479. perih
Byan bergerak cepat dari posisi diamnya di depan pintu untuk berpindah ke posisi duduk dan menarik Keyza ke dalam dekapannya. Perempuan itu tidak sekuat yang Byan pikirkan, ia hancur. Tepat di depan mata Byan.
Keyza sudah menutup buku harian bersampul cokelat yang sudah mulai kotor karena tidak terawat selama empat tahun belakangan. Keyza sudah selesai membaca semua tulisan tangannya sendiri saat identitas dirinya masih ‘Keyra’.
Matanya sudah mulai membengkak karena terlalu banyak menangis. Bahkan beberapa halaman dalam buku itu ikut berperan menjadi alas air mata yang mengalir deras. Keyza kesakitan. Sangat.
Ia memang tidak ingat tentang masa lalunya. Kepalanya pusing karena sejak awal membuka halaman pertama, ia berusaha untuk mengingat setidaknya sekilas tentang kejadian buruk itu. Tapi hasilnya nihil. Keyza tidak ingat apa pun dalam memorinya empat tahun lalu. Keyza hanya bisa merasakan di hatinya bahwa semua tulisan tangan di buku itu hadir ditemani oleh rasa sakit yang teramat menyayat hati.
Saat membaca buku itu, Keyza bahkan diam-diam meyakini dirinya sendiri bahwa itu bukan kisahnya. Itu bukan dirinya. Keyza menolak percaya bahwa ia pernah disakiti sebegitu dalamnya. Keyza menolak percaya bahwa pelaku semua itu adalah Cade. Laki-laki yang hampir mencuri hatinya, lagi. Dadanya terasa sesak, sakit, sangat sakit.
Maka, saat Byan tiba-tiba menariknya dalam sebuah dekapan, Keyza total hancur. Air matanya tidak lagi terbendung, tidak lagi memiliki batas volume untuk keluar membasahi pipinya. Tangan Byan terus-menerus mengusap lembut punggung kecil Keyza untuk membantu menenangkan emosinya. Tapi gagal.
Tangisan Keyza tidak mereda. Bahkan menjadi lebih keras. Hampir seperti erangan. Byan dapat merasakan Keyza mengenggam ujung hoodienya dengan erat. Tangan gadis itu mencengkram keras. Emosinya mengumpul di kedua telapak tangan gadis itu dan Byan sadar betapa sakitnya hati Keyza saat akhirnya mengetahui kisah masa lalunya.
Tidak ada yang bisa Byan lakukan selain terus mengeratkan pelukannya pada Keyza. Byan bisikan kalimat-kalimat secara halus di telinga gadis itu agar ia bisa lebih tenang, namun tidak ada perubahan berarti. Keyza masih menangis dengan keras.
“Key … I’m here … Kamu sama aku, Keyza. Hey, Keyza … ,” ucap Byan dengan nada yang penuh simpati. Byan mulai tidak bisa mengendalikan emosinya saat ia melihat tubuh Keyza yang sedikit bergetar.
Gadisnya hancur tepat di hadapanya. Dan penyebabnya masih orang yang sama.
Diam-diam, tangan Byan ikut mengepal. Bibirnya mengatup rapat menahan emosi di dadanya. Belum lagi rasa perih yang tiba-tiba tersalurkan dari Keyza ke hatinya.
Byan tidak sanggup untuk melihat wajah Keyza yang penuh air mata. Byan tidak sanggup untuk merasakan tubuh kecil Keyza yang bergetar, sakit. Byan sangat marah. Keyza, perempuan yang empat tahun ini Byan yakini sudah menjadi perempuan dewasa yang kuat, ternyata masih tetap merasa sesakit itu saat mengetahuinya. Bagaimana dengan Keyza empat tahun lalu?
Bagaimana Keyra menghadapi ini semua sendiri? Bagaimana Keyra mampu bertahan hidup di samping laki-laki se-brengsek orang itu? Bagaimana Keyra masih bisa berteman baik dengan perempuan tidak punya malu itu? Bagaimana bisa perempuan setulus Keyra, menyimpan semua rasa sakitnya sendiri?
Byan tidak sanggup. Matanya memerah. Dadanya ikut merasa sesak seperti yang Keyza lakukan saat ini. Menangis.
Pada akhirnya, Byan menjatuhkan kepalanya di pundak kecil Keyza. Suaranya yang ternyata mulai lirih mengisi indra pendengaran Keyza.
“Key, maaf. Maaf kamu harus tau ini semua. Maafin aku, Key. Maaf karena empat tahun lalu aku belum ketemu kamu. Maaf aku nggak ada di sana buat nemenin kamu. Maafin aku.”
“Aku nggak mau kamu begini. Aku takut, Keyza. Demi Tuhan.”
Tanpa dapat Byan tahan lagi, ia menangis. Tepat di pundak Keyza yang masih gemetar.
“Maaf. Maaf karena aku pengecut. Maaf karena dari awal aku nggak pernah berani ngasih tau ini semua ke kamu. Maaf karena aku bertingkah seakan aku nggak tau apa-apa. Maaf, Key. Aku cuma nggak mau liat kamu kayak gini. Ini pemandangan yang paling aku takutin sejak kamu ketemu dia lagi … .”
“Kamu boleh marah. Kamu boleh nangis. Tapi tolong, jangan kayak gini … Kamu harus atur emosi kamu pelan-pelan. Ayo, Key. Kamu bisa. Tolong, jangan gemeter begini. Aku takut.”
“Key … Aku sama sakitnya sama kamu. Kamu nggak sendirian, sumpah. Aku nggak akan ninggalin kamu. Keyza ataupun Keyra, aku nggak akan pergi dari kamu. Please, kamu harus tau itu. Kamu kuat. Aku tau kamu bisa lewatin ini.”
Byan mengelus rambut panjang Keyza yang tidak terurus sejak kecelakaan yang menyebabkan ia harusi dirawat di rumah sakit dua hari lalu. Keyza masih wangi, wangi seperti biasanya. Seperti rumahnya.
Mendengar suara Byan yang lirih dan beberapa kali terjeda karena lelaki itu benar menangis, Keyza bergerak untuk mengelus pelan punggung lebar Byan. Ia berikan kembali kehangatan yang Byan selalu berikan untuknya. Tubuhnya sudah mulai berhenti gemetar, meski jauh di dalam hatinya, Keyza takut.
“Key, lampiasin aja kalau mau teriak. Nggak apa-apa, Mama sama Rey di bawah. Kamu boleh nangis dan teriak sepuas kamu di sini. Aku temenin.”
Mendengar itu, Keyza mengeratkan pelukannya pada Byan. Bibirnya mendekat karena ia yakin suaranya sudah mulai habis karena terlalu banyak menangis. Ia ingin Byan mendengar semua yang ada di hatinya.
“Bi, aku … takut.”
“Aku takut. Aku nggak bisa bayangin gimana perempuan yang ada di posisi itu. And in this situation, that’s me. Itu aku empat tahun lalu … Aku sehancur itu, Bi. Aku udah hancur dari empat tahun lalu.”
Keyza terisak lagi. Ia menjeda kalimatnya untuk menarik napas. Dan secata tiba-tiba Byan mengangkat tubuhnya untuk duduk di atas kedua paha lelaki itu. Byan memangku Keyza dengan posisi saling berpelukan.
“Nggak usah malu. Lanjutin aja.” Byan menginterupsi sebelum Keyza membuka mulutnya untuk mengeluarkan protes.
“Gimana bisa, Bi? Aku sebodoh itu. Gimana bisa? Gimana bisa aku segitu pasrahnya?”
“Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang bantu mereka? Kenapa harus aku yang menikahi dia? Kenapa harus aku yang mencintai dia sebegitu besarnya?”
“Kenapa harus dia?”
Lagi, Keyza kembali menangis dengan keras. Keyza tidak pernah menyangka rasanya akan sesakit ini. Keyza tidak pernah tahu kalau ia akan menjadi korban toxic relationship. Keyza tidak pernah sakali pun berpikir ia akan bertindak senaif itu.
”You loved him that much in the past, Key. You can’t deny it. Dan perihal perasaan, nggak ada yang boleh disalahkan,” ujar Byan pelan di telinga Keyza.
Perempuan itu mengangguk lemah. ”But i’m so stupid. Why?! Why, Bi?! Kenapa harus aku!?” teriak Keyza. Emosinya sudah di tepi tebing tinggi, jadi Byan tidak mencoba menghalangi Keyza untuk meluapkan segalanya.
Keyza melepas pelukannya. Kedua mata sembabnya menatap Byan penuh luka. Lalu setelahnya, ia kembali berteriak.
“Kenapa? Kenapa harus Yura? Kenapa harus laki-laki itu? Kenapa?”
“Kenapa aku harus ketemu dia lagi? Kenapa kamu harus ajak aku ke sini buat kerja sama dengan dia, Bi?! Kenapa? Kenapa kamu malah ngebiarin dia deketin aku even though kamu tau apa yang dia lakuin dulu ke aku. Kenapa, Bi?! Kenapa aku nggak sama kamu aja di Paris?!” Pertanyaan berturut-turut dari Keyza hanya mendapat jawaban senyum tipis di bibir Byan.
Tangan Byan bergerak lagi untuk mengusap rambut Keyza dengan lembut. Lalu berbisik, “Nanti aku ceritanya ya.”
Sementara Keyza, wajahnya yang sudah basah total itu kini semakin memerah karena emosi.
“Dada aku, sakit, Bi. Hati aku, sakit. Aku bahkan nggak inget kejadian empat tahun lalu, tapi aku sesakit ini, Bi … Gimana kalau tiba-tiba Tuhan kembaliin semua memori aku besok? Gimana kalau tiba-tiba laki-laki itu muncul di hadapan aku besok, Bi? Rasanya pasti lebih dari ini, kan? Aku harus apa?”
Keyza putus asa. Byan tahu gadis itu sudah mulai lemah. Tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih dari luka lecet itu terlihat semakin pucat.
Maka, dengan cekatan Byan menggendong Keyza dengan kedua tangannya lalu membaringkan perempuan itu di kasur serba birunya.
“Terusin aja ngomongnya. Tapi tiduran. Kamu masih sakit, Key. Aku temenin.”
Mendengar kalimat aku temenin, Keyza dengan cepat menarik Byan untuk ikut membaringkan tubuhnya di sebelahnya. Lalu Keyza mendekat untuk kembali memeluk tubuh Byan. Ia letakkan kepalanya di atas dada laki-laki itu dan mulai memejamkan matanya. Kepalanya pusing. Matanya mulai perih. Ia sudah terlalu banyak menangis.
Namun, apa daya? Luka di hatinya seakan terukir lebih besar. Sakit di hatinya sangat-sangat menusuk. Walau kedua matanya terpejam, semua kalimat dalam buku harian itu terngiang mengisi pikirannya. Lalu Keyza kembali menangis.
Mendengar isakan kecil yang mulai kembali Keyza keluarkan, Byan memeluk lebih erat perempuan ini. Tangannya tidak henti-hentinya mengusap lembut punggung Keyza.
“Kamu kuat. Kamu bisa lewatin ini.”
Keyza mengangguk kecil.
Lalu mengeluarkan satu kalimat lirih yang hampir tidak bisa Byan dengar.
“Aku tetep harus selesain ini kan, Bi?”
Byan mengangguk. Keyza harus tetap kuat dan bertahan sampai semuanya tuntas.
Jauh di dalam hati Byan, ia tidak bisa lagi menolerensi laki-laki itu. Ia tidak akan pernah memaafkan siapa pun yang membuat Keyza sehancur ini. Byan tidak ingin mengingat seperti apa Keyza hari ini. Baginya, ini terlalu buruk dan menyakitkan untuk di simpan dalam memori.
Cukup. Byan sudah cukup memberikan waktu untuk Cade memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Kali ini, Byan yang akan memberhentikan Cade jika lelaki itu masih terus-menerus bersikap egois.
-ayya