34. just, why?
Ribuan tetes embun masih setia menghiasi dedaunan dan beberapa jendela rumah penduduk di daerah ini. Matahari sudah mulai menyapa pijakan sementara para manusia di bumi. Burung-burung kecil mulai bermain bersama sembari mencari sarapan mereka di sekitar rumah ini.
Cade memberhentikan langkah kakinya setelah memastikan pintu mobil yang ia kendarai terkunci. Kepalanya mengadah ke atas, menuju salah satu jendela coklat yang sedikit terbuka.
Ah, sudah lama ya ...
Rumah ini masih terlihat sama, namun sedikit terasa berbeda. Rumah yang terlihat amat sangat damai dan sejuk kini terasa mulai hampa.
Rumahnya, tempat ia dan Gaby dibesarkan. Tempat keluarga kecilnya dulu berbagi tawa dan kasih. Tempat pertama kali ia berdiri diam untuk memperhatikan gadis kecil yang terluka di depan rumahnya dulu.
Iya, rumah ini. Tempat pertama ia menemukan cinta pertama dan terakhirnya. Bunda, dan Keyra.
Cade melangkahkan kakinya tak sabaran begitu teringat ada sosok gadis cantik yang menunggu pelukannya. Ia melangkah cepat bahkan mengabaikan sebuah sapa yang mengalun hangat di telinganya.
“Cade? Sudah datang ya.”
Suara bundanya. Tapi Cade abaikan karena tujuannya saat ini hanya satu, menenangkan adik kesayangannya. Kakinya melangkah cepat dan pasti menuju lantai dua rumah ini. Menuju kamar yang memiliki jendela coklat yang terbuka.
Tok ... tok ... tok ...
“Gaby, ini abang.”
Tidak perlu menunggu waktu lama, suara kunci yang diputar menyadarkan Cade untuk segera masuk ke dalam.
Kakinya berhenti ketika netranya menemukan sosok gadis yang ia tuju. Cade terdiam tepat di depan kaki adiknya yang menjulur ke bawah sementar tubuhnya duduk di sisi ranjang.
“Aku emang ketakutan, tapi aku bukan anak kecil yang harus kamu khawatirin segitunya, bang.”
Gadis itu tersenyum meski tangan kecilnya tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Wajahnya berusaha terlihat baik-baik saja walau nyatanya tidak.
Sayangnya, Cade kelewat paham akan itu semua.
Laki-laki tinggi itu mendekat dan berdiri di atas lututnya sendiri untuk mensejajarkan wajahnya dengan adik perempuannya ini.
Nafasnya masih terengah namun raut wajahnya sudah tidak setegang sebelumnya. Laki-laki itu tidak mengatakan apapun selain tangannya yang menarik kepala Gaby untuk ia letakkan di pundaknya.
Rengkuhan hangat dari seorang abang mampu melunakkan besi yang sudah Gaby pastikan kuat sejak tadi. Usapan lembut di punggungnya sukses membuat air matanya yang ia tahan akhirnya luruh.
Gaby selalu kalah di depan Cade. Gaby selalu tidak bisa sembunyi jika Cade yang mencarinya.
Cade hanya terdiam bisu. Hatinya sangat perih. Tangan kanannya mengelus punggung kecil itu, sementara tangan kirinya mengepal kencang, menahan emosi.
Cade tahu siapa pelakunya. Pengirim paket terror berisi bangkai hewan lengkap dengan benda tajam sudah dua kali diterima Gaby dalam dua bulan ini.
Cade tahu dan dia belum bisa memutuskan meski ia tahu bagaimana terror ini berhenti.
“Gaby. Dengerin abang. Kali ini, tolong lakuin apa yang abang bilang.”
Gadis dipelukannya bergerak mundur untuk menghapus air matanya yang mulai habis dan mengangguk kecil.
“Jangan pernah terima paket apapun sebelum Pak Adi memastikan isinya aman. Jangan keluar rumah sendirian. Jangan angkat telfon dari nomor yang enggak dikenal. Tolong, dilakuin.”
Lagi, Gaby mengangguk patuh. Gadis itu sudah 22 tahun, tapi bukan berati dia bisa menjadi wonder woman yang mampu menjaga dirinya sendiri.
“Bang, kalau Gaby pergi sama Rey, boleh? Abang nggak papa?”
Cade terdiam. Menatap mata gadis di depannya bergantian dengan wanita paruh baya yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya, Bunda.
“Ya enggak papa. Dia ipar kamu. Dia temen kamu. Dia adiknya Keyra. Abang percaya.”
Gaby mulai memperlihatkan senyum tulus yang sejak tadi senbunyi. “Abang tenang aja. Aku kuat kok. Aku nggak takut. Dan … hubungan aku sama Rey deket sebagai saudara. Abang nggak perlu khawatir. Mau gimanapun, kak Keyra sama Rey, kan, bagian keluarga kita.”
Sangat mirip dengan kejadian saat pertama kali Gaby menerima paket itu. Gaby tidak pernah bertanya terus terang apa sebenarnya alasan di balik terror yang ia terima. Gaby tidak pernah memaksa Cade afau Bunda cerita. Karena ketika melihat raut khawatir dan marah di wajah Cade, ia yakin abangnya itu akan berusaha menangkap pelakunya apapun yang terjadi.
“Kalau Gaby ngga boleh tau, kamu cerita sama bunda. Sebenarnya ada apa? Kenapa?” tanya Bunda sedetik setelah Cade meletakkan cangkir tehnya di meja.
Sarapan sudah selesai dan Gaby sudah kembali ke kamarnya dengan perasaan yang sudah lebih baik. Memperhatikan gerak anak sulungnya yang sedari tadi tampak terus berpikir, Bunda memutuskan untuk bertanya.
Cade masih diam hanya untuk mengulur waktu, ia tidak memiliki niat memberi tahu alasannya sedikitpun.
Gue enggak mau Bunda terlibat.
“Cade.” Suara yang keluar dari bibir Bundanya terdengar lebih tegas dari sebelumnya. Cade akhirnya menoleh penuh.
“Apa ini ada kaitannya dengan Keyra?”
Cade menggeleng kecil mendengar pertanyaan itu, “atau ada kaitannya dengan Yura? Bunda perhatikan satu tahun belakangan ini kamu sudah jarang bertemu dia. Gaby bilang beberapa hari kemarin Yura ke sini, tapi selalu setiap Bunda sedang tidak di rumah. Ada apa?”
Bundanya sedang khawatir dan Cade sangat tahu itu. Kepribadian mereka yang hampir sama memang sedikit membantu Cade untuk mengetahui apa yang sebenarnya Bundanya rasakan di balik wajah dingin yang selalu ia tampakkan.
Belum sempat Cade membuka bibirnya untuk menjawab, dering telfon genggamnya memaksa ia harus mengalihkan pandangan.
Sebuah notif whatsapp dari grup chat yang entah sejak kapan dibuat itu berhasil membuat Cade berdiri dari duduknya dan langsung bergegas memeluk Bundanya sekilas sebelum melangkah cepat menuju pintu rumah.
“Proposal aku di acc perusahaan inter, Bun. Aku pergi dulu, ya.”
Bundanya, yang bernama Amara itu tersenyum hangat setelah sempat terkejut pada awalnya.
“Sejak kamu pergi, Cade lebih gila lagi dalam bekerja, Key.”
-ayya.