. Bahkan, tubuh tingginya bergerak pelan menuju Yura.

“Lah, Ju, mau kemana lo?” tanya dari Angga tidak terekam dalam pendengaran Juan. Ia tidak memedulikan lagi keadaan orang di sekitarnya yang sedang menatapnya heran. Yura memanggil nama Angga, namun kenapa dirinya yang bergerak mendekat ke arah Yura?

Energi di kedua kaki Yura seakan terkuras habis melihat laki-laki yang mendekat itu. Tangannya dengan cepat menggendong Emma di dadanya. Keyza yang melihat kejadian itu perlahan mendekat di belakang Yura. Begitu juga dengan Angga di belakang Juan.

“Ra, is that you? Yura?”

Yura tidak tuli. Ia mendengar dengan baik pertanyaan yang dilontarkan laki-laki yang ia kenal sebagai Vano.

“Lo kemana aja, Van?” tanya Yura dengan suara yang sudah melemah. Ia tidak pernah menyangka sekali pun bahwa semua usaha yang Cade dan Mamanya lakukan untuk mencari Vano akan terasa sia-sia hari ini. Laki-laki itu, laki-laki yang menghilang 4 tahun lalu saat ini ada di depannya. Lengkap dengan kartu tanda pengenal karyawan di lehernya. Dia di Jakarta. Di kantor Cade.

“Ini anak siapa, Ra? Anak gue?” lirih Juan.

Angga tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya ketika mendengar pertanyaan itu keluar dari Juan. Logikanya bergerak dengan cepat untuk menangkap situasi saat ini.

“Kok Van? Hah? Juan? Lo, kan, Juan!”

Juan menolehkan wajahnya untuk menatap Angga dengan kedua matanya yang sudah mulai berlinang. Tangannya mengangkat tanda pengenal di lehernya. Melihat itu, Angga mengusap kasar wajahnya. Ya, dia Juan Vanogratte. Dan bodohnya, di antara dirinya, Cade dan Deefan, tidak ada satu pun yang menyadari hal itu.

Laki-laki yang 4 tahun ini Cade cari tahu keberadaannya. Laki-laki yang menghilang begitu saja dari radar Yura. Laki-laki yang menyebabkan Yura tidak memiliki niat sedikit pun untuk melepas Cade. Laki-laki yang menyebabkan Cade harus menanggung hal yang seharusnya tidak dalam radarnya.

Secara mengejutkan, ternyata dia ada di sini. Dia sudah ada di dalam radar Cade sejak 2 bulan lalu.

Angga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia masih terkejut karena harus menghadapi fakta ini sendirian di antara panasnya cuaca dari langit yang menembus kaca di sini. Angga tertawa sarkah. “Sialan. Dunia lagi bercanda banget.”

-ayya.

Keyza merubah posisi tubuhnya untuk memandang gemerlap lampu kota Jakarta dari kafe di salah satu gedung berlantai 25 yang ditemukan Cade. Makanan di piringnya sudah habis. Keyza sangat bersemangat malam ini.

Ia sangat menyukai pemandangan bagaimana lampu-lampu dari berbagai sumber dan bentuk itu berlomba menerangi gelapnya langit malam. Entah bagaimana prosesnya, mereka sangat indah dan cemerlang di dasar bumi, namun gelapnya langit menerima dengan baik cahaya mereka.

Suara alunan gitar dari music band di kafe ini memenuhi pendengaran Keyza. Perhatiannya benar-benar teralihkan dengan bagaimana malam ini terasa begitu indah. Ia bahkan mengabaikan Cade yang sedang menatap dalam dirinya.

Cade tersenyum. Benar-benar tidak ada yang berubah dengan hobi atau kesukaan gadis di depannya sejak mereka kecil. ’Keynya’ masih sama. Masih dengan rambut panjang yang dibiarkan terbawa angin dan polesan riasan tipis di wajahnya. Hanya saja biasanya Keyra lebih menyukai memakai rok untuk berpergian, sementara Keyza menyukai setelan atas bawah atau jeans.

“Seneng, Key? Suka?”

“Iya. Suka. Suka banget.” Gadis itu bahkan menjawab tanpa menolehkan kepalanya. Fokusnya masih tertuju pada kilauan lampu-lampu gedung pencakar langit dan ribuan kendaraan di bawah.

“Keyra juga suka. Suka banget. Ekspresinya kayak kamu. Persis.”

Pernyataan dari Cade barusan seketika membuat tubuh Keyza terdiam. Tubuhnya menolak menghadap Cade, namun telinganya terpasang dengan baik untuk mendengar Cade bercerita. Ia harus tahu pasti siapa Keyra.

Keyza sudah memutuskan untuk percaya apa pun yang Cade katakan. Keyza rasa, laki-laki ini tidak mempunyai alasan untuk membohonginya. Jadi, apa pun fakta yang akan Keyza ketahui malam ini, akan ia terima dengan pikiran yang positif.

Cade menarik panjang napasnya. Perlahan tubuhnya ikut menghadap ke arah mana netra Keyza tertuju.

Jauh di dalam hatinya, Cade sudah pasrah. Ia tidak bisa memaksa Keyza untuk mengingat semuanya malam ini. Ia juga tidak akan memaksa Keyza untuk kembali menjadi Keyranya. Karena sebenarnya Cade paham, relung hati gadis yang kini di sampingnya telah diisi oleh sosok lain.

Walau di sisi lain, Cade juga sangat paham. Bahwa hatinya hanya milik Keyra—yang saat ini bernama Keyza.

“Keyra … She is my wife. Was. 4 years ago. She’s mine.” ujar Cade penuh kehati-hatian dan kelembutan.

Keyza spontan menahan napasnya. Tubuhnya sedikit merinding mendengar pernyataan asing itu. Bagaimana bisa? Di data Meilleur tidak tertulis bahwa Cade pernah menikah.

Keyza mengeluarkan pertanyaan pertama yang terlintas di pikirannya, “Dia sekarang di mana?”

“Keyra kecelakaan empat tahun lalu. Everyone knows she was died.

Keyza menelan ludahnya. Kali ini, sekujur tubuhnya benar-benar merinding. Tangannya menutup mulut kecilnya karena terkejut dan matanya sontak menatap tepat pada netra hitam gelap milik Cade.

Oh god … I’m sorry. I really sorry, Cade. I'm sorry i forced you to tell me your bad memory.” Keyza benar-benar merasa bersalah. Hatinya tiba-tiba terasa terluka saat melihat tatap Cade yang semakin lesu, dan terlihat patah.

It’s oke. I will tell you about my wife. Keyra punya rambut panjang berwarna cokelat. She always sleep with blanket. Keyra suka kucing. Keyra suka tanaman. Keyra suka setiap diajak ke kebun bunga. Dia paling suka bunga mawar. Dulu suka mawar putih aja, tapi semakin lama semua warna mawar dia suka. Keyra nggak suka makan steak, katanya ribet motongnya … .” Cade menjeda kalimatnya.

Dadanya terasa mulai sesak karena mengingat kenangan belasan tahun yang ia lalui bersama Keyra. Matanya mulai sedikit memanas. Ia menatap kedua tangan Keyza di atas pembatas balkon mewah ini. Rasa di dadanya membucah untuk mengenggam tangan itu lagi. Tapi, keberanian Cade tidak cukup untuk melakukannya saat ini.

Keyza menatap pilu laki-laki yang selama ini selalu terlihat paling baik-baik saja. Rasa ibanya menguar.

“Keyra nggak bisa sama sekali sama asap rokok. Keyra nggak suka minum. Keyra suka desain ruangan. Dia paling suka warna pastel. Keyra itu lembut. Perempuan paling lembut, sabar dan bodoh yang pernah aku temui.”

Semua kalimat dari mulut Cade tersimpan lekat di memori Keyza. Ia merasa tidak asing dengan semua hobi dan kesukaan yang Cade sebutkan. Kepalanya mendadak terasa sedikit pusing untuk mengingat siapa yang memiliki hal-hal persis dengan yang Cade sebutkan.

Keyza memijat pelan pelipisnya. Berusaha menerjang batas ingatannya. Dan ketika ia menyadarinya, tubuhnya membeku. Kedua mata cokelatnya tiba-tiba memanas. Ia menatap dalam kedua netra Cade. Berusaha mencari setitik kebohongan yang sayangnya tidak berhasil ia temui.

Iya, Keyza sadar. Semua hal yang Cade jelaskan tentang Keyra itu persis dirinya. Cade seperti sedang mendeksprisikan dirinya. Keyza.

Tatapannya penuh tanya. Cade kedua kalinya mengambil napas panjang. “Kamu boleh lari. Kamu boleh tinggalin aku kalau habis ini kamu pikir aku gila. Kamu boleh jauhin aku kalau kamu pikir aku cowok yang terobsesi.”

Keyza menunggu dengan takut kalimat yang akan Cade katakan selanjutnya. Ia menahan napas dan juga air mata yang entah mengapa sangat ingin keluar dari tempat persembunyiannya.

“Keyra itu Keyza. Kamu.” “Kamu, istri aku, yang ternyata selamat dari kecelakaan 4 tahun lalu.” “Orangtua kamu memanfaatkan memori kamu yang hilang dan melahirkan Keyza sebagai identitas baru kamu.”

Tangan Cade merogoh handphone di sakunya. Lalu jarinya bergerak terburu membuka galeri dan menujukkan foto pernikahan dirinya dengan Keyra.

Keyza hampir saja kehilangan keseimbangannya jika Cade tidak cekatan menahan pinggangnya.

Keyza tidak membantah. Keyza tidak bertanya lagi. Ia menangis. Untuk alasan yang Keyza sendiri tidak mengerti, ia menangis begitu Cade menatap matanya penuh dengan rasa sakit.

Cade mendekat untuk berbisik di telinganya. “I found you, Key. I miss you so crazy.

Then he cry.

No, not ‘he’. But they.

Keyza sedang tidak ingin logikanya bermain malam ini. Biarkan pertanyaan tentang kenapa orangtuanya memisahkannya dengan Cade? atau pertanyaan kenapa Byan bertingkah seakan ia tidak tahu apa pun? itu lenyap lebih dahulu. Biarkan Keyza memeluk Cade untuk pertama kalinya. Walau sebenarnya bukan pertama kali.

Keyza hanya mengikuti nalurinya malam ini. Ia biarkan pundak bos dari partner kerjanya ini menjadi basah karena air matanya.

“Kamu selamat, Key. Kamu di sini. Kamu berhasil pulang.”

“Aku hampir gila sejak kamu pergi. Aku hampir nyusul kamu, Key. Aku nggak tau kalau kehadiran kamu ternyata begitu memengaruhi hidup aku.”

Keyza terisak. Hatinya terasa perih walau logikanya masih belum menemukan alasan kenapa ia tidak menolak dengan tegas.

“Aku harus ketemu Mama, Cade. Banyak yang mau aku tanya untuk mastiin ini semua. Aku tetap nggak bisa percaya begitu aja.”

Ya, mau bagaimanapun, she’s Keyza now. Dia bukan lagi Keyra yang lugu dan polos. Dia bukan lagi Keyra yang tidak bisa menolak. Dia Keyza, perempuan yang jauh lebih kuat dan hebat. Cade mungkin perlu berterima kasih kepada Byan yang menuntun Keyza 4 tahun belakangan. Karena Byan, Keyza memiliki pertahanan diri dan harga diri yang jauh lebih tinggi.

Cade mengangguk. “Nanti biar aku temenin.”

Tidak banyak yang berubah malam itu. Keyza belum sepenuhnya percaya dengan fakta bahwa identitas aslinya adalah Keyra, istri dari direktur utama Meilleur. Namun Cade berhasil mengenggam tangannya selama di perjalanan pulang.

Hal yang tidak pernah Cade lakukan pada Keyra sekali pun.

-ayya.

Keyza merubah posisi tubuhnya untuk memandang gemerlap lampu kota Jakarta dari kafe di salah satu gedung berlantai 25 yang ditemukan Cade. Makanan di piringnya sudah habis. Keyza sangat bersemangat malam ini.

Ia sangat menyukai pemandangan bagaimana lampu-lampu dari berbagai sumber dan bentuk itu berlomba menerangi gelapnya langit malam. Entah bagaimana prosesnya, mereka sangat indah dan cemerlang di dasar bumi, namun gelapnya langit menerima dengan baik cahaya mereka.

Suara alunan gitar dari music band di kafe ini memenuhi pendengaran Keyza. Perhatiannya benar-benar teralihkan dengan bagaimana malam ini terasa begitu indah. Ia bahkan mengabaikan Cade yang sedang menatap dirinya dalam.

Cade tersenyum. Benar-benar tidak ada yang berubah dengan hobi atau kesukaan gadis di depannya sejak mereka kecil. ’Keynya masih sama. Hanya saja biasanya Keyra lebih menyukai memakai rok untuk berpergian, sementara Keyza menyukai setelan atas bawah atau jeans.

“Suka, Key?”

“Suka. Suka banget.” Gadis itu bahkan menjawab tanpa menolehkan kepalanya. Fokusnya masih tertuju pada kilauan lampu-lampu gedung pencakar langit dan ribuan kendaraan di bawah.

“Keyra juga suka. Suka banget. Ekspresinya kayak kamu. Persis.”

Pernyataan dari Cade barusan seketika membuat tubuh Keyza terdiam. Tubuhnya menolak menghadap Cade, namun telinganya terpasang dengan baik untuk mendengar Cade bercerita. Ia harus tahu pasti siapa Keyra.

Keyza sudah memutuskan untuk percaya apapun yang Cade katakan. Keyza rasa, laki-laki ini tidak mempunyai alasan untuk membohonginya. Jadi, apa pun fakta yang akan Keyza ketahui malam ini, akan ia terima dengan pikiran yang positif.

Cade menarik panjang napasnya. Perlahan tubuhnya ikut menghadap ke arah mana netra Keyza tertuju.

Jauh di dalam hatinya, Cade sudah pasrah. Ia tidak bisa memaksa Keyza untuk mengingat semuanya malam ini. Ia juga tidak akan memaksa Keyza untuk kembali menjadi Keyranya. Karena Cade paham dengan sangat, relung hati gadis yang kini di sampingnya telah diisi oleh sosok lain.

Walau di sisi lain, Cade juga sangat paham. Bahwa hatinya hanya milik Keyra—yang saat ini bernama Keyza.

“Keyra … She is my wife. Was. Four years ago. She’s mine.” ujar Cade penuh kehati-hatian dan kelembutan.

Keyza spontan menahan napasnya. Tubuhnya sedikit merinding mendengar pernyataan asing itu. Bagaimana bisa? Di data Meilleur tidak tertulis bahwa Cade pernah menikah.

Keyza mengeluarkan pertanyaan pertama yang terlintas di pikirannya, “Dia sekarang di mana?”

“Keyra kecelakaan empat tahun lalu. Everyone knows she was died.

Keyza menelan ludahnya. Kali ini, sekujur tubuhnya benar-benar merinding. Tangannya menutup mulut kecilnya karena terkejut dan matanya sontak menatap tepat pada netra hitam gelap milik Cade.

Oh god … I’m sorry. I really sorry, Cade. I'm sorry i forced you to tell me your bad memory.” Keyza benar-benar merasa bersalah. Hatinya tiba-tiba terasa terluka saat melihat tatap Cade yang semakin lesu, dan terlihat patah.

It’s oke. I will tell you about mu wife. Keyra punya rambut panjang berwarna cokelat. She always slepp with blanket. Keyra suka kucing. Keyra suka tanaman. Keyra suka setiap diajak ke kebun bunga. Dia paling suka bunga mawar. Dulu suka warna putih, tapi semakin lama semua warna mawar dia suka. Keyra nggak suka makan steak, katanya ribet motongnya … .” Cade menjeda kalimatnya.

Dadanya terasa mulai sesak karena mengingat belasan tahun yang ia lalui bersama Keyra dulu. Matanya mulai sedikit memanas. Ia menatap kedua tangan Keyza di atas pembatas balkon mewah ini. Rasa di dadanya membucah untuk mengenggam tangan itu lagi. Tapi, keberanian Cade tidak cukup untuk melakukannya.

Keyza menatap pilu laki-laki yang selama ini selalu terlihat paling baik-baik saja. Rasa ibanya menguar.

“Keyra nggak bisa sama sekali sama asap rokok. Keyra nggak suka minum. Keyra suka desain ruangan. Dia paling suka warna pastel. Keyra itu lembut. Perempuan paling lembut, sabar dan bodoh yang pernah aku temui.”

Semua kalimat dari mulut Cade tersimpan lekat di memori Keyza. Ia merasa tidak asing dengan semua hobi dan kesukaan yang Cade sebutkan. Kepalanya mendadak terasa sedikit pusing untuk mengingat siapa yang memiliki hal-hal persis dengan yang Cade sebutkan.

Keyza memijat pelan pelipisnya. Berusaha menerjang batas ingatannya. Dan ketika ia menyadarinya, tubuhnya membeku. Kedua mata cokelatnya tiba-tiba memanas. Ia menatap dalam kedua netra Cade. Berusaha mencari setitik kebohongan yang sayangnya tidak berhasil ia temui.

Iya, Keyza sadar. Semua hal yang Cade jelaskan tentang Keyra itu persis dirinya. Cade seperti sedang mendeksprisikan dirinya. Keyza.

Tatapannya penuh tanya. Cade kedua kalinya mengambil napas panjang. “Kamu boleh lari. Kamu boleh tinggalin aku kalau habis ini kamu pikir aku gila. Kamu boleh jauhin aku kalau kamu pikir aku cowok yang terobsesi.”

Keyza menunggu dengan takut kalimat yang akan Cade katakan selanjutnya. Ia menahan napas dan juga air mata yang entah mengapa sangat ingin keluar dari tempat persembunyiannya.

“Keyra itu Keyza. Kamu.” “Kamu, istri aku, yang ternyata selamat dari kecelakaan 4 tahun lalu.” “Orangtua kamu memanfaatkan memori kamu yang hilang dan melahirkan Keyza sebagai identitas baru kamu.”

Tangan Cade merogoh handphone di sakunya. Lalu jarinya bergerak terburu membuka galeri dan menujukkan foto pernikahan dirinya dengan Keyra.

Keyza hampir saja kehilangan keseimbangannya jika Cade tidak cekatan menahan pinggangnya.

Keyza tidak membantah. Keyza tidak bertanya lagi. Ia menangis. Untuk alasan yang Keyza tidak mengerti, ia menangis begitu Cade menatap matanya penuh dengan rasa sakit.

Cade mendekat untuk berbisik di telinganya. “I’ll find you, Key. I miss you so crazy.

Then he cry.

No, not ‘he’. But they.

Keyza sedang tidak ingin logikanya bermain malam ini. Biarkan pertanyaan tentang kenapa orangtuanya memisahkannya dengan Cade? atau pertanyaan kenapa Byan bertingkah seakan ia tidak tahu apa pun? itu lenyap lebih dahulu. Biarkan Keyza memeluk Cade untuk pertama kalinya. Walau sebenarnya bukan pertama kali.

Keyza hanya mengikuti nalurinya malam ini. Ia biarkan pundak bos dari partner kerjanya ini menjadi basah karena air matanya.

“Kamu selamat, Key. Kamu di sini. Kamu berhasil pulang.”

“Aku hampir gila sejak kamu pergi. Aku hampir nyusul kamu, Key. Aku nggak tau kalau kehadiran kamu ternyata begitu memengaruhi hidup aku.”

Keyza terisak. Hatinya terasa perih walau logikanya masih belum menemukan alasan kenapa ia tidak menolak dengan tegas.

“Aku harus ketemu Mama, Cade. Banyak yang mau aku tanya untuk mastiin ini semua. Aku tetap nggak bisa percaya begitu aja.”

Ya, mau bagaimanapun, she’s Keyza now. Dia bukan lagi Keyra yang lugu dan polos. Dia bukan lagi Keyra yang tidak bisa menolak. Dia Keyza, perempuan yang jauh lebih kuat dan hebat. Cade mungkin perlu berterima kasih kepada Byan yang menuntun Keyza 4 tahun belakangan. Karena Byan, Keyza memiliki pertahanan diri dan harga diri yang jauh lebih tinggi.

Cade mengangguk. “Nanti biar aku temenin.”

Tidak banyak yang berubah malam itu. Keyza belum sepenuhnya percaya dengan fakta bahwa identitas aslinya adalah Keyra, istri dari direktur utama Meilleur. Namun Cade berhasil mengenggam tangannya selama di perjalanan pulang.

Hal yang tidak pernah Cade lakukan pada Keyra sekali pun.

-ayya.

Keyza merubah posisi tubuhnya untuk memandang gemerlap lampu kota Jakarta dari kafe di salah satu gedung berlantai 25 yang ditemukan Cade. Makanan di piringnya sudah habis. Keyza sangat bersemangat malam ini.

Ia sangat menyukai pemandangan bagaimana lampu-lampu dari berbagai sumber dan bentuk itu berlomba menerangi gelapnya langit malam. Entah bagaimana prosesnya, mereka sangat indah dan cemerlang di dasar bumi, namun gelapnya langit menerima dengan baik cahaya mereka.

Suara alunan gitar dari music band di kafe ini memenuhi pendengaran Keyza. Perhatiannya benar-benar teralihkan dengan bagaimana malam ini terasa begitu indah. Ia bahkan mengabaikan Cade yang sedang menatap dirinya dalam.

Cade tersenyum. Benar-benar tidak ada yang berubah dengan hobi atau kesukaan gadis di depannya sejak mereka kecil. ’Keynya masih sama. Hanya saja biasanya Keyra lebih menyukai memakai rok untuk berpergian, sementara Keyza menyukai setelan atas bawah atau jeans.

“Suka, Key?”

“Suka. Suka banget.” Gadis itu bahkan menjawab tanpa menolehkan kepalanya. Fokusnya masih tertuju pada kilauan lampu-lampu gedung pencakar langit dan ribuan kendaraan di bawah.

“Keyra juga suka. Suka banget. Ekspresinya kayak kamu. Persis.”

Pernyataan dari Cade barusan seketika membuat tubuh Keyza terdiam. Tubuhnya menolak menghadap Cade, namun telinganya terpasang dengan baik untuk mendengar Cade bercerita. Ia harus tahu pasti siapa Keyra.

Keyza sudah memutuskan untuk percaya apapun yang Cade katakan. Keyza rasa, laki-laki ini tidak mempunyai alasan untuk membohonginya. Jadi, apa pun fakta yang akan Keyza ketahui malam ini, akan ia terima dengan pikiran yang positif.

Cade menarik panjang napasnya. Perlahan tubuhnya ikut menghadap ke arah mana netra Keyza tertuju.

Jauh di dalam hatinya, Cade sudah pasrah. Ia tidak bisa memaksa Keyza untuk mengingat semuanya malam ini. Ia juga tidak akan memaksa Keyza untuk kembali menjadi Keyranya. Karena Cade paham dengan sangat, relung hati gadis yang kini di sampingnya telah diisi oleh sosok lain.

Walau di sisi lain, Cade juga sangat paham. Bahwa hatinya hanya milik Keyra—yang saat ini bernama Keyza.

“Keyra … She is my wife. Was. Four years ago. She’s mine.” ujar Cade penuh kehati-hatian dan kelembutan.

Keyza spontan menahan napasnya. Tubuhnya sedikit merinding mendengar pernyataan asing itu. Bagaimana bisa? Di data Meilleur tidak tertulis bahwa Cade pernah menikah.

Keyza mengeluarkan pertanyaan pertama yang terlintas di pikirannya, “Dia sekarang di mana?”

“Keyra kecelakaan empat tahun lalu. Everyone knows she was died.

Keyza menelan ludahnya. Kali ini, sekujur tubuhnya benar-benar merinding. Tangannya menutup mulut kecilnya karena terkejut dan matanya sontak menatap tepat pada netra hitam gelap milik Cade.

Oh god … I’m sorry. I really sorry, Cade. I'm sorry i forced you to tell me your bad memory.” Keyza benar-benar merasa bersalah. Hatinya tiba-tiba terasa terluka saat melihat tatap Cade yang semakin lesu, dan terlihat patah.

It’s oke. I will tell you about mu wife. Keyra punya rambut panjang berwarna cokelat. She always slepp with blanket. Keyra suka kucing. Keyra suka tanaman. Keyra suka setiap diajak ke kebun bunga. Dia paling suka bunga mawar. Dulu suka warna putih, tapi semakin lama semua warna mawar dia suka. Keyra nggak suka makan steak, katanya ribet motongnya … .” Cade menjeda kalimatnya.

Dadanya terasa mulai sesak karena mengingat belasan tahun yang ia lalui bersama Keyra dulu. Matanya mulai sedikit memanas. Ia menatap kedua tangan Keyza di atas pembatas balkon mewah ini. Rasa di dadanya membucah untuk mengenggam tangan itu lagi. Tapi, keberanian Cade tidak cukup untuk melakukannya.

Keyza menatap pilu laki-laki yang selama ini selalu terlihat paling baik-baik saja. Rasa ibanya menguar.

“Keyra nggak bisa sama sekali sama asap rokok. Keyra nggak suka minum. Keyra suka desain ruangan. Dia paling suka warna pastel. Keyra itu lembut. Perempuan paling lembut, sabar dan bodoh yang pernah aku temui.”

Semua kalimat dari mulut Cade tersimpan lekat di memori Keyza. Ia merasa tidak asing dengan semua hobi dan kesukaan yang Cade sebutkan. Kepalanya mendadak terasa sedikit pusing untuk mengingat siapa yang memiliki hal-hal persis dengan yang Cade sebutkan.

Keyza memijat pelan pelipisnya. Berusaha menerjang batas ingatannya. Dan ketika ia menyadarinya, tubuhnya membeku. Kedua mata cokelatnya tiba-tiba memanas. Ia menatap dalam kedua netra Cade. Berusaha mencari setitik kebohongan yang sayangnya tidak berhasil ia temui.

Iya, Keyza sadar. Semua hal yang Cade jelaskan tentang Keyra itu persis dirinya. Cade seperti sedang mendeksprisikan dirinya. Keyza.

Tatapannya penuh tanya. Cade kedua kalinya mengambil napas panjang. “Kamu boleh lari. Kamu boleh tinggalin aku kalau habis ini kamu pikir aku gila. Kamu boleh jauhin aku kalau kamu pikir aku cowok yang terobsesi.”

Keyza menunggu dengan takut kalimat yang akan Cade katakan selanjutnya. Ia menahan napas dan juga air mata yang entah mengapa sangat ingin keluar dari tempat persembunyiannya.

“Keyra itu Keyza. Kamu.” “Kamu, istri aku, yang ternyata selamat dari kecelakaan 4 tahun lalu.” “Orangtua kamu memanfaatkan memori kamu yang hilang dan melahirkan Keyza sebagai identitas baru kamu.”

Tangan Cade merogoh handphone di sakunya. Lalu jarinya bergerak terburu membuka galeri dan menujukkan foto pernikahan dirinya dengan Keyra.

Keyza hampir saja kehilangan keseimbangannya jika Cade tidak cekatan menahan pinggangnya.

Keyza tidak membantah. Keyza tidak bertanya lagi. Ia menangis. Untuk alasan yang Keyza tidak mengerti, ia menangis begitu Cade menatap matanya penuh dengan rasa sakit.

Cade mendekat untuk berbisik di telinganya. “I’ll find you, Key. I miss you so crazy.

Then he cry.

No, not ‘he’. But they.

Keyza sedang tidak ingin logikanya bermain malam ini. Biarkan pertanyaan tentang kenapa orangtuanya memisahkannya dengan Cade? atau pertanyaan kenapa Byan bertingkah seakan ia tidak tahu apa pun? itu lenyap lebih dahulu. Biarkan Keyza memeluk Cade untuk pertama kalinya. Walau sebenarnya bukan pertama kali.

Keyza hanya mengikuti nalurinya malam ini. Ia biarkan pundak bos dari partner kerjanya ini menjadi basah karena air matanya.

“Kamu selamat, Key. Kamu di sini. Kamu berhasil pulang.”

“Aku hampir gila sejak kamu pergi. Aku hampir nyusul kamu, Key. Aku nggak tau kalau kehadiran kamu ternyata begitu memengaruhi hidup aku.”

Keyza terisak. Hatinya terasa perih walau logikanya masih belum menemukan alasan kenapa ia tidak menolak dengan tegas.

“Aku harus ketemu Mama, Cade. Banyak yang mau aku tanya untuk mastiin ini semua. Aku tetap nggak bisa percaya begitu aja.”

Ya, mau bagaimanapun, she’s Keyza now. Dia bukan lagi Keyra yang lugu dan polos. Dia bukan lagi Keyra yang tidak bisa menolak. Dia Keyza, perempuan yang jauh lebih kuat dan hebat. Cade mungkin perlu berterima kasih kepada Byan yang menuntun Keyza 4 tahun belakangan. Karena Byan, Keyza memiliki pertahanan diri dan harga diri yang jauh lebih tinggi.

Cade mengangguk. “Nanti biar aku temenin.”

Tidak banyak yang berubah malam itu. Keyza belum sepenuhnya percaya dengan fakta bahwa identitas aslinya adalah Keyra, istri dari direktur utama Meilleur. Namun Cade berhasil mengenggam tangannya selama di perjalanan pulang.

Hal yang tidak pernah Cade lakukan pada Keyra sekali pun.

-ayya.

Cade berjalan gontai menuju salah satu meja di kafe bernuansa cokelat ini. Kedua tangannya membawa cangkir yang masing-masing berisi coffeelatte, satu untuk dirinya dan satu lagi untuk gadisnya. Ah mungkin belum pantas ia sebut sebagai ‘gadisnya’ lagi.

Perempuan yang sedang mengikat tinggi rambutnya itu segera meletakkan kembali kedua tangannya di atas meja. Menjawab senyum di wajah Cade dengan senyum manis yang ia miliki.

“Keringetan banget, ya?” tanya Cade setelah tubuhnya sudah duduk rapi di kursi.

Keyza mengambil cangkir yang diberikan Cade lalu sebelum meminum isinya, ia menjawab, “Banget. Aku udah lama nggak olahraga sebegininya.” Lalu tawa kecilnya terbit.

Cade tersenyum. Netranya menjelajahi lekuk wajah Keyza di depannya. Perempuan di depannya masih sama. Wajah cantiknya akan bersemu merah jika sedang kelelahan. Sebenarnya, Cade jarang sekali melihat Keyra menampakkan wajah lelahnya mengingat waktu yang ia miliki dengan Keyra dulu tidak tergolong banyak.

Ah, seharusnya Cade berhenti menyebut nama ‘Keyra’. Perempuan di depannya ini sudah sangat menikmati hidup sebagai ‘Keyza’ selama empat tahun belakangan. Cade tidak peduli tentang nama dan identitas yang mungkin sengaja orangtuanya ubah. Cade hanya peduli fakta bahwa Keyza adalah Keyra. Istrinya empat tahun lalu.

“Cade, kamu nggak mau cerita tentang Keyra sekarang?”

Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Cade. “Nanti malem aja. Kan mau night driving.” Cade tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagia di wajahnya.

Tentu. Siapa yang tidak senang memiliki waktu berdua dengan gadis yang ia cintai? Cade tidak munafik. Membayangkannya saja, sudah mampu membuat dadanya bergemuruh bahagia.

Keyza mengangguk. “Anyway, aku baru tau kalau Meilleur bisa memiliki data perusahaan lain serinci itu.”

Cade paham. Keyza sedang membahas tentang dari mana Cade bisa tahu nomor apartementnya, juga tentang fakta ia menyukai bunga mawar.

“Iya. Kerjaan CEO. Pak Gerald. Dia serinci itu orangnya.”

Keyza mengangguk lagi. Lalu tangannya terangkat untuk membenarkan kembali ikatan rambutnya. Namun, tanpa disangka siku gadis itu mengenai cangkir di meja. Keyza sempat teriak karena terkejut. Coffeelattenya tumpah tepat di bajunya.

Dengan gerakan refleks, Cade mengambil banyak tisu dan membantu Keyza membersihkan noda kopi yang sebenarnya tidak mudah hilang. Keyza mengeluh tertahan. Ada-ada aja sih.

Helaan napas berat yang keluar dari sela bibir Keyza cukup terasa di permukaan wajah Cade yang memang saat ini posisinya sangat dekat dengan Keyza.

Cade tanpa sadar tersenyum gemas. Tangannya tetap berusaha membersihkan noda tanpa mengatakan apapun sampai satu kata yang keluar dari bibir Keyza membuatnya bergerak cepat menjauh untuk mengambil jaket miliknya.

Keyza mengatakan hal itu dengan suara yang sangat rendah, “Lengket.”

Cade menarik tangan Keyza untuk berdiri lalu tubuhnya mendekat. Kedua tangan Cade bergerak cepat untuk memakaikan jaketnya di kedua sisi pundak Keyza.

Lalu ia berbisik, “Ganti aja bajunya. Pakai jaket aku.” Tatapannya mengarah ke lorong di mana kamar mandi berada.

Keyza mengangguk gugup. Posisi Cade terlalu dekat dengannya. Mungkin saat ini, Cade dapat melihat wajah Keyza yang semakin memerah.

“Nggak usah malu. Kamu nggak sendirian. Aku tunggu di sini ya. Nggak kemana-mana.”

Kalimat terakhir dari Cade berhasil membuat kaki Keyza melangkah cepat menuju kamar mandi. Mencoba mengabaikan tatapan heran dari pengunjung lain di kafe ini.

Keyza bergerak cekatan untuk mengganti bajunya lalu memakai jaket Cade. Juga tidak lupa untuk menaikkan ritsleting sampai ke ujungnya. Kemudian menuju wastafel untuk sedikit membilas noda kopi di bajunya. Ia tidak ingin membuat Cade menunggu terlalu lama.

Jadi, setelah urusannya di kamar mandi selesai, kakinya kembali melangkah cepat menuju meja di mana ia dan Cade bersama tadi.

Namun, Cade tidak ada di sana. Keyza tidak takut, hanya saja ia sedikit panik karena dirinya tidak tahu arah pulang dari kafe ini. Ia belum hafal banyak tempat di Jakarta.

Netranya mengedar. Begitu pula tubuhnya yang bergerak ke sana dan ke sini mencari sosok laki-laki bernama Cade itu.

Kakinya tidak sabaran dan berjalan lebih cepat saat ia berhasil menemukan Cade yang sedang berdiri di samping mobilnya dengan tangan yang memegang handphone.

“Cade.”

Panggilan itu membuat sekujur tubuh Cade tersentak. Sial, ia lupa ada Keyza di kamar mandi.

“Aku cari kamu kemana-mana. Tadi, kamu bilang nggak akan kemana-mana, loh?” tanya Keyza dengan wajah yang sudah kembali memerah karena tubuhnya sudah sangat lelah.

“Maaf, Kay. Maaf banget. Tadi ada telpon penting dari temen. Anaknya sakit jadi aku bantu dia dulu. Maaf ya.”

Keyza mengabaikannya dan segera membuka pintu mobil. “Ayo pulang.”

-ayya.

Keyza berjalan gontai sambil membawa dua minuman kaleng menuju balkon apartementnya. Gaun tidurnya menjuntai cantik mengikuti setiap langkah kakinya. Begitu juga dengan rambut panjangnya yang tergurai indah.

Sudah dua jam berlalu sejak Byan mendatangi apartementnya untuk mengajaknya menonton film love and leashes yang baru saja rilis di Netflix. Setelah selesai menonton Byan mengajaknya ke balkon untuk menikmati udara malam yang sangat Keyza sukai.

Tangan kecil Keyza menyenggol pelan lengan laki-laki yang bersandar pada pembatas balkon kamarnya. Memberikan senyumnya lebih dulu sebelum minuman kaleng di tangannya.

“Udaranya beda sama di Paris, but still worth it lah. Thanks for your recommendation, Sir.” Keyza memulai pembicaraan lebih dulu. Lalu dengan mudah membuka tutup minuman kaleng miliknya.

“Maaf ya, Key. Karena aku, kamu jadi ikutan dikirim Papa ke sini.”

Keyza menoleh menatap paras rupawan di sampingnya. “Don’t need to say sorry, bi. I’m totally fine.Di sini ada keluarga aku, gimana bisa aku malah sedih?” Keyza menutup kalimatnya dengan tawa renyahnya yang menguar memenuhi indra pendengaran Byan.

Kali ini, Byan yang menatap dalam wanita di sampingnya. Wanita yang didatangkan Tuhan secara tiba-tiba untuk mengisi hatinya yang terluka 4 tahun lalu. Keyza di sana, selalu.

Sama halnya dengan yang dirasakan Keyza. Wanita itu menatap penuh arti ke langit gelap yang menaburkan bintang dengan acak. Keyza tersenyum manis. Merasa nyaman dan diam-diam bersyukur karena Tuhan mempertemukan dia dengan Byan.

“Key, let me ask something,” tanya dari bibir Byan sontak memecah keheningan yang sebelumnya sedang asyik menikmati bagaimana angin bermain ke sana kemari mengganggu letak rambut yang tertata.

Keyza menoleh. “Beneran deh, Bi. Kamu kok jadi tiba-tiba banyak basa-basinya sekarang?” Tawa di bibirnya menjeda kalimatnya. “Biasanya kamu tuh apa-apa langsung to the point. Akhir-akhir ini tumben nanya dulu gini.”

Byan tersenyum cerah mendengarnya. It’s always feels like home when i see your smile, Key.

We’re in Indonesia now, baby. Lagian, kamu nggak tau ya, aku ini man with best manner ever tau.”

Keyza hanya mendecih kecil berbarengan dengan senyum yang semakin lebar sebagai respon dari perkataan Byan. Lalu menatap laki-laki itu untuk menunggu pertanyaan yang akan keluar dari bibirnya.

Tapi, yang dilakukan Byan malah sebaliknya. Byan memutar badannya lagi untuk menatap langit malam dan mengabaikan tatapan Keyza pada dirinya.

“Key, if you remember who are you, how your life had before, what important things you had before, are you going to leave me?

Keyza termenung mendengar pertanyaan tidak terduga dari Byan. Keyza kira Byan akan melayangkan pertanyaan gurauan seperti yang biasa ia lakukan. Tapi, ternyata tebakannya meleset. Candaan yang sudah Keyza rencanakan untuk Byan mendadak lenyap.

Tatap Keyza berpindah mengikuti arah netra Byan tertuju.

“Bi, kamu pernah bilang kalau aku itu satu-satunya bintang jatuh yang Tuhan kirim untuk kamu di antara banyaknya bintang di langit. Kamu juga pernah bilang kalau aku sama kamu itu dipertemukan karena hal luar biasa yang aku sendiri sebenernya nggak inget dimana kita pertama kali ketemu selain di rumah sakit.”

Byan mendengarkan dengan seksama setiap kata yang Keyza sampaikan dengan tenang.

“Jadi, meski nanti aku berhasil bertemu bintang lainnya di langit, meski nanti aku berhasil ingat siapa bulan yang ada di sisiku sejak awal, kenyataan dan fakta bahwa kamu adalah rumah yang Tuhan kirim untuk aku itu nggak akan berubah.”

Keyza menjeda kalimatnya. Memorinya bergerak mundur. Mengingat dengan jelas bagaimana Byan ada di sana saat ia pertama kali membuka mata di kamar pasien. Keyza tidak akan pernah lupa bagaimana rasa takut dan kacau yang ia rasakan saat pertama kali tersadar dari 1 bulan masa komanya.

Keyza membuka mata layaknya anak bayi yang baru bertemu dunia kala itu. Fakta yang ia terima pertama kali dari dokter adalah bahwa ia menderita retrograde amnesia atau ketidakmampuan memunculkan kembali ingatan masa lalu. Dan sialnya, kondisi Keyza berada di titik terparah, ia tidak ingat siapapun termasuk dirinya sendiri.

Keyza ketakutan. Sangat. Bagaimana mungkin ia melanjutkan hidup sebagai orang normal sementara ia tidak tahu siapa dirinya. Tapi, kehadiran Byan—yang saat itu mengaku sebagai teman lamanya, membantu Keyza untuk bangkit.

Byan lah satu-satunya orang yang menemani Keyza melawan rasa takut itu. Byan yang menjaga dan merawatnya beberapa bulan sampai akhirnya Keyza dipertemukan oleh Mama Papanya yang menyusul ke Paris.

Sosok laki-laki itu terlalu berharga untuk Keyza. Menjalani kehidupan 3 tahun jauh dari orangtua atau negara asalnya tidak membuat Keyza khawatir sedikit pun. Karena ia tahu, Byan selalu di sana. Tangannya selalu terulur kapan pun Keyza memanggil namanya.

Keyza merelakan ingatan 3 tahun itu untuk hilang sejenak dan kembali menatap Byan di sampingnya.

“Bi, apapun itu, aku nggak yakin aku bisa kalau kamu nggak ada.”

Keyza sudah menunjukkan matanya yang mulai berlinang air mata. Dan saat itu, Byan merengkuh pundak gadis itu dengan lembut.

“Jangan nangis kali. Gimana gue bisa punya pacar coba kalau begini caranya. Lo nggak mau ditinggal banget.”

Tangan Keyza mengusap kasar matanya untuk mencegah air di sana turun. Kepalanya mendongak menatap wajah Byan yang jauh di atas pundaknya.

“Kamu nggak mau pacaran, Bi? Padahal kamu bilang satu tahun lalu, kamu lagi suka sama perempuan. Tapi, sampai sekarang aku nggak tau orangnya.” Keyza melipat kedua tangannya di depan dada. Punggungnya masih bersandar nyaman di lengan Byan.

Byan tertawa. “Kok masih inget sih, Key? Lucu banget.” Tangannya mengacak asal pucuk rambut Keyza.

Byan melontarkan pertanyaan lagi, “Kamu sendiri gimana? Kalau Cade ask you for dating with him? Kamu mau?”

Tiba-tiba Keyza menarik tubuhnya untuk berdiri tegap dan menatap tepat pada kedua netra Byan.

”I don’t know. Maybe yes if someone there doesn't stop joking me.”

Byan tersenyum tenang lalu menatap balik netra Keyza. Byan paham maksud dari kalimat Keyza barusan.

”Then go. Aku rasa ada yang harus Cade selesaikan sama kamu. Go to him, be brave. I’m here. I will never leave you.”

Jarinya bergerak halus untuk merapikan poni Keyza yang sudah berantakan akibat angin malam yang berlarian semakin kencang.

Sebelum Byan melangkahkan kakinya untuk meninggalkan balkon, satu tangan kecil itu menahan lengan kirinya.

“Aku nggak tau apa yang kamu sembunyiin tentang Cade. But promise me, call me when i walk too far.

Byan tersenyum dan tangannya memindahkan tangan Keyza ke dalam genggamannya.

”I promise you.”

-ayya.

Langit malam ini bertaburkan cahaya bintang dan bulan yang saling beradu untuk mendapatkan pujian dari makhluk bumi. Sepoi angin malam ini pun sama. Berlari ke sana ke mari dengan damai tanpa mengganggu poni yang Keyza tata di samping kanan kirinya.

Mereka sudah sampai di tempat makan yang ditentukan. Cade yang memilih tempat ini. Tempat yang sempat membuat Keyza terdiam ketika keluar dari mobil berwarna hitam tadi.

Cade bukan mengajaknya dinner di restoran mahal dan terkenal. Juga bukan mengajaknya makan makanan khas Indonesia di dalam gedung-gedung mewah yang memenuhi kota Jakarta.

Cade membawa Keyza ke kios kecil di pinggir jalan.

Bubur mas gondrong. Itu nama yang tertera di spanduk yang terpampang. Keyza sempat heran tapi kemudian langkahnya mengikuti Cade untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia.

“Mas, bubur komplit dua ya. Minumnya jeruk hangat dua.”

“Oke siap, Mister.” Tak Keyza sangka tukang bubur itu menjawab dengan tawa di wajahnya. Apa yang lucu?

“Kamu kenapa?” tanya Cade secara tiba-tiba. Keyza terdiam untuk sekedar memberikan ekspresi wajah yang seakan berkata, Emang aku kenapa?

Lalu Cade tersenyum kecil. Tatapannya beralih dari wajah Keyza ketika tangannya bergerak mengeluarkan handphone dari sakunya.

“Alis kamu. Dari tadi, bertaut terus … Kamu nggak suka bubur?”

Oh, alis aku … Hah? Dia merhatiin dari tadi?

“Suka. Tapi, udah lama banget nggak makan bubur. Apalagi bubur Indonesia asli. Terus, kayaknya kamu akrab sama tukangnya.”

“Iya, dulu sering ke sini.” Keyza merespon jawaban Cade dengan bergumam.

Jari panjang Cade berhenti mengulir layar handphone sejenak. Bibirnya bertanya penasaran, “Di Paris … kamu pernah makan bubur? Dibikinin Byan?”

Sesuai dugaan Cade, Keyza mengangguk-angguk. Cade ingin bertanya lebih jauh, tapi ia urung begitu melihat Keyza yang asik mengedarkan pandangannya melihat suasana sekitar.

“Aku kira, kamu mau dinner di restoran mewah. Ternyata kamu nggak ‘begitu’ ya?” Tatapan perempuan itu kembali berpadu dengan netra milik Cade.

Cade menelan ludahnya. Fokusnya mulai kacau hanya karena tatapan damai dari perempuan ini. Cade bukan lemah, ia hanya sedang menahan rindu.

“Nggak juga. Aku makan dimanapun aku mau.”

“Terus kok malem ini kamu kepikiran ngajak aku ke sini? Padahal ini pertama kalinya kan aku sama kamu dinner bareng?”

Cade lagi-lagi terdiam. Lidahnya sangat ingin mengatakan apa yang ada di dalam hatinya.

Bahwa kios kecil ini adalah tempat pertama kali Cade mentraktir Keyra makan dengan uang gaji pertama yang ia dapatkan. Tempat ini, yang menjadi saksi Cade menjatuhkan hatinya untuk Keyra.

Cade masih ingat dengan jelas malam itu. Saat pipinya terluka karena tamparan ayahnya. Keyra mengobati lukanya di sini. Tak lama setelahnya, Keyra juga mengobati beberapa anak jalanan yang terluka di kios ini.

Bubur ini, bubur yang selalu Cade berikan untuk Keyra ketika sakit. Bubur kesukaan Keyra.

Cade rindu. Sangat. Ia sampai tidak sadar bahwa alisnya kian menekuk, mencoba menahan rasa perih yang tiba-tiba terasa lebih menyakitkan.

“Cade? Kenapa? Kok tiba-tiba berkaca-kaca? Aku nyinggung kamu?”

Pertanyaan berderet. Pertanyaan berintonasi kekhawatiran. Pertanyaan yang Cade rindukan.

Cade menolehkan kepalanya. Menatap dalam netra coklat yang Keyza miliki.

Ini, tatapan gadisnya.

“Key … Kamu nggak inget rasa buburnya?” tanya Cade setelah ia sadar Keyza sudah menyendokkan bubur ke dalam mulutnya.

Keyza seketika terdiam. Dirinya berusaha mencerna maksud dari pertanyaan laki-laki berparas dingin ini.

“Maksudnya? Rasanya? Enak kok. Kamu pasti sering ke sini ya? Buburnya enak. Kamu pinter cari tempat.” jawab Keyza yang diakhiri dengan senyum manis di bibirnya.

“Oh iya, yang di whatsapp, kamu mau nanya apa?” Perempuan itu menoleh lagi.

Cade tersadar dari lamunannya. Dirinya dipaksa kembali untuk menerima fakta bahwa perempuan di depannya, tidak ingat apapun tentang dirinya, bahkan makanan kesukaannya.

“Kamu kenapa milih Paris?”

“Oh, itu. Karena Byan rekrut aku ke sana. Waktu itu Anahtar lagi butuh karyawan baru. Aku ikut tes dan lulus.”

Cade mengangguk sambil ikut menyendok bubur ke dalam mulutnya.

“Di Paris, kamu tinggal sama Byan? Orangtua kamu ngizinin?”

“Iya. Ngizinin. Mama sama Papa bilang, Byan ini temen aku yang paling mereka percaya. Katanya, aku nggak boleh percaya laki-laki lain selain Byan.” ujar Keyza dengan tawa yang menguar.

Cade mengangguk kecil. Jarinya bergerak sedikit gelisah di atas paha kanannya. Setelah menimang-nimang, Cade akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang selama ini bersarang di otaknya.

“Byan atau orangtua kamu pernah bilang kalau kamu korban kecelakaan?”

Deg. Jantung keduanya dengan tidak sengaja bergerak lebih cepat.

“Kamu tau dari mana? Kok bisa tau?” Keyra menatap Cade dengan rasa heran yang bertumpuk.

“Cade, kamu siapa sih sebenernya?”

Kali ini, Cade yang mengernyit bingung. Mulutnya menjawab spontan, “Direktur Meilleur. Temen baru kamu. Memang siapa lagi?”

Melihat ekspresi Keyza yang masih menatap selidik, Cade menambahkan, “Aku pernah denger itu dari salah satu karyawan Anahtar. Kamu nggak perlu seheran itu.”

Kali ini, Cade mengikuti kata batinnya. Ia tidak mau secepat ini memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak mau Keyza menerima fakta sebenarnya secara mendadak. Fakta bahwa ia sebenarnya sudah menikah, dan laki-laki di depannya adalah suaminya empat tahun lalu.

“Aku pernah kecelakaan mobil, kata mereka. Tapi, aku sendiri aja nggak inget. Kayaknya emang aku kena amnesia.

Sementara Keyza mengernyit heran, Cade mengepalkan tangan kanannya. Menahan emosi dan perih yang ia rasa semakin menusuk.

Benar. Seratus persen. Dia Keyra. Keyra malang yang lupa ingatan. Oh God, i found her. My Key.

“Kamu pernah denger nama ‘Keyra’?” tanya Cade setelah Keyza terlihat lebih tenang.

“Selain dari kamu dan Angga, aku nggak pernah denger. Semua keluarga dan kenalan aku di Paris nggak ada yang namanya Keyra.”

Hening tercipta di antara keduanya. Bubur di mangkok Keyza sudah lebih dulu habis. Keyza suka.

Dan setelahnya, suara bariton Cade memecah keheningan tersebut, “Key … This is my last question for you tonight, but can you help me? Jawab aku walau aku tau, aku memang orang baru bagi kamu.”

Sejenak, Keyza dapat menyadari bahwa ia menahan napasnya. Menunggu dengan sedikit gugup dan penasaran tentang pertanyaan apa yang akan keluar dari bibir Cade.

”Sorry if you bothered by my question … But, Key, can you allow me, can you let me into your life?”

Keyza menahan napas di hidungnya. Ia tidak pernah berada di situasi seserius ini. Byan memang selalu mengejeknya dengan kalimat clingy yang lebih parah, tapi Keyza tahu itu semua hanya bualan. Berbeda dengan Cade saat ini.

Cade menatap dalam kedua bola mata indah itu, mengumpulkan satu kalimat yang ia tahan sejak 15 tahun lalu. Kali ini, Cade tidak mau memakai alasan apapun lagi.

“I like you, Key …”

Feb, 2022. -ayya.

Langit malam ini bertaburkan cahaya bintang dan bulan yang saling beradu untuk mendapatkan pujian dari makhluk bumi. Sepoi angin malam ini pun sama. Berlari ke sana ke mari dengan damai tanpa mengganggu poni yang Keyza tata di samping kanan kirinya.

Mereka sudah sampai di tempat makan yang ditentukan. Cade yang memilih tempat ini. Tempat yang sempat membuat Keyza terdiam ketika keluar dari mobil berwarna hitam tadi.

Cade bukan mengajaknya dinner di restoran mahal dan terkenal. Juga bukan mengajaknya makan makanan khas Indonesia di dalam gedung-gedung mewah yang memenuhi kota Jakarta.

Cade membawa Keyza ke kios kecil di pinggir jalan.

Bubur mas gondrong. Itu nama yang tertera di spanduk yang terpampang. Keyza sempat heran tapi kemudian langkahnya mengikuti Cade untuk duduk di salah satu kursi yang tersedia.

“Mas, bubur komplit dua ya. Minumnya jeruk hangat dua.”

“Oke siap, Mister.” Tak Keyza sangka tukang bubur itu menjawab dengan tawa di wajahnya. Apa yang lucu?

“Kamu kenapa?” tanya Cade secara tiba-tiba. Keyza terdiam untuk sekedar memberikan ekspresi wajah yang seakan berkata, Emang aku kenapa?

Lalu Cade tersenyum kecil. Tatapannya beralih dari wajah Keyza ketika tangannya bergerak mengeluarkan handphone dari sakunya.

“Alis kamu. Dari tadi, bertaut terus … Kamu nggak suka bubur?”

Oh, alis aku … Hah? Dia merhatiin dari tadi?

“Suka. Tapi, udah lama banget nggak makan bubur. Apalagi bubur Indonesia asli. Terus, kayaknya kamu akrab sama tukangnya.”

“Iya, dulu sering ke sini.” Keyza merespon jawaban Cade dengan bergumam.

Jari panjang Cade berhenti mengulir layar handphone sejenak. Bibirnya bertanya penasaran, “Di Paris … kamu pernah makan bubur? Dibikinin Byan?”

Sesuai dugaan Cade, Keyza mengangguk-angguk. Cade ingin bertanya lebih jauh, tapi ia urung begitu melihat Keyza yang asik mengedarkan pandangannya melihat suasana sekitar.

“Aku kira, kamu mau dinner di restoran mewah. Ternyata kamu nggak ‘begitu’ ya?” Tatapan perempuan itu kembali berpadu dengan netra milik Cade.

Cade menelan ludahnya. Fokusnya mulai kacau hanya karena tatapan damai dari perempuan ini. Cade bukan lemah, ia hanya sedang menahan rindu.

“Nggak juga. Aku makan dimanapun aku mau.”

“Terus kok malem ini kamu kepikiran ngajak aku ke sini? Padahal ini pertama kalinya kan aku sama kamu dinner bareng?”

Cade lagi-lagi terdiam. Lidahnya sangat ingin mengatakan apa yang ada di dalam hatinya.

Bahwa kios kecil ini adalah tempat pertama kali Cade mentraktir Keyra makan dengan uang gaji pertama yang ia dapatkan. Tempat ini, yang menjadi saksi Cade menjatuhkan hatinya untuk Keyra.

Cade masih ingat dengan jelas malam itu. Saat pipinya terluka karena tamparan ayahnya. Keyra mengobati lukanya di sini. Tak lama setelahnya, Keyra juga mengobati beberapa anak jalanan yang terluka di kios ini.

Bubur ini, bubur yang selalu Cade berikan untuk Keyra ketika sakit. Bubur kesukaan Keyra.

Cade rindu. Sangat. Ia sampai tidak sadar bahwa alisnya kian menekuk, mencoba menahan rasa perih yang tiba-tiba terasa lebih menyakitkan.

“Cade? Kenapa? Kok tiba-tiba berkaca-kaca? Aku nyinggung kamu?”

Pertanyaan berderet. Pertanyaan berintonasi kekhawatiran. Pertanyaan yang Cade rindukan.

Cade menolehkan kepalanya. Menatap dalam netra coklat yang Keyza miliki.

Ini, tatapan gadisnya.

“Key … Kamu nggak inget rasa buburnya?” tanya Cade setelah ia sadar Keyza sudah menyendokkan bubur ke dalam mulutnya.

Keyza seketika terdiam. Dirinya berusaha mencerna maksud dari pertanyaan laki-laki berparas dingin ini.

“Maksudnya? Rasanya? Enak kok. Kamu pasti sering ke sini ya? Buburnya enak. Kamu pinter cari tempat.” jawab Keyza yang diakhiri dengan senyum manis di bibirnya.

“Oh iya, yang di whatsapp, kamu mau nanya apa?” Perempuan itu menoleh lagi.

Cade tersadar dari lamunannya. Dirinya dipaksa kembali untuk menerima fakta bahwa perempuan di depannya, tidak ingat apapun tentang dirinya, bahkan makanan kesukaannya.

“Kamu kenapa milih Paris?”

“Oh, itu. Karena Byan rekrut aku ke sana. Waktu itu Anahtar lagi butuh karyawan baru. Aku ikut tes dan lulus.”

Cade mengangguk sambil ikut menyendok bubur ke dalam mulutnya.

“Di Paris, kamu tinggal sama Byan? Orangtua kamu ngizinin?”

“Iya. Ngizinin. Mama sama Papa bilang, Byan ini temen aku yang paling mereka percaya. Katanya, aku nggak boleh percaya laki-laki lain selain Byan.” ujar Keyza dengan tawa yang menguar.

Cade mengangguk kecil. Jarinya bergerak sedikit gelisah di atas paha kanannya. Setelah menimang-nimang, Cade akhirnya mengeluarkan pertanyaan yang selama ini bersarang di otaknya.

“Byan atau orangtua kamu pernah bilang kalau kamu korban kecelakaan?”

Deg. Jantung keduanya dengan tidak sengaja bergerak lebih cepat.

“Kamu tau dari mana? Kok bisa tau?”

Sementara Keyza mengernyit heran, Cade mengepalkan tangan kanannya. Menahan emosi dan perih yang ia rasa semakin menusuk.

Benar. Seratus persen. Dia Keyra. Keyra malang yang lupa ingatan.

“Cade, kamu siapa sih sebenernya?”

Kali ini, Cade yang mengernyit bingung. Mulutnya menjawab spontan, “Direktur Meilleur. Temen baru kamu. Memang siapa lagi?”

Melihat ekspresi Keyza yang masih menatap selidik, Cade menambahkan, “Aku pernah denger itu dari salah satu karyawan Anahtar. Kamu nggak perlu seheran itu.”

“Kata mereka, aku kecelakaan empat tahun lalu dan aku selamat. Tapi lucunya, aku nggak inget sama sekali kecelakaan itu. Bahkan semua memori sebelumnya.”

Cade menghela napasnya. Merasa kecewa namun kali ini, Cade mengikuti kata batinnya. Ia tidak mau terburu-buru memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak mau Keyza menerima fakta sebenarnya secara mendadak. Fakta bahwa ia sebenarnya sudah menikah, dan laki-laki di depannya adalah suaminya empat tahun lalu.

“Kamu pernah denger nama ‘Keyra’?” tanya Cade setelah Keyza terlihat lebih tenang.

“Selain dari kamu dan Angga, aku nggak pernah denger. Semua keluarga dan kenalan aku di Paris nggak ada yang namanya Keyra.”

Hening tercipta di antara keduanya. Bubur di mangkok Keyza sudah lebih dulu habis. Keyza suka.

Dan setelahnya, suara bariton Cade memecah keheningan tersebut, “Key … This is my last question for you tonight, but can you help me? Jawab aku walau aku tau, aku memang orang baru bagi kamu.”

Sejenak, Keyza dapat menyadari bahwa ia menahan napasnya. Menunggu dengan sedikit gugup dan penasaran tentang pertanyaan apa yang akan keluar dari bibir Cade.

”Sorry if you bothered by my question … But, Key, can you allow me, can you let me into your life?”

Keyza menahan napas di hidungnya. Ia tidak pernah berada di situasi seserius ini. Byan memang selalu mengejeknya dengan kalimat clingy yang lebih parah, tapi Keyza tahu itu semua hanya bualan. Berbeda dengan Cade saat ini.

Cade menatap dalam kedua bola mata indah itu, mengumpulkan satu kalimat yang ia tahan sejak 15 tahun lalu. Kali ini, Cade tidak mau memakai alasan apapun lagi.

“I like you, Key …”

Feb, 2022. -ayya.

Pintu penumpang di mobil mewah itu terbuka begitu saja dari luar sebelum jari Keyza menyentuhnya.

Dan pelakunya masih sama selama 3 tahun belakangan ini. Laki-laki berparas dingin yang hampir memiliki komposisi fitur wajah yang sempurna. Itu bossnya, Anahtar Byan.

“Kebiasaan yang nggak diubah.” Keyza menyelempangkan tas kecilnya di pinggang sebelah kanannya. “Padahal sekarang posisinya aku itu bawahan kamu di kantor, Bi.”

“Kamu ngaku sebagai bawahan tapi manggil aku cuma nama? Nggak pake basa-basi sir?” Byan tertawa sambil berpindah posisi menuju samping Keyza. Tangannya sudah bersanggar di pinggang kecil wanita ini untuk menjaganya dari dorongan segerombolan manusia di mall ini. Keduanya berjalan beriringan menuju tempat makan yang sudah ditentukan.

Keyza membalas pertanyaan Byan dengan tertawa kecil seperti yang biasa ia lakukan. “Aku deg-degan mau ketemu Mama. Aneh, ya?”

“Nggak aneh, sih. Kan, udah lama juga sejak terakhir Mama ke Paris.”

Keyza mengangguk-angguk. Berusaha meredakan rasa gugup yang masih menyerangnya. Sebenarnya, bertemu Mamanya kembali bukan menjadi satu-satunya alasan kenapa Keyza bisa segugup ini.

Tapi, karena Byan bilang, Mamanya membawa seseorang yang sangat merindukan dirinya bertahun-tahun. Tentu hal itu berhasil membuat Keyza menerka-nerka, menebak siapa sosok itu.

Tuhan memberikan jawabannya segera setelah netra Keyza berhasil menangkap lambaian tangan dari Mamanya yang sedang duduk berdampingan dengan seorang lelaki. Keyza yakini lelaki itu berusia lebih muda darinya.

Dan, Keyza merasakan perasaan itu lagi. Rasa nyaman, hangat. Rasa rumah. Rumah yang sebenarnya ia cari beberapa tahun belakangan ini.

“Key, apa kabar, Nak? Oh iya, ini Rey. Adik kamu.”

Keduanya terdiam. Keyza dan laki-laki-laki bernama Rey itu saling melempar tatap satu sama lain untuk sekedar meyakinkan diri sendiri, apa ini nyata?

Tangan Keyza meremas ujung baju Byan yang dapat ia gapai. Kepalanya mulai sedikit pusing. Menyadari hal itu, Byan menarik tangan Keyza untuk ia genggam. Lalu sedikit memajukan diri untuk berbisik di telinga wanita ini, “Nggak apa-apa. Rey beneran adik kamu. Kamu punya keluarga utuh, Key. Take a deep breath.

Keyza melakukan apa yang Byan katakan. Secara reflek tubuhnya berusaha menormalkan detak jantungnya yang memburu.

Lalu Rey berjalan mendekat. Menatap lembut dua mata berwarna coklat yang Keyza miliki. Tatapannya berubah menjadi haru sesaat. Sementara netra Keyza melirik Mama Santika mencari jawaban tentang keraguannya.

Sedetik setelah Mama Santika menggerakkan bibirnya untuk meyakini Keyza. “Iya, Key. Dia adik kamu, adik kandung kamu.”

Mendengar itu tentu membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Keyza menarik lengan Rey dan memeluknya erat.

Oh ya Tuhan, rasanya aman. Pelukannya nyaman, persis kayak Byan.

Tangisannya pecah. Ia sangat merindukan rasa ini. Adik laki-lakinya memeluknya tak kalah erat. Dagunya ia letakkan di atas pucuk rambut Keyza yang memiliki proporsi tubuh lebih rendah darinya.

“Kak, demi Tuhan, aku kangen banget. Kalau ini mimpi, aku nggak punya niat untuk bangun.”

“Kakak beneran punya kamu, ya? Makasih udah jagain Mama Papa.”

Rey, laki-laki berhati kebal itu menangis tersedu di depan Mama Santika untuk kedua kalinya.

Tentu saja yang pertama kalinya itu, saat Rey melihat dengan jelas tubuh kaku kakaknya yang sudah di dalam peti mati dikembalikan ke perut bumi empat tahun lalu.


“Terus Kakak selama ini di Paris ngapain aja? Sama Kak Byan?” Rey sibuk berbicara dan bertanya ini itu ketika jari-jarinya tetap fokus memotong setiap menu makanan yang sudah tersedia di meja mereka. Meja nomor 13.

“Kerja, Rey. Aku juga belajar banyak hal baru yang aku rasa, dulu belum pernah aku pelajari.”

“Hmm gitu …”

“Eh tapi bentar deh, bentar.”

Laki-laki berusia 22 tahun itu menolehkan separuh badannya menghadap Mamanya. Wajahnya mengekspresikan tanda tanya yang begitu kentara.

“Dia tinggal satu apartement sama laki-laki dewasa selama 4 tahun? Are you serious, Ma?”.

Mendengar pertanyaan yang penuh intonasi khawatir itu, Mama Santika melebarkan senyumnya. “Kalau kamu khawatir, pengen tau sesuatu, tanya langsung sama Kakakmu. Masa masih gengsi juga?”

Keyza mulai menangkap maksud dari pertanyaan Rey ketika dengan mudahnya Byan hanya menatap dirinya sambil menaikkan alisnya, bermaksud menggoda.

Ia mengambil nafas dalam sebelum menjawab pertanyaan Rey tadi.

“Nggak gitu, Rey. Di sana, kan, nggak mempermasalahkan dua orang dewasa tinggal dalam satu rumah atau apartement. Lagian empat tahun aku sama cowok genit ini, aku nggak pernah ngapa-ngapain kok.” jelas Keyza dengan senyum yang ia tampilkan untuk meyakinkan adiknya.

“Paling pelukan aja sih, Rey.”

Senyum manis yang Keyza berikan tadi sekejap terganti dengan tatapan sinis menghadap Byan. Laki-laki ini memang mempunyai hobi meledek dirinya.

Rey sedikit terkejut. Lalu kemudian ia bertanya heran. “Pelukan? Dih lu … Terus, Kak Cade—“

Kalimat Rey terputus begitu saja karena suapan yang tiba-tiba diberikan oleh Mama Santika. Tawa yang sejak tadi terukir di wajah Mama Santika seketika menghilang.

Keyza menyeletuk tanpa merasa ada hal yang ganjal di sini. “Cade? Cade siapa? Namanya sama persis sama kolega kerja aku di kantor deh. Iya, kan, Bi?”

Perempuan itu dengan santai memasukkan potongan cupcake ke bibir mungilnya sementara Byan tertawa renyah sebelum merespon pertanyaan itu.

“Iya. Namanya Cade juga. Perusahaan aku bekerja sama dengan perusahaan Meilleur, Tante. Nama direkturnya Cade.”

Dapat Byan lihat dengan jelas Mama Santika dan Rey bergerak gugup untuk membenarkan posisi duduk dan makanan mereka. Keduanya mengambil sikap acuh.

“Key … Setelah projek kerja ini, kamu menetap di Indonesia atau kembali ke Paris?” tanya Mama Santika lembut.

“Aku pengennya stay di sini sama Mama, Papa, juga Rey. Tapi, nggak tau deh, hehe. Balik lagi keputusan di bos aku.” Keyza menjawab dengan tawa riang yang ia miliki. Mengedipkan sebelah matanya kepada Byan, laki-laki yang sedang memakan pasta dengan tenang.

“Aku rasa, perusahaan di Paris masih membutuhkan wanita cerdas kayak Keyza, Tan.”

-ayya

Ribuan tetes embun masih setia menghiasi dedaunan dan beberapa jendela rumah penduduk di daerah ini. Matahari sudah mulai menyapa pijakan sementara para manusia di bumi. Burung-burung kecil mulai bermain bersama sembari mencari sarapan mereka di sekitar rumah ini.

Cade memberhentikan langkah kakinya setelah memastikan pintu mobil yang ia kendarai terkunci. Kepalanya mengadah ke atas, menuju salah satu jendela coklat yang sedikit terbuka.

Ah, sudah lama ya ...

Rumah ini masih terlihat sama, namun sedikit terasa berbeda. Rumah yang terlihat amat sangat damai dan sejuk kini terasa mulai hampa.

Rumahnya, tempat ia dan Gaby dibesarkan. Tempat keluarga kecilnya dulu berbagi tawa dan kasih. Tempat pertama kali ia berdiri diam untuk memperhatikan gadis kecil yang terluka di depan rumahnya dulu.

Iya, rumah ini. Tempat pertama ia menemukan cinta pertama dan terakhirnya. Bunda, dan Keyra.

Cade melangkahkan kakinya tak sabaran begitu teringat ada sosok gadis cantik yang menunggu pelukannya. Ia melangkah cepat bahkan mengabaikan sebuah sapa yang mengalun hangat di telinganya.

“Cade? Sudah datang ya.”

Suara bundanya. Tapi Cade abaikan karena tujuannya saat ini hanya satu, menenangkan adik kesayangannya. Kakinya melangkah cepat dan pasti menuju lantai dua rumah ini. Menuju kamar yang memiliki jendela coklat yang terbuka.

Tok ... tok ... tok ...

“Gaby, ini abang.”

Tidak perlu menunggu waktu lama, suara kunci yang diputar menyadarkan Cade untuk segera masuk ke dalam.

Kakinya berhenti ketika netranya menemukan sosok gadis yang ia tuju. Cade terdiam tepat di depan kaki adiknya yang menjulur ke bawah sementar tubuhnya duduk di sisi ranjang.

“Aku emang ketakutan, tapi aku bukan anak kecil yang harus kamu khawatirin segitunya, bang.”

Gadis itu tersenyum meski tangan kecilnya tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Wajahnya berusaha terlihat baik-baik saja walau nyatanya tidak.

Sayangnya, Cade kelewat paham akan itu semua.

Laki-laki tinggi itu mendekat dan berdiri di atas lututnya sendiri untuk mensejajarkan wajahnya dengan adik perempuannya ini.

Nafasnya masih terengah namun raut wajahnya sudah tidak setegang sebelumnya. Laki-laki itu tidak mengatakan apapun selain tangannya yang menarik kepala Gaby untuk ia letakkan di pundaknya.

Rengkuhan hangat dari seorang abang mampu melunakkan besi yang sudah Gaby pastikan kuat sejak tadi. Usapan lembut di punggungnya sukses membuat air matanya yang ia tahan akhirnya luruh.

Gaby selalu kalah di depan Cade. Gaby selalu tidak bisa sembunyi jika Cade yang mencarinya.

Cade hanya terdiam bisu. Hatinya sangat perih. Tangan kanannya mengelus punggung kecil itu, sementara tangan kirinya mengepal kencang, menahan emosi.

Cade tahu siapa pelakunya. Pengirim paket terror berisi bangkai hewan lengkap dengan benda tajam sudah dua kali diterima Gaby dalam dua bulan ini.

Cade tahu dan dia belum bisa memutuskan meski ia tahu bagaimana terror ini berhenti.

“Gaby. Dengerin abang. Kali ini, tolong lakuin apa yang abang bilang.”

Gadis dipelukannya bergerak mundur untuk menghapus air matanya yang mulai habis dan mengangguk kecil.

“Jangan pernah terima paket apapun sebelum Pak Adi memastikan isinya aman. Jangan keluar rumah sendirian. Jangan angkat telfon dari nomor yang enggak dikenal. Tolong, dilakuin.”

Lagi, Gaby mengangguk patuh. Gadis itu sudah 22 tahun, tapi bukan berati dia bisa menjadi wonder woman yang mampu menjaga dirinya sendiri.

“Bang, kalau Gaby pergi sama Rey, boleh? Abang nggak papa?”

Cade terdiam. Menatap mata gadis di depannya bergantian dengan wanita paruh baya yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya, Bunda.

“Ya enggak papa. Dia ipar kamu. Dia temen kamu. Dia adiknya Keyra. Abang percaya.”

Gaby mulai memperlihatkan senyum tulus yang sejak tadi senbunyi. “Abang tenang aja. Aku kuat kok. Aku nggak takut. Dan … hubungan aku sama Rey deket sebagai saudara. Abang nggak perlu khawatir. Mau gimanapun, kak Keyra sama Rey, kan, bagian keluarga kita.”

Sangat mirip dengan kejadian saat pertama kali Gaby menerima paket itu. Gaby tidak pernah bertanya terus terang apa sebenarnya alasan di balik terror yang ia terima. Gaby tidak pernah memaksa Cade afau Bunda cerita. Karena ketika melihat raut khawatir dan marah di wajah Cade, ia yakin abangnya itu akan berusaha menangkap pelakunya apapun yang terjadi.


“Kalau Gaby ngga boleh tau, kamu cerita sama bunda. Sebenarnya ada apa? Kenapa?” tanya Bunda sedetik setelah Cade meletakkan cangkir tehnya di meja.

Sarapan sudah selesai dan Gaby sudah kembali ke kamarnya dengan perasaan yang sudah lebih baik. Memperhatikan gerak anak sulungnya yang sedari tadi tampak terus berpikir, Bunda memutuskan untuk bertanya.

Cade masih diam hanya untuk mengulur waktu, ia tidak memiliki niat memberi tahu alasannya sedikitpun.

Gue enggak mau Bunda terlibat.

“Cade.” Suara yang keluar dari bibir Bundanya terdengar lebih tegas dari sebelumnya. Cade akhirnya menoleh penuh.

“Apa ini ada kaitannya dengan Keyra?”

Cade menggeleng kecil mendengar pertanyaan itu, “atau ada kaitannya dengan Yura? Bunda perhatikan satu tahun belakangan ini kamu sudah jarang bertemu dia. Gaby bilang beberapa hari kemarin Yura ke sini, tapi selalu setiap Bunda sedang tidak di rumah. Ada apa?”

Bundanya sedang khawatir dan Cade sangat tahu itu. Kepribadian mereka yang hampir sama memang sedikit membantu Cade untuk mengetahui apa yang sebenarnya Bundanya rasakan di balik wajah dingin yang selalu ia tampakkan.

Belum sempat Cade membuka bibirnya untuk menjawab, dering telfon genggamnya memaksa ia harus mengalihkan pandangan.

Sebuah notif whatsapp dari grup chat yang entah sejak kapan dibuat itu berhasil membuat Cade berdiri dari duduknya dan langsung bergegas memeluk Bundanya sekilas sebelum melangkah cepat menuju pintu rumah.

“Proposal aku di acc perusahaan inter, Bun. Aku pergi dulu, ya.”

Bundanya, yang bernama Amara itu tersenyum hangat setelah sempat terkejut pada awalnya.

“Sejak kamu pergi, Cade lebih gila lagi dalam bekerja, Key.”

-ayya.