286. found
Keyza masih memandangi wanita yang ternyata sebaya dengannya ini duduk manis dengan gadis kecil berambut kuncir kuda berusia 4 tahun.
Sudah 1 jam berlalu dan hidangan di atas piringnya juga piring Yura sudah habis. Saat ini, Yura sedang menyuapi makanan untuk gadis kecilnya, Emma.
Senyum di wajah Keyza menampakkan bahwa dirinya menikmati interaksi seorang Ibu dan anak di depannya ini. Banyak sekali pertanyaan yang Keyza biarkan menguasai pikirannya sekarang. Ia sangat mengagumi bagaimana sosok Yura yang terbilang masih berumur muda itu terlihat sangat mampu merawat anaknya. Bagaimana bisa tatapan tegas yang Yura berikan untuk Keyza di awal pertemuan mereka tadi secara otomatis berubah menghangat dan melembut saat ia berinteraksi dengan Emma?
Lucu banget ya, punya anak kecil ...
Hatinya meluruh saat ia melihat dengan kedua netranya senyum cerah di wajah Emma terbit begitu saja. Bahagia anak itu sungguh disebabkan dengan hal-hal kecil di dunianya. Untuk keadaan saat ini, bahagia Emma karena Mamanya, Yura, menyuapinya makan siang dengan ribuan candaan yang menggelitik perut.
Keyza tenggelam dalam lamunannya sampai akhirnya Yura mengajaknya berbicara.
“Emma nggak kenal siapa ayahnya, Key. Emma punyanya Om Cade ... .” Yura menjeda kalimatnya untuk memberikan senyum hangat untuk Emma. “Tapi, Em nggak masalah dengan itu. Ya, kan, Sayang?”
Mendengar intonasi tanya yang diberikan Mamanya, Emma tersenyum lalu menganggukkan kepalanya berkali-kali. Lagi-lagi, Keyza meluruh.
“Ayahnya nggak tau dimana. Makanya untuk semua kebutuhan Em selama ini, aku selalu dibantu Cade. Aku nggak tau kalau Cade nggak ada, aku bakal gimana, Key. Aku bukan wanita sekuat itu ... .” Intonasi suara Yura sedikit merendah sambil meletakkan piring makanan Emma yang sudah habis di meja.
“Kamu udah lama bareng-bareng sama Cade ya, Ra?” Pertanyaan Keyza keluar begitu saja dari bibirnya tanpa ia rencanakan sebelumnya.
Yura menghentikan gerakan tangannya untuk memasukan keperluan Emma ke dalam tasnya saat mendengar pertanyaan itu. Raganya bergerak untuk menghadap Keyza seutuhnya.
Yura mengawali kalimatnya dengan senyuman. “Sejak kuliah, Key. Aku sama dia satu jurusan ... Sama kamu juga, dulu.”
Tidak bisa Keyza pungkiri dirinya sedikit terkejut mendengar fakta itu. Fakta bahwa Yura juga merupakan teman lamanya. Bagian dari masa lalunya. Keyza mengingat semua perkataan Cade padanya tempo hari. Tidak ada sekali pun Cade menyebut Yura sebagai teman Keyza saat kuliah. Seharusnya, Cade tidak menyembunyikan fakta kecil itu, kan? Tapi, mengapa ia tidak diberitahu?
Tangan Yura mengenggam kedua tangan milik Keyza erat. “Aku, kamu dan Cade itu temen satu jurusan, Key. Kita bersahabat sangat dekat selama masa kuliah. Bahkan aku dan Cade sempat berpacaran dulu ... .”
“Apa namaku dulu ... benar Keyra?”
Yura mengangguk. “Iya. Kamu Keyra. Keyra yang suka sama Cade dari dulu dan aku nggak tau itu sama sekali. Kamu itu wanita nomor satu yang mahir menyembunyikan perasaan, Key. Sampai aku pacaran sama Cade pun, kamu nggak pernah marah atau keliatan kesel sama aku atau Cade.”
“Kamu itu cinta dan sayang banget sama Cade. Dan waktu aku melakukan kesalahan fatal dengan Cade, kamu—” Ucapan Yura terpotong karena tiba-tiba tangan kecil milik Emma menarik bajunya.
“Mam, Em mau buang air kecil.” rengekan dari Emma total membuyarkan percakapan serius antara Yura dan Keyza. Dengan segera Yura melepas genggamannya pada Keyza dan beranjak berdiri dari duduknya.
“Aku ke kamar mandi dulu ya, Key. Nanti kita lanjut lagi.” Keyza mengangguk patuh mendengarnya. “Yuk, Sayang.”
Yura menggenggam erat tangan Emma untuk berjalan seiringan dengannya menuju kamar mandi kafetaria kantor ini. Senyum cerah keduanya seakan menunjukkan bahwa mereka merasa cukup bahagia dengan kehidupan yang mereka lalui bersama 4 tahun belakangan.
Sebenarnya, jauh di dalam hati Yura ia merindukan Vano. Ia butuh Vano. Laki-laki yang datang menjadi obatnya setelah kekacauan yang ia dan Cade perbuat dulu. Laki-laki yang seharusnya menggenggam tangan kecil Emma bersamanya. Laki-laki yang seharusnya Emma panggil Papa.
Pandangan Yura mengedar untuk sedikit melihat keadaan kafetaria yang ternyata tidak banyak berubah sejak dirinya resign dari Meilleur Group tepat sebelum melahirkan Emma. Yura mengakhiri kontrak kerjanya dan memilih untuk fokus merawat juga membesarkan anaknya tanpa sosok suami di sisinya.
Sebelah tangan Yura yang mengayun gontai terangkat tinggi untuk menyapa seseorang yang merupakan salah satu partner kerjanya dulu, Angga.
“Angga!” seru Yura. Suaranya yang nyaring mampu membuat beberapa orang di sini menolehkan kepala mereka untuk mencari sumbernya. Termasuk seorang laki-laki yang berdiri tidak jauh di sebelah Angga.
Namun siapa sangka, kedua netra Yura menangkap dengan jelas siapa pemilik tubuh berproporsi tinggi itu. Tubuhnya berhenti mendadak saat laki-laki itu menampakkan wajah terkejut yang sangat kentara. Bahkan, tubuh tingginya bergerak pelan menuju Yura.
“Lah, Ju, mau kemana lo?” tanya dari Angga tidak terekam dalam pendengaran Juan. Ia tidak memedulikan lagi keadaan orang di sekitarnya yang sedang menatapnya heran. Yura memanggil nama Angga, namun kenapa dirinya yang bergerak mendekat ke arah Yura?
Energi di kedua kaki Yura seakan terkuras habis melihat laki-laki yang mendekat itu. Tangannya dengan cepat menggendong Emma di dadanya. Keyza yang melihat kejadian itu perlahan mendekat di belakang Yura. Begitu juga dengan Angga di belakang Juan.
“Ra, is that you? Yura?”
Yura tidak tuli. Ia mendengar dengan baik pertanyaan yang dilontarkan laki-laki yang ia kenal sebagai Vano.
“Lo kemana aja, Van?” tanya Yura dengan suara yang sudah melemah. Ia tidak pernah menyangka sekali pun bahwa semua usaha yang Cade dan Mamanya lakukan untuk mencari Vano akan terasa sia-sia hari ini. Laki-laki itu, laki-laki yang menghilang 4 tahun lalu saat ini ada di depannya. Lengkap dengan kartu tanda pengenal karyawan di lehernya. Dia di Jakarta. Di kantor Cade.
“Ini anak siapa, Ra? Anak gue?” lirih Juan.
Angga tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya ketika mendengar pertanyaan itu keluar dari Juan. Logikanya bergerak dengan cepat untuk menangkap situasi saat ini.
“Kok Van? Hah? Juan? Lo, kan, Juan!”
Juan menolehkan wajahnya untuk menatap Angga dengan kedua matanya yang sudah mulai berlinang. Tangannya mengangkat tanda pengenal di lehernya. Melihat itu, Angga mengusap kasar wajahnya. Ya, dia Juan Vanogratte. Dan bodohnya, di antara dirinya, Cade dan Deefan, tidak ada satu pun yang menyadari hal itu.
Laki-laki yang 4 tahun ini Cade cari tahu keberadaannya. Laki-laki yang menghilang begitu saja dari radar Yura. Laki-laki yang menyebabkan Yura tidak memiliki niat sedikit pun untuk melepas Cade. Laki-laki yang menyebabkan Cade harus menanggung hal yang seharusnya tidak dalam radarnya.
Secara mengejutkan, ternyata dia ada di sini. Dia sudah ada di dalam radar Cade sejak 2 bulan lalu.
Angga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia masih terkejut karena harus menghadapi fakta ini sendirian di antara panasnya cuaca dari langit yang menembus kaca di sini. Angga tertawa sarkah. “Sialan. Dunia lagi bercanda banget.”
-ayya.