101. mama … dan dia

Pintu penumpang di mobil mewah itu terbuka begitu saja dari luar sebelum jari Keyza menyentuhnya.

Dan pelakunya masih sama selama 3 tahun belakangan ini. Laki-laki berparas dingin yang hampir memiliki komposisi fitur wajah yang sempurna. Itu bossnya, Anahtar Byan.

“Kebiasaan yang nggak diubah.” Keyza menyelempangkan tas kecilnya di pinggang sebelah kanannya. “Padahal sekarang posisinya aku itu bawahan kamu di kantor, Bi.”

“Kamu ngaku sebagai bawahan tapi manggil aku cuma nama? Nggak pake basa-basi sir?” Byan tertawa sambil berpindah posisi menuju samping Keyza. Tangannya sudah bersanggar di pinggang kecil wanita ini untuk menjaganya dari dorongan segerombolan manusia di mall ini. Keduanya berjalan beriringan menuju tempat makan yang sudah ditentukan.

Keyza membalas pertanyaan Byan dengan tertawa kecil seperti yang biasa ia lakukan. “Aku deg-degan mau ketemu Mama. Aneh, ya?”

“Nggak aneh, sih. Kan, udah lama juga sejak terakhir Mama ke Paris.”

Keyza mengangguk-angguk. Berusaha meredakan rasa gugup yang masih menyerangnya. Sebenarnya, bertemu Mamanya kembali bukan menjadi satu-satunya alasan kenapa Keyza bisa segugup ini.

Tapi, karena Byan bilang, Mamanya membawa seseorang yang sangat merindukan dirinya bertahun-tahun. Tentu hal itu berhasil membuat Keyza menerka-nerka, menebak siapa sosok itu.

Tuhan memberikan jawabannya segera setelah netra Keyza berhasil menangkap lambaian tangan dari Mamanya yang sedang duduk berdampingan dengan seorang lelaki. Keyza yakini lelaki itu berusia lebih muda darinya.

Dan, Keyza merasakan perasaan itu lagi. Rasa nyaman, hangat. Rasa rumah. Rumah yang sebenarnya ia cari beberapa tahun belakangan ini.

“Key, apa kabar, Nak? Oh iya, ini Rey. Adik kamu.”

Keduanya terdiam. Keyza dan laki-laki-laki bernama Rey itu saling melempar tatap satu sama lain untuk sekedar meyakinkan diri sendiri, apa ini nyata?

Tangan Keyza meremas ujung baju Byan yang dapat ia gapai. Kepalanya mulai sedikit pusing. Menyadari hal itu, Byan menarik tangan Keyza untuk ia genggam. Lalu sedikit memajukan diri untuk berbisik di telinga wanita ini, “Nggak apa-apa. Rey beneran adik kamu. Kamu punya keluarga utuh, Key. Take a deep breath.

Keyza melakukan apa yang Byan katakan. Secara reflek tubuhnya berusaha menormalkan detak jantungnya yang memburu.

Lalu Rey berjalan mendekat. Menatap lembut dua mata berwarna coklat yang Keyza miliki. Tatapannya berubah menjadi haru sesaat. Sementara netra Keyza melirik Mama Santika mencari jawaban tentang keraguannya.

Sedetik setelah Mama Santika menggerakkan bibirnya untuk meyakini Keyza. “Iya, Key. Dia adik kamu, adik kandung kamu.”

Mendengar itu tentu membuat jantungnya berdegup lebih cepat. Keyza menarik lengan Rey dan memeluknya erat.

Oh ya Tuhan, rasanya aman. Pelukannya nyaman, persis kayak Byan.

Tangisannya pecah. Ia sangat merindukan rasa ini. Adik laki-lakinya memeluknya tak kalah erat. Dagunya ia letakkan di atas pucuk rambut Keyza yang memiliki proporsi tubuh lebih rendah darinya.

“Kak, demi Tuhan, aku kangen banget. Kalau ini mimpi, aku nggak punya niat untuk bangun.”

“Kakak beneran punya kamu, ya? Makasih udah jagain Mama Papa.”

Rey, laki-laki berhati kebal itu menangis tersedu di depan Mama Santika untuk kedua kalinya.

Tentu saja yang pertama kalinya itu, saat Rey melihat dengan jelas tubuh kaku kakaknya yang sudah di dalam peti mati dikembalikan ke perut bumi empat tahun lalu.


“Terus Kakak selama ini di Paris ngapain aja? Sama Kak Byan?” Rey sibuk berbicara dan bertanya ini itu ketika jari-jarinya tetap fokus memotong setiap menu makanan yang sudah tersedia di meja mereka. Meja nomor 13.

“Kerja, Rey. Aku juga belajar banyak hal baru yang aku rasa, dulu belum pernah aku pelajari.”

“Hmm gitu …”

“Eh tapi bentar deh, bentar.”

Laki-laki berusia 22 tahun itu menolehkan separuh badannya menghadap Mamanya. Wajahnya mengekspresikan tanda tanya yang begitu kentara.

“Dia tinggal satu apartement sama laki-laki dewasa selama 4 tahun? Are you serious, Ma?”.

Mendengar pertanyaan yang penuh intonasi khawatir itu, Mama Santika melebarkan senyumnya. “Kalau kamu khawatir, pengen tau sesuatu, tanya langsung sama Kakakmu. Masa masih gengsi juga?”

Keyza mulai menangkap maksud dari pertanyaan Rey ketika dengan mudahnya Byan hanya menatap dirinya sambil menaikkan alisnya, bermaksud menggoda.

Ia mengambil nafas dalam sebelum menjawab pertanyaan Rey tadi.

“Nggak gitu, Rey. Di sana, kan, nggak mempermasalahkan dua orang dewasa tinggal dalam satu rumah atau apartement. Lagian empat tahun aku sama cowok genit ini, aku nggak pernah ngapa-ngapain kok.” jelas Keyza dengan senyum yang ia tampilkan untuk meyakinkan adiknya.

“Paling pelukan aja sih, Rey.”

Senyum manis yang Keyza berikan tadi sekejap terganti dengan tatapan sinis menghadap Byan. Laki-laki ini memang mempunyai hobi meledek dirinya.

Rey sedikit terkejut. Lalu kemudian ia bertanya heran. “Pelukan? Dih lu … Terus, Kak Cade—“

Kalimat Rey terputus begitu saja karena suapan yang tiba-tiba diberikan oleh Mama Santika. Tawa yang sejak tadi terukir di wajah Mama Santika seketika menghilang.

Keyza menyeletuk tanpa merasa ada hal yang ganjal di sini. “Cade? Cade siapa? Namanya sama persis sama kolega kerja aku di kantor deh. Iya, kan, Bi?”

Perempuan itu dengan santai memasukkan potongan cupcake ke bibir mungilnya sementara Byan tertawa renyah sebelum merespon pertanyaan itu.

“Iya. Namanya Cade juga. Perusahaan aku bekerja sama dengan perusahaan Meilleur, Tante. Nama direkturnya Cade.”

Dapat Byan lihat dengan jelas Mama Santika dan Rey bergerak gugup untuk membenarkan posisi duduk dan makanan mereka. Keduanya mengambil sikap acuh.

“Key … Setelah projek kerja ini, kamu menetap di Indonesia atau kembali ke Paris?” tanya Mama Santika lembut.

“Aku pengennya stay di sini sama Mama, Papa, juga Rey. Tapi, nggak tau deh, hehe. Balik lagi keputusan di bos aku.” Keyza menjawab dengan tawa riang yang ia miliki. Mengedipkan sebelah matanya kepada Byan, laki-laki yang sedang memakan pasta dengan tenang.

“Aku rasa, perusahaan di Paris masih membutuhkan wanita cerdas kayak Keyza, Tan.”

-ayya