ayya.

Cade sudah sampai lebih dulu di Berry Cafe, salah satu kafe sederhana di dekat Bandara Seokarno Hatta. Cade duduk sendiri dengan satu cup ice americano sementara Deefan dan Angga menunggunya di mobil. Cade sudah berjanji bahwa ia tidak akan berlama-lama.

Maka ketika Keyza dan Byan datang dan mengambil alih kursi kosong di depannya, Cade tidak lagi mengulur waktu. Ia mengeluarkan amplop cokelat yang dua hari lalu Keyza berikan untuknya.

“Ini. Udah aku tanda tangani.”

Keyza mengambil amplop tersebut dan melihat isinya. Dan benar, Cade telah menyetujui gugatan cerai yang ia ajukan.

“Aku yakin kamu udah tau apa yang mau aku sampaikan ke kamu hari ini, Key. Kayak yang aku bilang kemarin, aku bakal susul Ayah ke Paris hari ini.”

Byan yang sadar akan arah pembicaraan mereka mulai berdiri dan hendak pamit untuk memberi waktu Cade dan Keyza berbicara berdua. Namun interupsi dari Cade menghentikannya.

“Lo di sini aja, nggak apa-apa. Gue nggak bakal ngomong lama.”

Lalu Cade melanjutkan kalimatnya untuk Keyza. Ia menatap dalam perempuan yang masih mengisi tempat spesial di hatinya sampai hari ini.

“Aku tau, berapa kali pun aku minta maaf ke kamu, rasanya nggak akan pernah cukup. Rasanya penyesalan di hati aku nggak bisa hilang gitu aja. Luka di hati aku karena sikap aku sendiri, nggak bisa sembuh gitu aja. Tapi, aku nggak mau lagi jadi orang yang egois, Key.”

“Kamu yang memilih pergi kali ini. Bukan karena accident apa pun, tapi murni keinginan kamu. Bahkan setelah aku berusaha memperbaiki semuanya, berusaha untuk treat you with my best, kamu tetep nggak bisa lagi pulang ke aku. Kamu udah jadi wanita kuat, tanpa aku.”

“Kamu udah berhasil sembuhin luka kamu, dan aku nggak mau hadir di hidup kamu sebagai si pembawa luka itu lagi, Key. So i choosed to let you go. You’re free, Keyra.”

Keyza mengepalkan tangan di bawah meja, ia tahan mati-matian semua rasa emosional di hatinya saat ini. Cade benar, Keyza sudah sembuh. Yang kemarin ia rasakan itu bukan luka lamanya, tapi rasa baru yang Cade berikan melalui tulisan Keyra di buku harian.

Bahkan saat ini, dengan adanya Byan di sisinya, Keyza yakin ia benar-benar sudah sembuh. Ia memiliki penawar rasa sakitnya.

“Maaf, Cade. Maafin aku … Aku tau kamu juga tersiksa menghadapi segala ancaman Tante Ratih dulu. And now, I hope you will find your medicine as soon as possible. Luka kamu juga harus sembuh, tanpa aku.”

Cade menggeleng pelan dengan senyum tipis di wajahnya.

”No, kamu nggak perlu minta maaf. Awalnya tekad aku masih sama besarnya seperti waktu kita pertama ketemu ; aku mau kamu pulang ke aku. Tapi, aku sadar setelah tiba-tiba pabrik supplier itu kebakaran. Aku sadar, jalan cerita kita emang udah nggak satu tujuan lagi, Key. Sekeras apa pun usaha aku buat bawa kamu kembali ke aku, aku bakal selalu kalah sama takdir Tuhan untuk kita. Jalan kita udah beda. Untuk sekarang, aku mau perbaiki diri aku sendiri dulu, Key. Dan, nggak bakal semudah itu aku buka hati untuk orang baru.”

Dengan lemah lembut, Keyza mengelus pelan telapak tangan Cade di atas meja. “Aku pernah jatuh sedalam itu sama kamu. Bahkan sampai aku rela pertahanin hubungan kita yang nggak sehat. Tapi ternyata, takdir aku bukan sama kamu. Aku tau kamu butuh waktu. Aku percaya kamu bisa lewatin ini. Kamu bisa bangkit. Kamu harus bahagia juga ya, Cade?”

Anggukan kecil Cade berikan untuk merespon kalimat Keyza.

“Setelah pulang dari Paris nanti, aku pindah ke Kanada. Ayah minta aku kerja di cabang sana. Urusan tower Meilleur dialihkan ke Deefan. Kamu sama tim kamu, mulai sekarang kerja sama dengan mereka langsung ya.”

Mendengar pernyataan dari Cade, Keyza sempat membulatkan matanya. Kanada?

“Nggak perlu khawatir, Key. Ini tandanya proses perceraian kita bakal lebih cepat. Aku nggak akan bisa hadir persidangan. Semakin cepat kamu resmi berpisah sama aku, semakin cepat Byan bisa sama kamu.”

Lagi-lagi Keyza mengelus pelan telapak tangan Cade. Keyza terenyuh. Laki-laki ini memang benar mencintainya, namun perilakunya di masa lalu tetap tidak bisa Keyza abaikan.

“Sehat dan bahagia selalu ya, Key? Sumpah, demi Tuhan, aku masih sayang sama kamu bahkan sampe detik ini … But it’s time to let you go,kan?”

Cade bangkit dari duduknya lalu melepas pelan tangan Keyza dari telapak tangannya.

“Nggak ada yang salah sama rasa cinta. Cuma, beberapa orang terlalu bodoh dan denial untuk mengakuinya. Termasuk aku. Biarin aku pergi sama rasa sesal aku ya? Suatu hari nanti, kalau kita ketemu lagi, semoga aku udah sembuh total.” Cade mengatakan kalimat itu dengan senyum tulus yang pernah Keyza lihat pada awal kencan mereka waktu itu.

Keyza tahu laki-laki itu baik, juga manis. Tapi, ia masih kalah dengan rasa takut dan egois yang begitu menguasai dirinya.

Cade mengulurkan tangannya untuk mengajak Keyza dan Byan bersalaman.

“Aku pamit ya, Key, Yan. Semoga bahagia selalu.”

Sakit. Tentu saja rasa itu yang menggerogoti langkah pertama Cade ketika keluar dari kafe tersebut.

Namun, seperti inilah alur hidup. Tidak ada pilihan lari, tidak ada pilihan untuk berbalik badan, ini salahnya, maka ia harus bertanggung jawab. Biar Tuhan senang, makhluknya kembali ingat adanya siklus sebab-akibat di dunia ini.

Meilleur Cadenas, glad to know you, and good bye.

April 3rd, 2022. – Cade lose.

Cade sudah sampai lebih dulu di Berry Cafe, salah satu kafe sederhana di dekat Bandara Seokarno Hatta. Cade duduk sendiri dengan satu gelas ice americano sementara Deefan dan Angga menunggunya di mobil. Cade sudah berjanji bahwa ia tidak akan berlama-lama.

Maka ketika Keyza dan Byan datang dan mengambil alih kursi kosong di depannya, Cade tidak lagi mengulur waktu. Ia mengeluarkan amplop cokelat yang dua hari lalu Keyza berikan untuknya.

“Ini. Udah aku tanda tangani.”

Keyza mengambil amplop tersebut dan melihat isinya. Dan benar, Cade telah menyetujui gugatan cerai yang ia ajukan.

“Aku yakin kamu udah tau apa yang mau aku bilang ke kamu hari ini, Key. Kayak yang aku bilang kemarin, aku bakal susul Ayah ke Paris hari ini.”

Byan yang sadar akan arah pembicaraan mereka mulai berdiri dan hendak pamit untuk memberi waktu berdua Cade dan Keyza berbicara. Namun interupsi dari Cade menghentikannya.

“Lo di sini aja, nggak apa-apa. Gue nggak bakal ngomong panjang.”

Lalu Cade melanjutkan kalimatnya untuk Keyza. Ia menatap dalam perempuan yang masih mengisi tempat spesial di hatinya sampai hari ini.

“Aku tau, berapa kali pun aku minta maaf ke kamu, rasanya nggak akan pernah cukup. Rasanya penyesalan di hati aku nggak bisa hilang gitu aja. Luka di hati aku karena sikap aku sendiri, nggak bisa sembuh gitu aja. Tapi, aku nggak mau lagi jadi orang yang egois, Key.”

“Kamu yang memilih pergi kali ini. Bukan karena accident apa pun, tapi murni keinginan kamu. Bahkan setelah aku berusaha memperbaiki semuanya, berusaha untuk treat you with my best, kamu tetep nggak bisa lagi pulang ke aku. Kamu udah jadi wanita kuat, tanpa aku.”

“Kamu udah berhasil sembuhin luka kamu, dan aku nggak mau hadir di hidup kamu sebagai si pembawa luka itu lagi, Key. So i choosed to let you go. You’re free, Keyra.”

Keyza mengepalkan tangan di bawah meja, ia tahan mati-matian semua rasa emosional di hatinya saat ini. Cade benar, Keyza sudah sembuh. Yang kemarin ia rasakan itu bukan luka lamanya, tapi rasa baru yang Cade berikan melalui tulisan Keyra di buku harian.

Bahkan saat ini, dengan adanya Byan di sisinya, Keyza yakin ia benar-benar sudah sembuh. Ia memiliki penawar rasa sakitnya.

Cade, i hope you will find your medicine as soon as possible. Luka kamu juga harus sembuh, tanpa aku.”

Cade menggeleng pelan dengan senyum tipis di wajahnya. ”No, i’m not ready. Aku mau perbaiki diri aku sendiri dulu, Key. Dan aku rasa, nggak semudah itu aku buka hati untuk orang baru.”

Dengan lemah lembut, Keyza mengelus pelan telapak tangan Cade di atas meja. “Aku tau kamu butuh waktu. Aku percaya kamu bisa. Kamu harus bahagia juga ya, Cade?”

Anggukan kecil Cade berikan untuk merespon kalimat Keyza.

“Setelah pulang dari Paris nanti, aku pindah ke Kanada. Ayah minta aku kerja di cabang sana. Urusan tower Meilleur dialihkan ke Deefan. Kamu sama tim kamu, mulai sekarang kerja sama dengan mereka langsung ya.”

Mendengar pernyataan dari Cade, Keyza sempat membulatkan matanya. Kanada?

“Nggak perlu khawatir, Key. Ini tandanya proses perceraian kita bakal lebih cepat. Aku nggak akan bisa hadir persidangan. Semakin cepat kamu resmi berpisah sama aku, semakin cepat Byan bisa sama kamu.”

Lagi-lagi Keyza mengelus pelan telapak tangan Cade. Keyza terenyuh. Laki-laki ini memang benar mencintainya, namun perilakunya di masa lalu tetap tidak bisa Keyza abaikan.

“Sehat dan bahagia selalu ya, Key? Sumpah, demi Tuhan, aku sayang sama kamu bahkan sampe detik ini … But it’s time to let you go,kan?”

Cade bangkit dari duduknya lalu melepas pelan tangan Keyza dari telapak tangannya.

“Nggak ada yang salah sama rasa cinta. Cuma, beberapa orang terlalu bodoh dan denial untuk mengakuinya. Termasuk aku. Biarin aku pergi sama rasa sesal aku ya? Suatu hari nanti, kalau kita ketemu lagi, semoga aku udah sembuh total.” Cade mengatakan kalimat itu dengan senyum tulus yang pernah Keyza lihat di awal kencan mereka.

Laki-laki itu baik, juga manis. Tapi, ia masih kalah dengan rasa takut dan egoisnya.

Cade mengulurkan tangannya untuk mengajak Keyza dan Byan bersalaman.

“Aku pamit ya, Key, Yan. Semoga bahagia selalu.”

Sakit. Tentu saja rasa itu yang menggerogoti langkah pertama Cade ketika keluar dari kafe tersebut.

Namun, seperti ini lah alur hidup. Tidak ada pilihan lari, tidak ada pilihan untuk berbalik badan, ini salahnya, maka ia harus bertanggung jawab. Biar Tuhan senang, makhluknya kembali ingat siklus sebab-akibat di dunia ini.

Meilleur Cadenas, glad to know you, and good bye.

April 3rd, 2022. – Best regards, Ayya.

Pada awalnya Keyza kira Byan akan mengajaknya ke tempat romantis dan tertutup—salahkan hati kecilnya yang berharap. Tapi ternyata ia salah besar. Byan mengajaknya untuk duduk di tepi danau yang sangat tenang.

Keyza tahu Byan membawanya ke sini untuk membantu Keyza meringankan sedikit beban di kepalanya tiga hari belakangan. Bahkan mungkin satu minggu belakanhan ini? Sejak kecelakaan, terlalu banyak fakta baru yang datang bertubi-tubi.

Maka setelah lima belas menit Keyza duduk dengan nyaman dan tenang di samping Byan, laki-laki itu akhirnya mulai membuka suaranya.

”Key … are you happy now?”

Jujur saja, Keyza sedikit tersentak mendengar pertanyaan itu yang Byan lontarkan pertama kali dari bibirnya. Tangan Byan bergerak pelan untuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajah Keyza.

”Maybe yes? Or maybe not yet? I don’t know clearly. But i think it feels better inside.” jawab Keyza sambil menunjuk dadanya. Memberi tahu Byan bahwa rasa sesak di dadanya tidak lagi mendominasi.

”Good then. It’s so scared for me, Key. Looking at you with your wound. Never once did I think I could see your face when you got hurt. Cause it will would hurt me more.”

”But this week, i saw that face. And i hate it so much.”

Keyza memangku kepalanya di atas kedua lututnya yang ditaruh di depan dada. Ia berikan seluruh atensinya untuk Byan, laki-laki yang Keyza tidak tahu pasti sejak kapan, hari dan hatinya terisi semua hal tentang Byan.

Hanya satu yang Keyza belum temukan jawabannya dengan pasti. Dimana dan sejak kapan mereka berteman? Karena Byan tidak pernah menceritakan detailnya sekalipun.

“Kamu kenapa ngeliatin aku begitu? Kamu kayak lagi nungguin sesuatu?” tanya Byan ketika melihat Keyza yang sudah nyaman dengan posisinya saat ini, menghadap tubuhnya.

“Aku nungguin kamu cerita. Pasti banyak, kan, yang belum kamu ceritain ke aku? Tentang kamu. Kamu udah tau semua tentang aku loh, sekarang gantian. Ayo, Bi.”

“Kamu nggak salah? Akhir-akhir ini kamu yang lagi banyak masalah. Masa aku yang cerita?”

Keyza menggeleng cepat. “Nggak salah. Kamu udah dengerin semua cerita aku, masalah aku. Sekarang gantian. Aku mau tau semua tentang kamu.

Byan menatap Keyza tepat pada kedua mata bulat itu. Byan sedang menimbang-nimbang dalam hati, apakah ini saat yang tepat untuk memberi tahu Keyza di mana awal pertemuan mereka?

Dan semua keraguan itu luntur begitu saja saat Byan rasakan tangannya di sentuh pelan oleh Keyza. Keyza tersenyum dengan tatap yang tidak lepas dari Byan.

“Nggak usah ragu. Aku nggak akan kemana-mana.”

Maka keberanian Byan seketika menguar. Byan mengambil posisi nyaman untuk berbicara serius dengan Keyza di sore hari yang penuh angin ini.

“Tolong, jangan tinggalin aku abis ini ya? Tolong jangan salahin diri kamu sendiri.”

Mendengar itu, Keyza mengangguk patuh. Bahkan senyum di bibirnya masih terukis indah.

Byan mengambil napas panjangnya sebelum mulai bercerita.

“Aku ketemu kamu pertama kali itu … baru empat tahun lalu. Kita pertama kali ketemu di pinggir jalan. Waktu kamu kecelakaan. Waktu kamu berlumuran darah.”

Keyza secara spontan mengigit bibirnya. Tubuhnya bahkan langsung duduk dengan tegap.

“Kamu … yang nyelamatin aku?”

Tanpa Keyza sangka sebelumnya, Byan mengangguk. Sementara Keyza menutup mulutnya tak percaya. Apa takdir hidupnya benar-benar se-kebetulan ini?

“Aku yang bawa kamu dari tempat kejadian ke rumah sakit. Aku juga yang tanda tangan operasi pertama kamu sebagai wali kamu. Padahal waktu itu, aku bahkan nggak kenal kamu.”

“Mama Papa kamu dateng nggak lama setelah kamu masuk ruang operasi. Mereka hancur. Mereka ketakutan. Mama bahkan pingsan, Key.”

“Selama kamu dioperasi, orang tua kamu dan aku diskusi mendadak. Mama kamu minta aku bawa kamu berobat ke luar negeri. Sementara Papa kamu, ternyata kenal baik sama Papa aku. So, with all Papa’s powers, aku berangkat pagi setelah kamu selesai operasi. Aku bawa kamu ke Paris untuk berobat. Dan kamu berhasil selamat. Sementara orang tua kamu yang mengurus semuanya di Indonesia. Orang tua kamu juga yang minta aku untuk ganti identitas kamu. Semua orang di masa lalu kamu, nggak perlu tau kalau kamu selamat. Mama kamu ngelakuin itu karena nggak mau kamu terluka lagi.”

Keyza menghapus air mata yang tiba-tiba sudah menumpuk di ujung matanya. Ia tidak boleh menangis.

“Kenapa kamu setuju bawa aku? Kamu bilang, kamu nggak kenal aku waktu itu, kan?”

Byan lagi-lagi menatap dalam kedua mata Keyza. “Karena kamu Keyra Desmarani.”

Keyza tertegun sebentar. Ia terdiam karena tidak dapat menangkap maksud dari Byan kali ini.

“Karena kamu Keyra. Keyra yang bantu Athala bertahan hidup. Kamu Keyra yang ada di sisi Athala saat dia ngerasa sendiri dan kesepian. Kamu, semangat hidupnya Athala. Jadi, aku merasa, aku harus bantu kamu untuk tetap hidup.”

Hening tercipta cukup lama setelah kalimat Byan terlontar. Keyza menutup mulutnya yang lagi-lagi terbuka karena rasa terkejutnya. Dan Byan, laki-laki itu mulai terlihat sendu. Ada rasa sakit yang kentara di kedua mata coklatnya. Keyza tahu itu.

“Athala itu, adik aku, Key.”

Lolos sudah air mata yang sedari tadi Keyza tahan. Pipinya mulai basah. Karena semakin tangannya menghapus jejak air mata itu, semakin banyak ia turun membasahi.

Ia tidak menyangka bahwa laki-laki yang sering diceritakan Athala pada Keyra dulu, adalah Byan. Laki-laki yang menyelamatkan hidupnya dari ajal. Laki-laki yang bahkan menjaganya selama empat tahun tanpa pamrih.

“Bi, Athala sekarang dimana? Aku mau ketemu. Dia sekarang dua puluh tahun ya? Kuliah nggak?”

Ada sekitar tiga pertanyaan yang Keyza lontarkan dengan tangannya yang masih sibuk menghapus jejak air matanya.

Selama itu pula, Byan hanya diam memandang hamparan rumput hijau dan langit biru yang dipenuhi gumpalan kapas.

Satu menit … dua menit. Bahkan setelah Keyza berhasil menghentikan tangisnya, Byan masih diam. Kedua tangan lelaki itu tergeletak lemah di atas kedua lututnya yang diangkat.

Melihat Byan yang hanya diam, Keyza mendekatkan diri. Dan samar-samar Keyza dapati napas Byan mulai memberat. Laki-laki ini terluka. Ada rasa sakit yang belum Keyza tahu.

“Athala … udah di surga, Key. Athala meninggal.”

“Hah? Kapan? Dimana?”

“Empat tahun lalu. Athala meninggal waktu aku bawa kamu ke ruang operasi.”

Keyza belum memberi respon apa pun selain memeluk pundak kanan Byan. Ia tahu masih ada kalimat lain yang akan Byan katakan.

“Athala yang nyelamatin kamu. Bukan aku. Malam itu, waktu mobil kamu terbalik, aku lagi kejar Athala yang lari dari panti karena dia bilang dia mau kuliah di kampus kamu dulu dan aku nggak kasih izin. Larinya tiba-tiba berhenti waktu dia liat mobil kamu dalam posisi terbalik dan ada percikan api di bagian belakang.”

“Athala tanpa pikir panjang langsung narik tubuh kamu untuk keluar dari mobil. Tapi setelah itu, piyama yang dia pake malem itu, kesangkut di pintu mobil. Dan di ledakan kedua, kamu kelempar ke trotoar sedangkan Athala … dia nggak selamat.”

“Itu semua terjadi di depan mata kepala aku sendiri. Begitu cepat, Key … Aku nggak bisa nyelamatin Athala, tapi aku bisa nyelamatin kamu. Athala lakuin itu karena mau kamu selamat, jadi dengan pikiran aku yang udah kalut, aku langsung gendong kamu dan bawa kamu ke rumah sakit dengan mobil aku sendiri.”

Keyza terduduk lemah. Lengan yang sebelumnya melingkari pundak Byan perlahan terlepas. Tatapan matanya tiba-tiba kosong. Tidak ada suara tangis. Dan hal itu yang membuat Byan merasa khawatir melihat Keyza saat ini.

Tangan Byan dengan cepat memegang kedua pundak Keyza.

“Key, liat aku … Kamu nggak salah. Kamu nggak melakukan kesalahan apa pun. Dan aku nggak nyesel lakuin itu empat tahun lalu.”

Sorot khawatir terlihat jelas di kedua mata Byan. Ia takut Keyza akan marah pada dirinya sendiri. Ia takut Keyza akan pergi dengan rasa bersalahnya.

”Key, please, answer me. Kamu nggak salah, Sayang. Please … Aku nggak menyesali apa pun. Athala nggak akan marah. Athala pasti bahagia karena abangnya sekarang bisa bikin kamu senyum dan ketawa … Keyra, please … .

Seperkian detik kemudian, Keyra menggerakkan matanya untuk menatap Byan kembali. Ia satu kan kedua tangan hangat Byan dengan miliknya yang sedikit bergetar.

“Bi … Tapi Athala … gara-gara aku.”

”No, no, please. I beg you. Not your fault. Athala juga pasti pengen kamu selamat malem itu, Key. Bukan gara-gara kamu.”

Indra pendengaran Keyza menangkap semua ucapan Byan dengan baik. Maka setelahnya, tangis Keyza pecah. Ie menangis tersedu-sedu di dalam dekapan Byan. Ralat, keduanya menangis.

“Keyza, dengerin aku. Aku nggak pernah merasa nyesel karena udah bawa kamu ke rumah sakit malem itu. Awalnya iya, aku marah. Aku mau langsung pergi setelah kamu masuk IGD. Tapi, waktu suster cek dompet kamu dan liat kartu identitas kamu, aku berubah pikiran. Aku tau Keyra Desmarani karena beberapa kali aku liat Athala nulis nama kamu. Athala juga pernah cerita tentang kamu yang selalu ngajak dia main. Aku yakin Athala juga setuju dengan pilihan aku.”

“Dan alesan kenapa aku mau bawa kamu ke Paris, itu karena Mama Santika kasih tunjuk aku buku harian kamu. Buku harian kamu yang menemani aku setiap hari di rumah sakit. Selama kamu koma, buku harian kamu yang selalu aku baca. Dan anehnya, sebanyak apa pun aku baca itu, rasa sakit tulisan kamu tetap membekas di aku, Key.”

“Karena buku itu juga, keputusan aku bulat. Aku mau jaga kamu dari laki-laki bernama Cade, dari perempuan bernama Yura. Aku mau jaga kamu, kayak kamu jaga Athala setiap aku nggak ada di sana untuk dia.”

“Nggak ada yang perlu disesali, Sayang. Aku sama kamu dipertemukan Tuhan memang dengan cara seperti ini. Nggak bisa protes. Ini pasti jalan terbaik yang Tuhan rencanakan untuk aku sama kamu.”

Keyza mengeratkan pelukannya pada tubuh Byan. Matanya memejam, ia ingin Byan membagi semua lukanya pada Keyza. Keyza ingin Byan tidak menyimpan semua rasa sakitnya sendirian lagi.

“Aku di sini. Nggak mau kemana-mana.” lirih Keyza masih dengan sisa-sisa tangisnya. Byan tersenyum kecil sembari mengelus lembut punggung sempit Keyza.

“Bi, jenguk Athala yuk? Aku mau kasih salam.”

Byan mengangguk mendengar ajakan Keyza.

“Makasih ya, Bi. Untuk semuanya. Makasih karena jadi penyelamat aku, di mana pun, kapan pun. Makasih karena nggak ninggalin aku sendiri. I’m so grateful to having you. Dan maaf. Maaf karena Athala. Maaf karena Athala nggak bisa di sini lagi. Maafin aku, Bi … .”

-ayya.

Keyza sudah duduk berdampingan dengan Cade di taman kecil rumah ini. Keduanya menatap penuh arti matahari yang sedang berdiri tegak di tengah-tengah langit putih itu. Keduanya memiliki rasa harap dan cemas yang berbeda-beda. Namun, do’a di hati kecil mereka sama; semoga semuanya bisa sembuh.

“Mama nggak jadi ikut ke sini?” Pertanyaan pertama dari Cade yang membuka obrolan empat mata diantara mereka.

“Hm … Mama nggak enak badan tadi pagi. Katanya udah bilang kok ke Tante Amara.” jawab Keyza dengan tenang.

Cade mendecih pelan saat mendengar dengan jelas Keyza memanggil Amara dengan sebutan ‘Tante’. Bukan lagi ‘Bunda’ seperti yang Keyra selalu lakukan dulu, bahkan jauh sebelum mereka menikah.

“Lucu ya. Padahal dulu, dari kecil, kamu selalu panggil Bunda, bukan Tante. Kamu marah karena dulu aku nggak suka kamu ikut-ikut panggil Bunda. Kamu maksa biar aku bolehin … Biar aku berubah pikiran, kamu beliin aku figuran Spongebob di pedagang kaki lima.” Cade tersenyum. Pikirannya berkelana dengan cepat mengingat semua kenangan masa kecil mereka.

Keyza pun sama, ia tersenyum. Seandainya ia mengingat semua kenangan itu, mungkin Keyza tidak akan merasa sehambar ini saat Cade menceritakan beberapa kisah masa kecil mereka. Tentang Keyza yang takut badut, tentang Keyza yang selalu menangis setiap selesai belajar naik sepeda dengan Cade, tentang Keyza yang sejak kecil mencintai bunga. Semua. Keyza rasa, Cade tahu semua tentang masa kecilnya. Ia tidak perlu ragu untuk hal itu.

Keyza masih diam mendengarkan semua ocehan Cade yang belum juga berakhir. Sampai tiba-tiba, Cade mempertanyakan hal yang membuat Keyza memberikan seluruh atensinya pada lelaki itu.

“Kalau kamu inget semua itu, kamu nggak akan dateng ke rumah ini dengan laki-laki lain, ya, Key?”

Keyza menatap laki-laki di sampingnya penuh selidik. “Apa kamu kira, cinta buta itu benar-benar ada?” Lalu tatapannya beralih pada hamparan langit kosong di depannya.

“Kalau aja aku nggak kecelakaan, kalau aja aku masih bertahan sama kamu yang sejahat itu, kamu kira hati aku, batin aku, bakal baik-baik aja kah, Cade?”

”You looked like that before. You’re okay. With me.” jawab Cade datar.

”No, i didn’t. Kamu cuma liat aku dari luar. Kamu nggak pernah sekali pun merasa perlu tau tentang apa yang aku rasakan, kan? Kamu cuma berpikir, aku yang saat itu mencintai kamu bakal terus baik-baik aja even though you’re slept with other girl. But actually not, Cade. It never feels good. I was never be okay.”

Keyza merasakan lagi hatinya yang hancur. Keyza mengingat semua tulisan di buku harian itu. Semua yang tertulis di sana seakan-akan adalah mantra yang tidak boleh Keyza lupakan. Keyza harus ingat bahwa ia pernah disakiti sebegitu dalamnya oleh laki-laki di sampingnya.

”I know you have a reason. Or maybe many reasons. Kamu mau cita-cita kamu terwujud. Kamu nggak mau mengecewakan keluarga kamu. Oke, I’m deal with that. Tapi, kenapa bahkan setelah mengugurkan anak kamu, menikahi aku, kamu nggak membaik? Bahkan kamu masih tidur di rumah perempuan lain, Cade … .”

“Kalau kamu takut sama anceman itu, kenapa aku nggak dikasih tau? Kenapa kamu nggak percaya aku untuk hadepin itu bareng-bareng? Kenapa kamu malah melaju sendiri dan ngorbanin aku, Cade? You said you love me but you left me first.

Keduanya menciptakan hening beberapa saat. Cade tidak dapat menjawab pertanyaan Keyza, karena ia tahu ini semua murni kesalahannya. Point yang disebutkan Keyza, memang salahnya.

“Aku sadar, omongan kamu tentang aku yang i love you that much itu bener. Di buku harian itu, nggak ada sekali pun Keyra tulis keburukan kamu. Aku bisa nyimpulin, kalau aku emang i loved you that much.

”And also i am. I love you that much. Aku tau aku salah. Tapi, empat tahun tanpa kamu bukan hal yang mudah, Key. Empat tahun aku tersiksa sama rasa penyesalan aku. I ever think i’m gonna follow you to the heaven as soon as possible. Aku tau ini semua mungkin emang hukuman yang Tuhan kasih buat aku. But now, you here. Can you forgive me? Give me a second chance, Key. Apa kamu nggak ada rasa sedikit pun buat aku?” tanya Cade dengan suara yang sudah mulai parau.

Ini bukan hanya tentang Keyza. Ini juga tentangnya. Cade merasa bodoh, tapi di lain sisi ia sangat sadar bahwa keputusannya sejak awal sudah salah. Sejak ia tidur dengan Yura dan merelakan nyawa anaknya sendiri melayang.

Cade merasa dadanya tidak kalah sesak saat melihat Keyza mulai menitiskan air matanya. Ia juga sakit. Ia tidak pernah baik-baik saja sejak tahu bahwa perlakuannya menyakiti Keyra begitu dalam.

“Aku nyesel. Sumpah. Aku nggak tau harus jelasin ke kamu gimana lagi, Key. But it’s totally hurt me tho. Aku nggak akan mencari pembelaan. Aku tau aku salah. Tapi aku udah berubah, Key. Yura udah nggak ada di sisi aku. Tante Ratih juga udah ditahan. Can you see me now?”

Keyza menghapus bulir air mata yang berhasil membasahi pipinya. Ia tarik udara bersih di sekitarnya sebanyak-banyaknya untuk menenangkan sejenak pikirannya.

”I forgive you but for second chance, no. Sorry, i can’t. Kamu inget waktu kita jogging bareng? Kamu bilang, kamu nggak akan kemana-mana, tapi setelah aku dari kamar mandi, kamu pergi. Kamu nggak sadar itu. Kamu belum sepenuhnya berubah, Cade. Dan aku nggak mau ambil resiko.”

Cade kembali merasakan hatinya patah. Cade kembali merasakan dadanya tertusuk persis seperti saat ia mengetahui Keyra tidak selamat di kecelakaan empat tahun lalu. Tangannya bergerak untuk menyanggah wajahnya di atas kedua lututnya. Lalu tanpa aba-aba, Cade mendudukan dirinya di depan kaki Keyza.

“Maaf. Maaf karena aku nggak bisa nunjukkin rasa sayang aku ke kamu dulu. Maaf karena aku nggak pernah menjadikan kamu prioritas. Maaf untuk luka yang aku buat, Key. Maaf karena aku terlalu egois. Aku mohon, jangan tinggalin aku lagi.”

Keyza menggeleng lemah menatap Cade yang terduduk di bawahnya. Keyza enggan berpikir dua kali. Keputusannya sudah bulat. Ia tidak ingin mengambil resiko untuk kembali menerima penyebab lukanya. Keyza tidak seberani itu.

”I don’t. We can be friend but for in special relationship again, i won’t.”

Lalu kedua tangan Keyza menepuk pelan pundak kokoh milik Cade. Keyza mengajak Cade untuk berdiri dari posisinya.

“Cade, kita berdua tau bahwa nggak ada yang baik dalam hubungan ini. Aku dan kamu sama-sama terluka. We can’t heal each other. Aku udah maafin kamu. Keluarga kita juga tetap bisa menjalin hubungan baik. Dan kamu juga harus maafin diri kamu sendiri. Semua yang udah terjadi nggak akan bisa kamu ubah, Cade.”

Sebelum Keyza beranjak pergi, Cade menahan lengannya lalu menarik perempuan itu untuk masuk ke dalam dekapannya.

”Please, let me hug you. Please, just a moment. I miss you all the time.”

Keyza tidak bisa melawan. Lagian, mau bagaimanapun Keyza paham sebesar apa rasa rindu laki-laki itu kepada dirinya. Kepada Keyranya.

Keduanya terdiam dalam dekapan masing-masing. Tangan Keyza terulur untuk mengelus pelan punggung Cade sebelum melepasnya.

“Kamu harus mulai bahagia ya, Cade? I’m sure, someday you will find your true love.” Keyza mulai mengambil tas kecilnya lalu hendak memasuki rumah untuk berpamitan. Namun suara Cade menghentikan langkahnya.

“Key, ini amplop apa?” tanya Cade saat ekor matanya mendapati amplop berwarna cokelat tergeletak di pinggir kursi yang diduduki Keyza.

“Surat perceraian. Aku mau kita resmi pisah.”

-ayya.

Keyza sudah duduk berdampingan dengan Cade di taman kecil rumah ini. Keduanya menatap penuh arti matahari yang sedang berdiri tegak di tengah-tengah langit putih itu. Keduanya memiliki rasa harap dan cemas yang berbeda-beda. Namun, do’a di hati kecil mereka sama; semoga semuanya bisa sembuh.

“Mama nggak jadi ikut ke sini?” Pertanyaan pertama dari Cade yang membuka obrolan empat mata diantara mereka.

“Hm … Mama nggak enak badan tadi pagi. Katanya udah bilang kok ke Tante Amara.” jawab Keyza dengan tenang.

Cade mendecih pelan saat mendengar dengan jelas Keyza memanggil Amara dengan sebutan ‘Tante’. Bukan lagi ‘Bunda’ seperti yang Keyra selalu lakukan dulu, bahkan jauh sebelum mereka menikah.

“Lucu ya. Padahal dulu, dari kecil, kamu selalu panggil Bunda, bukan Tante. Kamu marah karena dulu aku nggak suka kamu ikut-ikut panggil Bunda. Kamu maksa biar aku bolehin … Biar aku berubah pikiran, kamu beliin aku figuran Spongebob di pedagang kaki lima.” Cade tersenyum. Pikirannya berkelana dengan cepat mengingat semua kenangan masa kecil mereka.

Keyza pun sama, ia tersenyum. Seandainya ia mengingat semua kenangan itu, mungkin Keyza tidak akan merasa sehambar ini saat Cade menceritakan beberapa kisah masa kecil mereka. Tentang Keyza yang takut badut, tentang Keyza yang selalu menangis setiap selesai belajar naik sepeda dengan Cade, tentang Keyza yang sejak kecil mencintai bunga. Semua. Keyza rasa, Cade tahu semua tentang masa kecilnya. Ia tidak perlu ragu untuk hal itu.

Keyza masih diam mendengarkan semua ocehan Cade yang belum juga berakhir. Sampai tiba-tiba, Cade mempertanyakan hal yang membuat Keyza memberikan seluruh atensinya pada lelaki itu.

“Kalau kamu inget semua itu, kamu nggak akan dateng ke rumah ini dengan laki-laki lain, ya, Key?”

Keyza menatap laki-laki di sampingnya penuh selidik. “Apa kamu kira, cinta buta itu benar-benar ada?” Lalu tatapannya beralih pada hamparan langit kosong di depannya.

“Kalau aja aku nggak kecelakaan, kalau aja aku masih bertahan sama kamu yang sejahat itu, kamu kira hati aku, batin aku, bakal baik-baik aja kah, Cade?”

”You looked like that before. You’re okay. With me.” jawab Cade datar.

”No, i didn’t. Kamu cuma liat aku dari luar. Kamu nggak pernah sekali pun merasa perlu tau tentang apa yang aku rasakan, kan? Kamu cuma berpikir, aku yang saat itu mencintai kamu bakal terus baik-baik aja even though you’re slept with other girl. But actually not, Cade. It never feels good. I was never be okay.”

Keyza merasakan lagi hatinya yang hancur. Keyza mengingat semua tulisan di buku harian itu. Semua yang tertulis di sana seakan-akan adalah mantra yang tidak boleh Keyza lupakan. Keyza harus ingat bahwa ia pernah disakiti sebegitu dalamnya oleh laki-laki di sampingnya.

”I know you have a reason. Or maybe many reasons. Kamu mau cita-cita kamu terwujud. Kamu nggak mau mengecewakan keluarga kamu. Oke, I’m deal with that. Tapi, kenapa bahkan setelah mengugurkan anak kamu, menikahi aku, kamu nggak membaik? Bahkan kamu masih tidur di rumah perempuan lain, Cade … .”

“Kalau kamu takut sama anceman itu, kenapa aku nggak dikasih tau? Kenapa kamu nggak percaya aku untuk hadepin itu bareng-bareng? Kenapa kamu malah melaju sendiri dan ngorbanin aku, Cade? You said you love me but you left me first.

Keduanya menciptakan hening beberapa saat. Cade tidak dapat menjawab pertanyaan Keyza, karena ia tahu ini semua murni kesalahannya. Point yang disebutkan Keyza, memang salahnya.

“Aku sadar, omongan kamu tentang aku yang i love you that much itu bener. Di buku harian itu, nggak ada sekali pun Keyra tulis keburukan kamu. Aku bisa nyimpulin, kalau aku emang i loved you that much.

*”And also i am. I love you that much. Aku tau aku salah. Tapi, empat tahun tanpa kamu bukan hal yang mudah, Key. Empat tahun aku tersiksa sama rasa penyesalan aku. I ever think i’m gonna follow you to the heaven. Aku tau ini semua mungkin emang hukuman yang Tuhan kasih buat aku. But now, you here. Can you forgive me? Give me a second chance, Key. Apa kamu nggak ada rasa sedikit pun buat aku?” tanya Cade dengan suara yang sudah mulai parau.

Ini bukan hanya tentang Keyza. Ini juga tentangnya. Cade merasa bodoh, tapi di lain sisi ia sangat sadar bahwa keputusannya sejak awal sudah salah. Sejak ia tidur dengan Yura dan merelakan nyawa anaknya sendiri melayang.

Cade merasa dadanya tidak kalah sesak saat melihat Keyza mulai menitiskan air matanya. Ia juga sakit. Ia tidak pernah baik-baik saja sejak tahu bahwa perlakuannya menyakiti Keyra begitu dalam.

“Aku nyesel. Sumpah. Aku nggak tau harus jelasin ke kamu gimana lagi, Key. But it’s totally hurt me tho. Aku nggak akan mencari pembelaan. Aku tau aku salah. Tapi aku udah berubah, Key. Yura udah nggak ada di sisi aku. Tante Ratih juga udah ditahan. Can you see me now?”

Keyza menghapus bulir air mata yang berhasil membasahi pipinya. Ia tarik udara bersih di sekitarnya sebanyak-banyaknya untuk menenangkan sejenak pikirannya.

*”I forgive you but for second chance, no. Sorry, i can’t. Kamu inget waktu kita jogging bareng? Kamu bilang, kamu nggak akan kemana-mana, tapi setelah aku dari kamar mandi, kamu pergi. Kamu belum sepenuhnya berubah, Cade. Dan aku nggak mau ambil resiko.”

Cade kembali merasakan hatinya patah. Cade kembali merasakan dadanya tertusuk persis seperti saat ia mengetahui Keyra tidak selamat di kecelakaan empat tahun lalu. Tangannya bergerak untuk menyanggah wajahnya di atas kedua lututnya. Lalu tanpa aba-aba, Cade mendudukan dirinya di depan kaki Keyza.

“Maaf. Maaf karena aku nggak bisa nunjukkin rasa sayang aku ke kamu dulu. Maaf karena aku nggak pernah menjadikan kamu prioritas. Maaf untuk luka yang aku buat, Key. Maaf karena aku terlalu egois. Aku mohon, jangan tinggalin aku lagi.”

Keyza menggeleng lemah menatap Cade yang terduduk di bawahnya. Keyza enggan berpikir dua kali. Keputusannya sudah bulat. Ia tidak ingin mengambil resiko untuk kembali menerima penyebab lukanya. Keyza tidak seberani itu.

”I don’t. We can be friend but for in relationship again, i won’t.”

Lalu kedua tangan Keyza menepuk pelan pundak kokoh milik Cade. Keyza mengajak Cade untuk berdiri dari posisinya.

“Cade, kita berdua tau bahwa nggak ada yang baik dalam hubungan ini. Aku dan kamu sama-sama terluka. We can’t heal each other. Aku udah maafin kamu. Keluarga kita juga tetap bisa menjalin hubungan baik. Dan kamu juga harus maafin diri kamu sendiri. Semua yang udah terjadi nggak bisa kamu ubah, Cade.”

Sebelum Keyza beranjak pergi, Cade menahan lengannya lalu menarik perempuan itu untuk masuk ke dalam dekapannya.

”Please, let me hug you. Please, just a moment.”

Keyza tidak bisa melawan. Lagian, mau bagaimanapun Keyza paham sebesar apa rasa rindu laki-laki itu kepada dirinya. Kepada Keyranya.

Keduanya terdiam dalam dekapan masing-masing. Tangan Keyza terulur untuk mengelus pelan punggung Cade sebelum melepasnya.

“Kamu harus mulai bahagia ya, Cade? I’m sure, someday you will find your true love.” Keyza mulai mengambil tas kecilnya lalu hendak memasuki rumah untuk berpamitan. Namun suara Cade menghentikan langkahnya.

“Key, ini amplop apa?” tanya Cade saat ekor matanya mendapati amplop berwarna cokelat tergeletak di pinggir kursi yang diduduki Keyza.

“Surat perceraian. Aku mau kita resmi pisah.”

-ayya.

Byan bergerak cepat dari posisi diamnya di depan pintu untuk berpindah ke posisi duduk dan menarik Keyza ke dalam dekapannya. Perempuan itu tidak sekuat yang Byan pikirkan, ia hancur. Tepat di depan mata Byan.

Keyza sudah menutup buku harian bersampul cokelat yang sudah mulai kotor karena tidak terawat selama empat tahun belakangan. Keyza sudah selesai membaca semua tulisan tangannya sendiri saat identitas dirinya masih ‘Keyra’.

Matanya sudah mulai membengkak karena terlalu banyak menangis. Bahkan beberapa halaman dalam buku itu ikut berperan menjadi alas air mata yang mengalir deras. Keyza kesakitan. Sangat.

Ia memang tidak ingat tentang masa lalunya. Kepalanya pusing karena sejak awal membuka halaman pertama, ia berusaha untuk mengingat setidaknya sekilas tentang kejadian buruk itu. Tapi hasilnya nihil. Keyza tidak ingat apa pun dalam memorinya empat tahun lalu. Keyza hanya bisa merasakan di hatinya bahwa semua tulisan tangan di buku itu hadir ditemani oleh rasa sakit yang teramat menyayat hati.

Saat membaca buku itu, Keyza bahkan diam-diam meyakini dirinya sendiri bahwa itu bukan kisahnya. Itu bukan dirinya. Keyza menolak percaya bahwa ia pernah disakiti sebegitu dalamnya. Keyza menolak percaya bahwa pelaku semua itu adalah Cade. Laki-laki yang hampir mencuri hatinya, lagi. Dadanya terasa sesak, sakit, sangat sakit.

Maka, saat Byan tiba-tiba menariknya dalam sebuah dekapan, Keyza total hancur. Air matanya tidak lagi terbendung, tidak lagi memiliki batas volume untuk keluar membasahi pipinya. Tangan Byan terus-menerus mengusap lembut punggung kecil Keyza untuk membantu menenangkan emosinya. Tapi gagal.

Tangisan Keyza tidak mereda. Bahkan menjadi lebih keras. Hampir seperti erangan. Byan dapat merasakan Keyza mengenggam ujung hoodienya dengan erat. Tangan gadis itu mencengkram keras. Emosinya mengumpul di kedua telapak tangan gadis itu dan Byan sadar betapa sakitnya hati Keyza saat akhirnya mengetahui kisah masa lalunya.

Tidak ada yang bisa Byan lakukan selain terus mengeratkan pelukannya pada Keyza. Byan bisikan kalimat-kalimat secara halus di telinga gadis itu agar ia bisa lebih tenang, namun tidak ada perubahan berarti. Keyza masih menangis dengan keras.

“Key … I’m here … Kamu sama aku, Keyza. Hey, Keyza … ,” ucap Byan dengan nada yang penuh simpati. Byan mulai tidak bisa mengendalikan emosinya saat ia melihat tubuh Keyza yang sedikit bergetar.

Gadisnya hancur tepat di hadapanya. Dan penyebabnya masih orang yang sama.

Diam-diam, tangan Byan ikut mengepal. Bibirnya mengatup rapat menahan emosi di dadanya. Belum lagi rasa perih yang tiba-tiba tersalurkan dari Keyza ke hatinya.

Byan tidak sanggup untuk melihat wajah Keyza yang penuh air mata. Byan tidak sanggup untuk merasakan tubuh kecil Keyza yang bergetar, sakit. Byan sangat marah. Keyza, perempuan yang empat tahun ini Byan yakini sudah menjadi perempuan dewasa yang kuat, ternyata masih tetap merasa sesakit itu saat mengetahuinya. Bagaimana dengan Keyza empat tahun lalu?

Bagaimana Keyra menghadapi ini semua sendiri? Bagaimana Keyra mampu bertahan hidup di samping laki-laki se-brengsek orang itu? Bagaimana Keyra masih bisa berteman baik dengan perempuan tidak punya malu itu? Bagaimana bisa perempuan setulus Keyra, menyimpan semua rasa sakitnya sendiri?

Byan tidak sanggup. Matanya memerah. Dadanya ikut merasa sesak seperti yang Keyza lakukan saat ini. Menangis.

Pada akhirnya, Byan menjatuhkan kepalanya di pundak kecil Keyza. Suaranya yang ternyata mulai lirih mengisi indra pendengaran Keyza.

“Key, maaf. Maaf kamu harus tau ini semua. Maafin aku, Key. Maaf karena empat tahun lalu aku belum ketemu kamu. Maaf aku nggak ada di sana buat nemenin kamu. Maafin aku.”

“Aku nggak mau kamu begini. Aku takut, Keyza. Demi Tuhan.”

Tanpa dapat Byan tahan lagi, ia menangis. Tepat di pundak Keyza yang masih gemetar.

“Maaf. Maaf karena aku pengecut. Maaf karena dari awal aku nggak pernah berani ngasih tau ini semua ke kamu. Maaf karena aku bertingkah seakan aku nggak tau apa-apa. Maaf, Key. Aku cuma nggak mau liat kamu kayak gini. Ini pemandangan yang paling aku takutin sejak kamu ketemu dia lagi … .”

“Kamu boleh marah. Kamu boleh nangis. Tapi tolong, jangan kayak gini … Kamu harus atur emosi kamu pelan-pelan. Ayo, Key. Kamu bisa. Tolong, jangan gemeter begini. Aku takut.”

“Key … Aku sama sakitnya sama kamu. Kamu nggak sendirian, sumpah. Aku nggak akan ninggalin kamu. Keyza ataupun Keyra, aku nggak akan pergi dari kamu. Please, kamu harus tau itu. Kamu kuat. Aku tau kamu bisa lewatin ini.”

Byan mengelus rambut panjang Keyza yang tidak terurus sejak kecelakaan yang menyebabkan ia harusi dirawat di rumah sakit dua hari lalu. Keyza masih wangi, wangi seperti biasanya. Seperti rumahnya.

Mendengar suara Byan yang lirih dan beberapa kali terjeda karena lelaki itu benar menangis, Keyza bergerak untuk mengelus pelan punggung lebar Byan. Ia berikan kembali kehangatan yang Byan selalu berikan untuknya. Tubuhnya sudah mulai berhenti gemetar, meski jauh di dalam hatinya, Keyza takut.

“Key, lampiasin aja kalau mau teriak. Nggak apa-apa, Mama sama Rey di bawah. Kamu boleh nangis dan teriak sepuas kamu di sini. Aku temenin.”

Mendengar itu, Keyza mengeratkan pelukannya pada Byan. Bibirnya mendekat karena ia yakin suaranya sudah mulai habis karena terlalu banyak menangis. Ia ingin Byan mendengar semua yang ada di hatinya.

“Bi, aku … takut.”

“Aku takut. Aku nggak bisa bayangin gimana perempuan yang ada di posisi itu. And in this situation, that’s me. Itu aku empat tahun lalu … Aku sehancur itu, Bi. Aku udah hancur dari empat tahun lalu.”

Keyza terisak lagi. Ia menjeda kalimatnya untuk menarik napas. Dan secata tiba-tiba Byan mengangkat tubuhnya untuk duduk di atas kedua paha lelaki itu. Byan memangku Keyza dengan posisi saling berpelukan.

“Nggak usah malu. Lanjutin aja.” Byan menginterupsi sebelum Keyza membuka mulutnya untuk mengeluarkan protes.

“Gimana bisa, Bi? Aku sebodoh itu. Gimana bisa? Gimana bisa aku segitu pasrahnya?”

“Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang bantu mereka? Kenapa harus aku yang menikahi dia? Kenapa harus aku yang mencintai dia sebegitu besarnya?”

“Kenapa harus dia?”

Lagi, Keyza kembali menangis dengan keras. Keyza tidak pernah menyangka rasanya akan sesakit ini. Keyza tidak pernah tahu kalau ia akan menjadi korban toxic relationship. Keyza tidak pernah sakali pun berpikir ia akan bertindak senaif itu.

”You loved him that much in the past, Key. You can’t deny it. Dan perihal perasaan, nggak ada yang boleh disalahkan,” ujar Byan pelan di telinga Keyza.

Perempuan itu mengangguk lemah. ”But i’m so stupid. Why?! Why, Bi?! Kenapa harus aku!?” teriak Keyza. Emosinya sudah di tepi tebing tinggi, jadi Byan tidak mencoba menghalangi Keyza untuk meluapkan segalanya.

Keyza melepas pelukannya. Kedua mata sembabnya menatap Byan penuh luka. Lalu setelahnya, ia kembali berteriak.

“Kenapa? Kenapa harus Yura? Kenapa harus laki-laki itu? Kenapa?”

“Kenapa aku harus ketemu dia lagi? Kenapa kamu harus ajak aku ke sini buat kerja sama dengan dia, Bi?! Kenapa? Kenapa kamu malah ngebiarin dia deketin aku even though kamu tau apa yang dia lakuin dulu ke aku. Kenapa, Bi?! Kenapa aku nggak sama kamu aja di Paris?!” Pertanyaan berturut-turut dari Keyza hanya mendapat jawaban senyum tipis di bibir Byan.

Tangan Byan bergerak lagi untuk mengusap rambut Keyza dengan lembut. Lalu berbisik, “Nanti aku ceritanya ya.”

Sementara Keyza, wajahnya yang sudah basah total itu kini semakin memerah karena emosi.

“Dada aku, sakit, Bi. Hati aku, sakit. Aku bahkan nggak inget kejadian empat tahun lalu, tapi aku sesakit ini, Bi … Gimana kalau tiba-tiba Tuhan kembaliin semua memori aku besok? Gimana kalau tiba-tiba laki-laki itu muncul di hadapan aku besok, Bi? Rasanya pasti lebih dari ini, kan? Aku harus apa?”

Keyza putus asa. Byan tahu gadis itu sudah mulai lemah. Tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih dari luka lecet itu terlihat semakin pucat.

Maka, dengan cekatan Byan menggendong Keyza dengan kedua tangannya lalu membaringkan perempuan itu di kasur serba birunya.

“Terusin aja ngomongnya. Tapi tiduran. Kamu masih sakit, Key. Aku temenin.”

Mendengar kalimat aku temenin, Keyza dengan cepat menarik Byan untuk ikut membaringkan tubuhnya di sebelahnya. Lalu Keyza mendekat untuk kembali memeluk tubuh Byan. Ia letakkan kepalanya di atas dada laki-laki itu dan mulai memejamkan matanya. Kepalanya pusing. Matanya mulai perih. Ia sudah terlalu banyak menangis.

Namun, apa daya? Luka di hatinya seakan terukir lebih besar. Sakit di hatinya sangat-sangat menusuk. Walau kedua matanya terpejam, semua kalimat dalam buku harian itu terngiang mengisi pikirannya. Lalu Keyza kembali menangis.

Mendengar isakan kecil yang mulai kembali Keyza keluarkan, Byan memeluk lebih erat perempuan ini. Tangannya tidak henti-hentinya mengusap lembut punggung Keyza.

“Kamu kuat. Kamu bisa lewatin ini.”

Keyza mengangguk kecil.

Lalu mengeluarkan satu kalimat lirih yang hampir tidak bisa Byan dengar.

“Aku tetep harus selesain ini kan, Bi?”

Byan mengangguk. Keyza harus tetap kuat dan bertahan sampai semuanya tuntas.

Jauh di dalam hati Byan, ia tidak bisa lagi menolerensi laki-laki itu. Ia tidak akan pernah memaafkan siapa pun yang membuat Keyza sehancur ini. Byan tidak ingin mengingat seperti apa Keyza hari ini. Baginya, ini terlalu buruk dan menyakitkan untuk di simpan dalam memori.

Cukup. Byan sudah cukup memberikan waktu untuk Cade memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Kali ini, Byan yang akan memberhentikan Cade jika lelaki itu masih terus-menerus bersikap egois.

-ayya

Keyra pov.

Aku kembali duduk di salah satu sofa ruang tamu setelah mengambil minum untuk Cade dan Yura yang sudah tiba di rumahku sejak sepuluh menit lalu. Belum ada satu kalimat pun yang keluar dari keduanya. Dan aku hanya diam. Mengamati keduanya dengan hatiku yang tidak baik-baik saja.

Kicauan burung-burung kecil di sangkar mereka memenuhi indra pendengaranku. Aku selalu suka bagaimana suara mereka membuat suasana rumah ini selalu terasa tenang dan harmonis.

Namun ternyata, keheningan itu tidak berlangsung lama pada siang hari ini.

“Gue nggak bisa lama-lama. Kayak yang gue bilang di imess, gue hamil. Dan kita sepakat buat gugurin kandungan gue.” Perkataan Yura yang tidak diberi aba-aba itu seketika membuat tubuhku duduk dengan tegak. Aku mulai tegang.

“Kenapa? Anak ini nggak salah apa-apa, kan? Kenapa harus dia yang jadi korban?” tanyaku dengan nada yang sedikit meninggi. Mendengar itu, Cade mengalihkan tatapannya kepada kedua netraku.

“Lo tau alesannya. Lo bilang lo paham gimana nyokap bokap gue. Seharusnya gue nggak perlu jelasin lagi kenapa akhirnya gue sepakat buat gugurin anak ini,” ucap Cade dalam satu tarikan napas.

Aku terkejut, tentu saja. Yang aku tahu, Cade bukan termasuk laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Seharusnya ia tidak melakukan ini sejak awal jika tahu resikonya. Dan seharusnya Cade mampu merelakan posisi yang dijanjikan Ayahnya, bukan malah merelakan anaknya sendiri, kan?

“Kamu nggak cinta sama Yura?” Entah untuk alasan apa, pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibirku. Yura yang mendengarnya, sontak menolehkan seluruh atensinya padaku.

“Enak aja lo kalo ngomong,” ujar Yura dengan tatapan sinisnya.

“Gue minta tolong lo bantu Yura urus aborsinya, Key. Gue tau lo berdua ada kenalan di rumah sakit. Dan yang paling penting, masalah ini cukup kita bertiga yang tau,” kata Cade tanpa penolakan. Apa pun yang ia katakan rasanya seperti perintah bagiku. Maka, aku hanya mengangguk. Menyetujui keputusan mereka seperti budak cinta yang sesungguhnya.

Aku sempat mendapati Yura tersenyum dengan tangannya yang melingkar di lengan Cade. Hatiku teriris, sungguh. Bagaimana bisa mereka memutuskan untuk membunuh janin di perut Yura hanya dalam hitungan jam? Apa sebegitu tidak berartinya?

Dan, tanpa sadar air mataku mulai membenung. Aku tahu Cade menyadari itu. Aku juga tahu, Cade memilih acuh. Lagi dan lagi, aku hanya menunduk lesu. Cade, kapan ya, kamu bisa melihat aku lebih dari seorang sahabat?

“Oh iya, Key. Gue lupa satu hal lagi. Lo masih suka sama Cade, kan?”

deg! Aku benar-benar tidak menyangka bahwa pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Yura tepat di hadapan Cade. Di hadapan laki-laki yang selama ini tidak tahu-menahu tentang perasaanku.

“Gue mutusin buat izin keluar kota selama gue ngejalanin pra-aborsi atau setelahnya nanti. Gue nggak bisa langsung balik, kan? Gue butuh perawatan juga pasti.” Perkataan Yura terjeda sejenak. Perempuan itu mengambil waktu untuk mengisi kerongkongannya yang terasa kering.

Lalu karena tidak ingin mengulur waktu lebih lama, Cade mengambil alih seluruh perhatianku dengan pertanyaannya.

“Lo masih suka sama gue?”

Tentu saja aku terdiam. Jantungku rasanya seperti didorong ribuan kupu-kupu untuk keluar dari tempatnya. Aku reflek menahan napasku. Aku malu. Sangat. Cade mengucapkan pertanyaan itu dengan sangat mudah. Seakaan pertanyaan itu bukan merupakan suatu hal yang penting dan privasi.

“Nikah sama Cade, Key.”

Setelah berhasil mencerna kalimat Yura dalam waktu kurang dari seperkian detik, mataku sontak membulat. Aku terkejut.

“Maksudnya?”

“Lo masih suka sama Cade. Lo nikahin dia. Biar keluarga kita bertiga nggak ada yang curiga tentang ini semua. Om Gerald nggak perlu tau Cade hamilin gue. Mama gue juga nggak perlu tau kalau gue gugurin anak ini. Dan nyokap lo cuma perlu tau anak kesayangannya menikah dengan laki-laki yang dicintainya. Simpel, kan? Lo bisa lindungin banyak orang, Key. Lo dapet Cade, orang yang lo cinta. Cade tetep dapet posisinya. Dan gue tetep aman.”

Saat mendengar itu, pikiranku yang sebelumnya mengasihani bayi dalam kandungan Yura seketika berubah. Aku merubahnya menjadi mengasihani diriku sendiri. Aku tidak bisa menolak permintaan itu karena rasa cintaku untuk Cade.

Kasihan ya, aku… . gue

-ayya.

Byan tidak memedulikan seperti apa posisi mobilnya yang terparkir seenaknya di depan Rumah Sakit Dahlia. Hoodienya ia biarkan terpakai asal. Begitu juga dengan tali sepatunya yang tidak sepenuhnya terikat.

Langkahnya bergerak cepat menulusuri koridor rumah sakit setelah mendapat info bahwa Keyza sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP. Hatinya bergemuruh. Cemas, takut, marah, semua berbaur menjadi satu.

Byan mengangkat telponnya yang berdering tepat sebelum ia membuka pintu kamar pasien di depannya.

“Cari pelakunya malam ini juga. Kirim semua rekaman CCTV di wilayah sana ke Pak Surya. Pelakunya sama dengan tragedi teror di apartemen Roseanne … Pak Surya akan menangkap dia secepatnya.” ujar Byan dengan rahang yang sudah mengeras dan tangannya yang meremat keras knopi pintu. Ia menarik napas panjang untuk mengubur dalam-dalam emosinya. Ia tidak boleh terlihat penuh amarah untuk menenangkan Keyza yang terbaring lemah di ranjang pasien.

Dua kali. Dua kali Byan harus menghadapi keadaan seperti ini. Keadaan dimana perempuan di depannya terbaring lemah tidak sadarkan diri. Kedua kalinya dan penyebab kecelakaannya masih sama.

Setelah mendudukkan dirinya di samping ranjang Keyza, Byan meraih tangan pucat perempuan itu. Membawanya dalam sebuah genggaman hangat.

Byan takut. Ia sangat takut ketika pikirannya menerka-nerka apa efek yang Keyza dapatkan saat membuka matanya kali ini?

Sungguh, Byan berani sumpah ia akan menghajar Cade habis-habisan jika sesuatu yang serius menimpa Keyza.

Lamunan Byan terpecah ketika ia merasakan tangan yang ia genggam bergerak pelan di atas jarinya.

“Key, what do you feel?” Byan sudah akan berdiri dari tempatnya, namun jari Keyza menahan ujung hoodienya.

“Apa? Kamu butuh apa?”

Kedua manusia rapuh ciptaan Tuhan itu saling menatap dan terdiam dalam beberapa detik. Dan tanpa direncanakan, si gadis mulai menitikkan air matanya.

“Takut, Bi.” Itu adalah kata pertama yang keluar dari bibir mungil Keyza. Byan sedikit bernapas lega, Keyza tidak lupa.

Byan bergerak cepat untuk memeluk gadis itu. Posisinya sedikit berbaring di dekat kepala Keyza untuk meletakkan dadanya sebagai tumpuan menangis.

Tangan Byan mengelus lembut pundak Keyza. Menenangkannya seperti yang biasa ia lakukan di Paris.

“Aku takut. Suara benturannya kenceng banget … Bi … .” Kedua tangan Keyza mulai gemetar.

“Aku di sini, Key. Kamu di sini sama aku. Kamu nggak akan sendiri kemana-mana, ok? Kamu aman, Keyza. You always have me. Sorry for letting you feel this again. I’m sorry.”

Keyza mengeluarkan semua rasa takut yang tiba-tiba mendatanginya ketika ia membuka matanya tadi. Ingatannya merekam jelas tentang kecelakaan yang baru saja terjadi menimpa dirinya dan Cade. Bagaimana mini bus itu melaju kencang dari sebelah kiri dan menabrak bagian depan mobil Cade sampai hancur. Keyza terluka lebih banyak dari Cade karena tubrukan itu terjadi di sisi penumpang. Beruntung tidak ada luka serius yang menimpa keduanya.

Tangan kecil Keyza yang mencengkram hoodie Byan mulai melonggar. Byan dapat merasakan Keyza sudah mulai tenang.

“Kamu nggak perlu takut sendirian, Key. Aku, aku yang lebih takut waktu dapet info kamu ditabrak. Nggak apa-apa, kamu keren. Badan kamu nih udah aku lapisin baja dari 4 tahun lalu, jadi udah kuat banget deh.” Byan sengaja menambahkan guyonan murahannya untuk sedikit menghibur Keyza. Dan tentu saja itu berhasil. Keyza tersenyum lebar meski dahinya dibalut perban yang cukup besar.

“Oh iya, Bi, Cade gimana?” tanya Keyza saat ia baru menyadari bahwa di kamar ini hanya ada satu ranjang pasien yang ditempati dirinya.

“Di kamar sebelah. Nggak perlu khawatir, dia juga nggak parah kok. Malah parahan kamu lukanya.” kata Byan dengan nada yang sedikit sinis di akhir.

Mendengar itu, Keyza hanya menganggukkan kepalanya menandakan ia tidak ingin bertanya lebih lanjut untuk saat ini.

“Aku lagi cari pelaku yang tabrak mobil Cade … Aku khawatir ini bukan sekedar kecelakaan, tapi percobaan pembunuhan.”

Keyza membelalakkan kedua matanya mendengar pernyataan tersebut.

“Kamu nggak punya musuh. Tapi, Cade punya banyak. Ini bukan tentang kamu, tapi Cade. Kamu tau sendiri sebesar apa pengaruh dia dan serese apa dia.”

Keyza tersenyum kecil menanggapinya. “Kamu sama Cade itu mirip. Sama-sama rese, hehe.”

Kali ini, Byan yang membelalakkan matanya. Apa katanya? Mirip? Enak aja!

“Key, kamu nggak salah? Otak kamu aman, kan?”

Pertanyaan dari Byan sontak membuat tangan Keyza yang tidak diinfus memukul pelan lengannya. “Kurang ajar, ya, kamu.” Lalu tawa keduanya menguar di dalam kamar rawat ini.

Ya Tuhan, membuat Keyza tersenyum itu bukan hal yang sulit. Perempuan ini sangat sederhana. Tapi, mengapa suaminya dulu tidak pernah sedikit pun membuatnya bahagia?

———

Byan menutup pintu kamar pasien Keyza setelah Mama Santika dan Rey datang. Ia memilih keluar dan memberikan kesempatan keluarga kecil itu untuk berbicara dengan nyaman.

Kemudian kakinya melangkah menuju pintu kamar pasien lain yang berada persis di depan kamar rawat Keyza.

Tangannya mengetuk pintu beberapa kali sampai terdengar sahutan bahwa dirinya diperbolehkan masuk ke dalam.

Byan tidak bisa menahan emosinya ketika dengan jelas ia dapat melihat Cade yang dengan santainya duduk bersender si ranjang pasien lengkap dengan satu buah apel di tangannya.

Emosi di hatinya membawa tangannya untuk mencengkram kasar kerah baju pasien Cade. Byan bahkan tidak sadar bahwa Ibu Meilleur Amara dan Meilleur Gaby ada di ruangan ini.

Belum sepatah kata pun keluar dari mulut Byan maupun Cade, tarikan kasar pada bagian atas hoodie Byan sukses membuat cengkramannya terlepas.

“Lo siapa!? Ngapain!? Dateng-dateng gituin Abang gue. Ada masalah apa lo?”

Ya, itu suara Gaby. Perempuan berwatak keras dari keluarga Meilleur.

Byan menyeringai. “Gaby ya? Adik dari laki-laki pengecut ini?”

plak. Tamparan dari Gaby mendarat mulus di pipi kiri Byan. Amara yang sedari tadi diam, mulai bergerak mendekat untuk menahan emosi anak bungsunya.

“Jaga omongan lo!” seru Gaby tepat di depan wajah Byan.

Byan tidak marah ataupun terkejut. Yang ia lakukan malah sebaliknya. Ia menyeringai remeh.

“Lo Meilleur Gaby. Perempuan yang terpaksa harus nerima teror berkali-kali karena tingkah Abang lo. Tapi, gue yakin lo nggak tau kenapa lo harus nerima teror itu, ya, kan? Abang lo yang pengecut ini pasti nggak berani bilang alasannya, kan?”

Kalimat Byan berhenti bersamaan dengan suara ranjang yang bergeser. Cade berdiri memapah tubuhnya yang masih lemas untuk menghadapi Byan di depannya.

”It’s not your business. Keluar. Kalau lo ke sini cuma mau ngamuk, better not now. Jangan melewati batas, Anahtar Byan.” Cade memberi tatapan nyalang untuk Byan. Lengannya digenggam erat oleh Gaby karena tubuhnya yang terasa bisa ambruk kapan saja.

“Kenapa? Lo takut keluarga lo yang sayang sama lo ini tau kebusukan apa yang lo buat dulu? Lo takut dua perempuan kesayangan lo ini kecewa persis kayak yang Keyra rasain dulu? Lo pengecut, Cade. Lo nggak berubah.”

Amara menatap Byan penuh selidik saat nama menantu kesayangannya dilontarkan. Begitu juga Gaby. Keduanya terheran, siapa sebenarnya laki-laki bernama Byan ini?

“Keluar, Anahtar Byan. Nggak sekarang.”

Muak dengan ucapan Cade yang tidak berubah, Byan membuang kasar napasnya dan berniat keluar dari ruangan penuh rahasia ini. Tapi, langkahnya terhenti karena uluran tangan seseorang menghalangi jalannya.

“Ada apa sama Kak Keyra? Apa teror gue ada sangkut pautnya sama Kak Keyra? Kenapa lo muncul sekarang? Lo siapa?”

Gaby memberanikan diri untuk mencari jawaban dari rasa penasarannya selama ini. Jika Cade selalu menunda untuk memberi tahu alasannya, maka ia harus mengejar sumber lain yang mengetahui hal ini.

“Pelaku teror lo adalah orang tua dari mantan pacar Abang lo. Dia terobsesi sama Abang lo.”

Satu fakta mengejutkan itu membuat tangan Gaby yang terulur tadi kembali ke tempatnya. Ia tahu persis bahwa hanya ada satu nama yang pernah menjadi kekasih Abangnya. Yura.

Byan menatap kedua netra Cade dengan tajam. Ia tidak takut meski ia tahu saat ini Cade sedang menahan amarahnya yang sudah memuncak.

“Abang lo lebih memilih mantan pacarnya dibanding istrinya sendiri, Keyra. Abang lo pengecut. Abang lo brengsek. Dia terus-terusan nyakitin Keyra bahkan sampai kecelakaan besar menimpa Keyra 4 tahun lalu.”

Byan dapat menangkap dengan jelas kedua tangan Amara mulai mengepal keras di sisi tubuhnya.

Byan berdiri mendekat ke hadapan Cade. Jarinya kembali mencengkram kerah baju Cade.

“Dan kecelakaan tadi juga disebabkan oleh orang yang sama seperti teror lo. Abang lo tau semuanya. Tapi, coba lo liat. He does nothing. Dia malah enak-enakan makan apel disaat dia tau dengan jelas lo dan Keyra dalam bahaya. Brengsek.”

Byan tidak lagi menahan emosinya untuk memukul keras pelipis Cade. Gaby dan Amara bahkan tidak bisa menahan gerakan Byan yang cepat.

“Emang bener ya apa yang orang bilang. Cowok sekali brengsek bakal terus brengsek. Gue bisa urus orang itu tanpa lo, Cade. Gue yang akan memenjarakan dia dengan tangan gue sendiri.”

Byan melangkahkan kakinya menjauh dari tubuh Cade yang sudah tersengkur di atas ranjangnya. Sudah cukup. Ia tidak perlu menghabiskan waktunya untuk mengurus keluarga ini.

Namun, sebuah pertanyaan yang dilontarkan Amara membuatnya menahan gerakan kakinya. “Dari mana kamu tau semua itu? Dan untuk apa kamu sepeduli ini dengan Keyra yang sudah lama meninggal?”

Byan tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaan itu. “Semua tentang Cade, Yura dan Keyra sudah saya selidiki tanpa meninggalkan jejak sedikit pun sejak 4 tahun lalu. Sejak saya membawa tubuh ringkih dan penuh darah Keyra ke rumah sakit. Sejak nama saya adalah nama pertama yang keluar dari bibir Keyra setelah ia koma selama hampir 2 bulan di Paris.”

“Dan Anda bertanya siapa saya? Saya Anahtar Byan. CEO Anahtar inc. yang sedang memiliki projek besar dengan perusahaan Meilleur Anda. Kenapa saya sepeduli ini? Karena ini kali kedua anak Anda menyebkan gadis yang saya cintai terbaring di ranjang pasien.”

Melihat raut kebingungan yang semakin jelas di wajah Amara dan Gaby membuat Byan paham, bahwa Cade tidak menceritakan apa pun sejak ia sadarkan diri tadi. Lagi-lagi Byan tersenyum remeh.

“Karena anak lelaki Anda mungkin tidak memiliki nyali untuk memberi tahu Anda, maka biar saya yang memberi tahu …

Anak anda mengalami kecelakaan bersama perempuan yang saya cintai. Keyra.”

“Keyra masih hidup. Dan anak Anda hampir membuat dia kehilangan nyawanya untuk kali kedua.”

Terdengar suara benda pecah setelah Byan melangkah untuk keluar pintu. Tubuh Amara yang gemetar secara tidak sengaja menjatuhkan vas bunga di nakas rumah sakit.

Ini terlalu tiba-tiba. Fakta jika orang tua Yura adalah pelaku teror dan kecelakaan ini sangat membuatnya terkejut. Terlebih ketika akalnya mulai mencerna kalimat terakhir Byan mengenai Keyra, air mata Amara mulai mengalir membasahi pipinya.

“Keyra masih hidup.”

-ayya.

Byan tidak mempedulikan seperti apa posisi mobilnya yang terparkir seenaknya di depan Rumah Sakit Dahlia. Hoodienya ia biarkan terpakai asal. Begitu juga dengan tali sepatunya yang tidak sepenuhnya terikat.

Langkahnya bergerak cepat menulusuri koridor rumah sakit setelah mendapat info bahwa Keyza sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP. Hatinya bergemuruh. Cemas, takut, marah, semua berbaur menjadi satu.

Byan mengangkat telponnya yang berdering tepat sebelum ia membuka pintu kamar pasien di depannya.

“Cari pelakunya malam ini juga. Kirim semua rekaman CCTV di wilayah sana ke Pak Surya. Pelakunya sama dengan tragedi terror di apartemen Roseanne … Pak Surya akan menangkap dia secepatnya.” ujar Byan dengan rahang yang sudah mengeras dan tangannya yang meremat keras gagang pintu. Ia menarik napas panjang untuk mengubur dalam-dalam emosinya. Ia tidak boleh terlihat penuh amarah untuk menenangkan Keyza yang terbaring lemah di ranjang pasien.

Dua kali. Dua kali Byan harus menghadapi keadaan seperti ini. Keadaan dimana perempuan di depannya terbaring lemah tidak sadarkan diri. Kedua kalinya dan penyebab kecelakaannya masih sama.

Setelah mendudukkan dirinya di samping ranjang Keyza, Byan meraih tangan pucat perempuan itu. Membawanya dalam sebuah genggaman hangat.

Byan takut. Ia sangat takut ketika pikirannya menerka-nerka apa efek yang Keyza dapatkan saat membuka matanya kali ini?

Sungguh, Byan berani sumpah ia akan menghajar Cade jika sesuatu yang serius menimpa Keyza.

Lamunan Byan terpecah ketika ia merasakan tangan yang ia genggam bergerak pelan di atas jarinya.

“Key, what do you feel?” Byan sudah akan berdiri dari tempatnya, namun jari Keyza menahan ujung hoodienya.

“Apa? Kamu butuh apa?”

Kedua manusia rapuh ciptaan Tuhan itu saling menatap dan terdiam dalam beberapa detik. Dan tanpa direncanakan, si gadis mulai menitikkan air matanya.

“Takut, Bi.”

Byan bergerak cepat untuk memeluk gadis itu. Posisinya sedikit berbaring di dekat kepala gadisnya untuk meletakkan dadanya sebagai tumpuan gadis itu menangis.

Tangan Byan mengelus lembut pundak Keyza. Menenangkannya seperti yang biasa ia lakukan dulu di London.

“Aku takut. Suara benturannya kenceng banget … Bi … .” Kedua tangan Keyza mulai gemetar.

“Aku di sini, Key. Kamu di sini sama aku. Kamu nggak akan sendiri kemana-mana, ok? Kamu aman, Keyza. You always have me. Sorry for letting you feel this again. I’m sorry.”

Keyza mengeluarkan semua rasa takut yang tiba-tiba mendatanginya ketika ia membuka matanya tadi. Ingatannya merekam jelas tentang kecelakaan yang baru saja terjadi menimpa dirinya dan Cade. Bagaimana mini bus itu melaju kencang dari sebelah kiri dan menabrak bagian depan mobil Cade sampai hancur. Keyza terluka lebih banyak dari Cade karena tubrukan itu terjadi di sisi penumpang. Beruntung tidak ada luka serius yang menimpa keduanya.

Tangan kecil Keyza yang mencengkram hoodie Byan mulai melonggar. Byan dapat merasakan Keyza sudah mulai tenang.

“Kamu nggak takut sendirian, Key. Aku, aku yang lebih takut waktu dapet info kamu ditabrak. Nggak apa-apa, kamu keren. Badan kamu nih udah aku lapisin baja dari 4 tahun lalu, jadi udah kuat banget deh.” Byan sengaja menambahkan guyonan murahannya untuk sedikit menghibur Keyza. Dan tentu saja itu berhasil. Keyza tersenyum lebar meski dahinya dibalut perban yang cukup besar.

“Oh iya, Bi, Cade gimana?” tanya Keyza saat ia baru menyadari bahwa di kamar ini hanya ada satu ranjang pasien.

“Di kamar sebelah. Nggak perlu khawatir, dia juga nggak parah kok. Malah parahan kamu lukanya.” kata Byan dengan nada yang sedikit sinis di akhir.

Mendengar itu, Keyza hanya menganggukkan kepalanya tanda ie tidak infin bertanya lebih lanjut sekarang.

“Aku lagi cari pelaku yang tabrak mobil Cade … Aku khawatir ini bukan sekedar kecelakaan, tapi percobaan pembunuhan.”

Keyza membelalakkan kedua matanya mendengar pernyataan tersebut.

“Kamu nggak punya musuh. Tapi, Cade punya banyak. Ini bukan tentang kamu, tapi Cade. Kamu tau sendiri sebesar apa pengaruh dia dan serese apa dia.”

Keyza tersenyum kecil. “Kamu sama Cade itu mirip. Sama-sama rese, hehe.”

Kali ini, Byan yang membelalakkan matanya. Apa katanya? Mirip? Enak aja!

“Key, kamu nggak salah? Otak kamu aman, kan?”

Pertanyaan dari Byan sontak membuat tangan Keyza yang tidak diinfus memukul pelan lengannya. “Kurang ajar, ya, kamu.” Lalu tawa keduanya menguar di dalam kamar rawat ini.

Ya Tuhan, membuat Keyza tersenyum itu bukan hal yang sulit. Perempuan ini sangat sederhana. Tapi, mengapa suaminya dulu tidak pernah sedikit pun membuatnya bahagia?

—-

Byan menutup pintu kamar pasien Keyza setelah Mama Santika dan Rey datang. Ia memilih keluar dan memberikan kesempatan keluarga kecil itu untuk berbicara dengan nyaman.

Kemudian kakinya melangkah menuju pintu kamar pasien lain yang berada persis di depan kamar rawat Keyza.

Tangannya mengetuk pintu beberapa kali sampai terdengar sahutan bahwa dirinya diperbolehkan masuk ke dalam.

Byan tidak bisa menahan emosinya ketika dengan jelas ia dapat melihat Cade yang dengan santainya duduk bersender si ranjang pasien lengkap dengan satu buah apel di tangannya.

Emosi di hatinya membawa tangannya untuk mencengkram kasar kerah baju pasien Cade. Byan bahkan tidak sadar bahwa Ibu Meilleur Amara dan Meilleur Gaby ada di ruangan ini.

Belum sepatah kata pun keluar dari mulut Byan maupun Cade, tarikan kasar pada bagian atas hoodie Byan sukses membuat cengkramannya terlepas.

“Lo siapa!? Ngapain!? Dateng-dateng gituin Abang gue. Ada masalah apa lo?”

Ya, itu suara Gaby. Perempuan berwatak keras dari keluarga Meilleur.

Byan menyeringai. “Gaby ya? Adik dari laki-laki pengecut ini?”

plak. Tamparan dari Gaby mendarat mulus di pipi kiri Byan. Amara yang sedari tadi diam, mulai bergerak mendekat untuk menahan emosi anak bungsunya.

“Jaga omongan lo!” seru Gaby tepat di depan wajah Byan.

Byan tidak marah ataupun kaget. Yang ia lakukan malah sebaliknya. Ia menyeringai remeh.

“Lo Meilleur Gaby. Perempuan yang harus nerima teror berkali-kali karena tingkah Abang lo. Tapi, gue yakin lo nggak tau kenapa lo harus nerima teror itu, ya, kan? Abang lo yang pengecut ini pasti nggak berani bilang alasannya, kan?”

Kalimat Byan berhenti bersamaan dengan suara ranjang yang bergeser. Cade berdiri memapah tubuhnya yang masih lemas untuk menghadapi Byan di depannya.

”It’s not your business. Keluar. Kalau lo ke sini cuma mau ngamuk, better not now. Jangan melewati batas, Anahtar Byan.” Cade memberi tatapan nyalang untuk Byan. Lengannya digenggam erat oleh Gaby karena tubuhnya yang terasa bisa ambruk kapan saja.

“Kenapa? Lo takut keluarga lo yang sayang sama lo ini tau kebusukan apa yang lo buat dulu? Lo takut dua perempuan kesayangan lo ini kecewa persis kayak yang Keyra rasain dulu? Lo pengecut, Cade. Lo nggak berubah.”

Amara menatap Byan penuh selidik saat nama menantu kesayangannya dilontarkan. Begitu juga Gaby. Keduanya terheran, siapa sebenarnya laki-laki bernama Byan ini?

“Keluar, Anahtar Byan. Nggak sekarang.”

Muak dengan ucapan Cade yang tidak berubah, Byan membuang kasar napasnya dan berniat keluar dari ruangan penuh rahasia ini. Tapi, langkahnya terhenti karena uluran tangan seseorang menghalangi jalannya.

“Ada apa sama Kak Keyra? Apa teror gue ada sangkut pautnya sama Kak Keyra? Kenapa lo muncul sekarang? Lo siapa?”

Gaby memberanikan diri untuk mencari jawaban dari rasa penasarannya selama ini. Jika Cade selalu menunda untuk memberi tahu alasannya, maka ia harus mengejar sumber lain yang mengetahui hal ini.

“Pelaku teror lo adalah orang tua dari mantan pacar Abang lo. Dia terobsesi sama Abang lo.”

Satu fakta mengejutkan itu membuat tangan Gaby yang terulur tadi kembali ke tempatnya. Ia tahu persis bahwa hanya ada satu nama yang pernah menjadi kekasih Abangnya. Yura.

Byan menatap kedua netra Cade dengan tajam. Ia tidak takut meski ia tahu saat ini Cade sedang menahan amarahnya yang sudah memuncak.

“Abang lo lebih memilih mantan pacarnya dibanding istrinya sendiri, Keyra. Abang lo pengecut. Abang lo brengsek. Dia terus-terusan nyakitin Keyra bahkan sampai kecelakaan besar menimpa Keyra 4 tahun lalu.”

Byan dapat menangkap dengan jelas kedua tangan Amara mulai mengepal keras di sisi tubuhnya.

Byan berdiri mendekat ke hadapan Cade. Jarinya kembali mencengkram kerah baju Cade.

“Dan kecelakaan tadi juga disebabkan oleh orang yang sama seperti teror lo. Abang lo tau semuanya. Tapi, coba lo liat. He does nothing. Dia malah enak-enakan makan apel disaat dia tau dengan jelas lo dan Keyra dalam bahaya. Brengsek.”

Byan tidak lagi menahan emosinya untuk memukul keras pelipis Cade. Gaby dan Amara bahkan tidak bisa menahan gerakan Byan yang cepat.

“Emang bener ya apa yang orang bilang. Cowok sekali brengsek bakal terus brengsek. Gue bisa urus orang itu tanpa lo, Cade. Gue yang akan memenjarakan dia dengan tangan gue sendiri.”

Byan melangkahkan kakinya menjauh dari tubuh Cade yang sudah tersengkur di atas ranjangnya. Sudah cukup. Ia tidak perlu menghabiskan waktunya untuk mengurus keluarga ini.

Namun, sebuah pertanyaan yang dilontarkan Amara membuatnya menahan gerakan kakinya. “Dari mana kamu tau semua itu? Dan untuk apa kamu sepeduli ini dengan Keyra yang sudah lama meninggal?”

Byan tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaan itu. “Semua tentang Cade, Yura dan Keyra sudah saya selidiki tanpa meninggalkan jejak sedikit pun sejak 4 tahun lalu. Sejak saya membawa tubuh ringkih dan penuh darah Keyra ke rumah sakit. Sejak nama saya adalah nama pertama yang keluar dari bibir Keyra setelah ia koma selama hampir 2 bulan di Paris.”

“Dan Anda bertanya siapa saya? Saya Anahtar Byan. CEO Anahtar inc. yang sedang memiliki projek besar dengan perusahaan Meilleur Anda. Kenapa saya sepeduli ini? Karena ini kali kedua anak Anda menyebkan gadis yang saya cintai terbaring di ranjang pasien.”

Melihat raut kebingungan yang semakin jelas di wajah Amara dan Gaby membuat Byan paham, bahwa Cade tidak menceritakan apa pun sejak ia sadarkan diri tadi. Lagi-lagi Byan tersenyum remeh.

“Karena anak lelaki Anda mungkin tidak memiliki nyali untuk memberi tahu Anda, maka biar saya yang memberi tahu …

Anak anda mengalami kecelakaan bersama perempuan yang saya cintai. Keyra.”

“Keyra masih hidup. Dan anak Anda hampir membuat dia kehilangan nyawanya untuk kali kedua.”

Terdengar suara barang pecah setelah Byan melangkah untuk keluar pintu. Tubuh Amara yang bergetar secara tidak sengaja menjatuhkan vas bunga di nakas rumah sakit.

Ini terlalu tiba-tiba. Fakta jika orang tua Yura adalah pelaku teror dan kecelakaan ini sangat membuatnya terkejut. Terlebih ketika akalnya mulai mencerna kalimat terakhir Byan mengenai Keyra, air mata Amara mulai mengalir membasahi pipinya.

“Keyra masih hidup.”

-ayya.

Cade melangkah terburu untuk memasuki pintu lift yang kebetulan sedang terbuka. Napasnya terengah karena ia berlari dari parkiran sampai ke dalam apartemen ini. Seharusnya ia sudah tiba di sini sejak 1 jam lalu, namun Angga dan Deefan menahannya pergi agar Cade makan siang terlebih dahulu di kantor.

Pikirannya tidak bisa menebak apa yang dilakukan orang jahat itu di apartemen Keyza. Ia tidak bisa lagi menahan amarahnya jika Keyza benar-benar diganggu seperti Gaby.

Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu unit 323 yang sedikit terbuka. Tidak ada kerusakan di depan. Hal itu sedikit membuat Cade mengernyit heran. Terlihat tidak ada masalah dari luar.

Namun semua rasa herannya terjawab ketika ia masuk ke dalam apartemen Keyza dan melihat keadaan di sana.

Kacau. Hanya kata itu yang mewakilkan pemandangan yang disajikan di hadapannya saat ini.

Hampir semua perabotan di dalam apartemen ini rusak. Layar televisi, jendela, beberapa rak kaca di dapur dan ruang tengah pecah tidak berbentuk. Banyak air yang sengaja ditumpahkan di karpet dan sofa tengah.

Cade belum menyelesaikan rasa terkejutnya ketika ia membuka pintu kamar Keyza. Ranjang dan kasur yang sangat berantakan, pakaian di lemari tinggi Keyza yang berhamburan keluar, pintu kamar mandi Keyza yang rusak, dan hal lainnya. Cade menggeram marah. Tangannya mengepal kencang. Bagaimana bisa ia membiarkan ini terjadi pada Keyza bahkan ketika ia dengan pasti mengetahui siapa pelaku dari kekecauan ini. Pelaku yang sama dengan teror yang menimpa Gaby.

Hal yang ia takuti selama ini akhirnya terjadi. Orang itu mulai menyentuh Keyra-nya. Cade sudah berada di puncak amarahnya. Tangannya bergerak mengambil vas bunga putih di samping televisi untuk melampiaskan rasa emosi yang bergemuruh di dada. Namun, sebelum tangannya melempar vas itu, sebuah cekalan di pergelangan tangannya menghentikan gerakannya.

“Vas bunga kesayangan Keyza. Jangan lo rusak.” Pemilik suara tegas namun terdengar lebih santai dari Cade itu dengan cepat mengambil vas bunga dan meletakkannya di salah satu koper yang terbuka.

“Sejak kapan lo di sini?” tanya Cade. Netranya membuntuti gerakan lelaki yang tiba-tiba hadir di dalam apartemen ini. Ia duduk di pinggir sofa dan memandang Cade dengan tatapan yang tidak bisa ditebak.

“Jam satu.”

“Ngapain?” tanya Cade lagi. Tangannya melipat silang di dadanya tanpa berniat untuk duduk bersama lelaki di depannya.

“Beresin kekacauan ini lah. Ngapain lagi?” Matanya melirik menuju dua koper besar yang terbuka di depannya. “Oh, sekalian packing keperluan Keyza.”

“Dia mau kemana?”

“Lo pikir gue bisa biarin dia tetep di sini sementara musuh lo udah tau Keyza tinggal sendiri di alamat ini?” Intonasi yang sebelumnya terdengae santai berubah menjadi sinis.

“Lo selidikin gue sejauh apa, Byan?” Lagi dan lagi, Cade hanya bisa bertanya di depan Byan yang saat ini mulai menatap tepat di wajahnya.

“Jauh. Lo bakal kaget kalau tau.” Senyum sarkah terbit di bibir Byan sebelum melanjutkan kalimatnya. ”I’ve never told Keyza about you or your past. So, don’t worry too much. Muka lo keliatan kaget banget pas gue ngomong tentang musuh lo.” ujar Byan santai.

Lelaki itu tidak ingin memancing keributan apa pun dengan Cade. Ia juga tidak ingin jika suatu saat Cade memberi bom balas dendam kepada dirinya.

Cade menanggapi perkataan Byan dengan senyum remeh. “Lo kasih tau dia juga gue nggak masalah.”

”And let her know about you, her, and Yura in the past? Sorry, tapi gue nggak akan pernah jadi penyebab dia sedih. I’m not you, Cade.” Byan bergerak untuk berdiri. Tangannya dengan cekatan menutup dua koper besar itu dan bersiap untuk pergi dari tempat ini.

“Keyra nggak akan suka sama lo.”

Satu kalimat dingin dari Cade berhasil membuat gerakan tangan Byan di koper itu terhenti. Jarak berdiri mereka memang tidak dekat, tapi Cade dapat menangkap ekspresi tidak suka di wajah Byan.

“Keyza nggak akan maafin lo. She is not Keyra anymore, Cade. She is Keyza. The strongest woman that i ever seen. I tell you.”

Byan melangkahkan kakinya menuju pintu. “Cukup sekali Keyza diginiin. Gue tau ini kerjaan musuh lo dan itu harus lo yang nyelesain. But i warn you, kalau sampe sekali lagi Keyza jadi target musuh lo, lo abis sama gue, Cade.”

Sebelum langkah Byan melewati Cade, tangan Cade mencekal lengan Byan untuk mendengar perkataannya.

“Lo harus bermain fair, Yan. Be gentle. Lo nggak perlu ceritain ke Keyra tentang masa lalu dia sama gue. I can make her falling love to me everytime i want.”

Byan tersenyum dengan sudut bibirnya yang terangkat. ”Your ass.” Lalu ia tertawa remeh dan berjalan santai meninggalkan Cade di ruangan kacau itu.

Tepat saat Byan membuka pintu, beberapa cleaning service dan polisi datang berhadapan dengannya.

“Tolong bersihkan apartemen ini. Beli semua peralatan rumah yang rusak. Tidak perlu cari pelakunya. Karena itu sudah menjadi tugas seseorang di dalam.” ujar Byan dengan tatapan menuju ke arah Cade yang masih diam bergeming.

”Good luck, Man.”

-Ayya.