525. Byan, juga Athala
Pada awalnya Keyza kira Byan akan mengajaknya ke tempat romantis dan tertutup—salahkan hati kecilnya yang berharap. Tapi ternyata ia salah besar. Byan mengajaknya untuk duduk di tepi danau yang sangat tenang.
Keyza tahu Byan membawanya ke sini untuk membantu Keyza meringankan sedikit beban di kepalanya tiga hari belakangan. Bahkan mungkin satu minggu belakanhan ini? Sejak kecelakaan, terlalu banyak fakta baru yang datang bertubi-tubi.
Maka setelah lima belas menit Keyza duduk dengan nyaman dan tenang di samping Byan, laki-laki itu akhirnya mulai membuka suaranya.
”Key … are you happy now?”
Jujur saja, Keyza sedikit tersentak mendengar pertanyaan itu yang Byan lontarkan pertama kali dari bibirnya. Tangan Byan bergerak pelan untuk menyingkirkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajah Keyza.
”Maybe yes? Or maybe not yet? I don’t know clearly. But i think it feels better inside.” jawab Keyza sambil menunjuk dadanya. Memberi tahu Byan bahwa rasa sesak di dadanya tidak lagi mendominasi.
”Good then. It’s so scared for me, Key. Looking at you with your wound. Never once did I think I could see your face when you got hurt. Cause it will would hurt me more.”
”But this week, i saw that face. And i hate it so much.”
Keyza memangku kepalanya di atas kedua lututnya yang ditaruh di depan dada. Ia berikan seluruh atensinya untuk Byan, laki-laki yang Keyza tidak tahu pasti sejak kapan, hari dan hatinya terisi semua hal tentang Byan.
Hanya satu yang Keyza belum temukan jawabannya dengan pasti. Dimana dan sejak kapan mereka berteman? Karena Byan tidak pernah menceritakan detailnya sekalipun.
“Kamu kenapa ngeliatin aku begitu? Kamu kayak lagi nungguin sesuatu?” tanya Byan ketika melihat Keyza yang sudah nyaman dengan posisinya saat ini, menghadap tubuhnya.
“Aku nungguin kamu cerita. Pasti banyak, kan, yang belum kamu ceritain ke aku? Tentang kamu. Kamu udah tau semua tentang aku loh, sekarang gantian. Ayo, Bi.”
“Kamu nggak salah? Akhir-akhir ini kamu yang lagi banyak masalah. Masa aku yang cerita?”
Keyza menggeleng cepat. “Nggak salah. Kamu udah dengerin semua cerita aku, masalah aku. Sekarang gantian. Aku mau tau semua tentang kamu.”
Byan menatap Keyza tepat pada kedua mata bulat itu. Byan sedang menimbang-nimbang dalam hati, apakah ini saat yang tepat untuk memberi tahu Keyza di mana awal pertemuan mereka?
Dan semua keraguan itu luntur begitu saja saat Byan rasakan tangannya di sentuh pelan oleh Keyza. Keyza tersenyum dengan tatap yang tidak lepas dari Byan.
“Nggak usah ragu. Aku nggak akan kemana-mana.”
Maka keberanian Byan seketika menguar. Byan mengambil posisi nyaman untuk berbicara serius dengan Keyza di sore hari yang penuh angin ini.
“Tolong, jangan tinggalin aku abis ini ya? Tolong jangan salahin diri kamu sendiri.”
Mendengar itu, Keyza mengangguk patuh. Bahkan senyum di bibirnya masih terukis indah.
Byan mengambil napas panjangnya sebelum mulai bercerita.
“Aku ketemu kamu pertama kali itu … baru empat tahun lalu. Kita pertama kali ketemu di pinggir jalan. Waktu kamu kecelakaan. Waktu kamu berlumuran darah.”
Keyza secara spontan mengigit bibirnya. Tubuhnya bahkan langsung duduk dengan tegap.
“Kamu … yang nyelamatin aku?”
Tanpa Keyza sangka sebelumnya, Byan mengangguk. Sementara Keyza menutup mulutnya tak percaya. Apa takdir hidupnya benar-benar se-kebetulan ini?
“Aku yang bawa kamu dari tempat kejadian ke rumah sakit. Aku juga yang tanda tangan operasi pertama kamu sebagai wali kamu. Padahal waktu itu, aku bahkan nggak kenal kamu.”
“Mama Papa kamu dateng nggak lama setelah kamu masuk ruang operasi. Mereka hancur. Mereka ketakutan. Mama bahkan pingsan, Key.”
“Selama kamu dioperasi, orang tua kamu dan aku diskusi mendadak. Mama kamu minta aku bawa kamu berobat ke luar negeri. Sementara Papa kamu, ternyata kenal baik sama Papa aku. So, with all Papa’s powers, aku berangkat pagi setelah kamu selesai operasi. Aku bawa kamu ke Paris untuk berobat. Dan kamu berhasil selamat. Sementara orang tua kamu yang mengurus semuanya di Indonesia. Orang tua kamu juga yang minta aku untuk ganti identitas kamu. Semua orang di masa lalu kamu, nggak perlu tau kalau kamu selamat. Mama kamu ngelakuin itu karena nggak mau kamu terluka lagi.”
Keyza menghapus air mata yang tiba-tiba sudah menumpuk di ujung matanya. Ia tidak boleh menangis.
“Kenapa kamu setuju bawa aku? Kamu bilang, kamu nggak kenal aku waktu itu, kan?”
Byan lagi-lagi menatap dalam kedua mata Keyza. “Karena kamu Keyra Desmarani.”
Keyza tertegun sebentar. Ia terdiam karena tidak dapat menangkap maksud dari Byan kali ini.
“Karena kamu Keyra. Keyra yang bantu Athala bertahan hidup. Kamu Keyra yang ada di sisi Athala saat dia ngerasa sendiri dan kesepian. Kamu, semangat hidupnya Athala. Jadi, aku merasa, aku harus bantu kamu untuk tetap hidup.”
Hening tercipta cukup lama setelah kalimat Byan terlontar. Keyza menutup mulutnya yang lagi-lagi terbuka karena rasa terkejutnya. Dan Byan, laki-laki itu mulai terlihat sendu. Ada rasa sakit yang kentara di kedua mata coklatnya. Keyza tahu itu.
“Athala itu, adik aku, Key.”
Lolos sudah air mata yang sedari tadi Keyza tahan. Pipinya mulai basah. Karena semakin tangannya menghapus jejak air mata itu, semakin banyak ia turun membasahi.
Ia tidak menyangka bahwa laki-laki yang sering diceritakan Athala pada Keyra dulu, adalah Byan. Laki-laki yang menyelamatkan hidupnya dari ajal. Laki-laki yang bahkan menjaganya selama empat tahun tanpa pamrih.
“Bi, Athala sekarang dimana? Aku mau ketemu. Dia sekarang dua puluh tahun ya? Kuliah nggak?”
Ada sekitar tiga pertanyaan yang Keyza lontarkan dengan tangannya yang masih sibuk menghapus jejak air matanya.
Selama itu pula, Byan hanya diam memandang hamparan rumput hijau dan langit biru yang dipenuhi gumpalan kapas.
Satu menit … dua menit. Bahkan setelah Keyza berhasil menghentikan tangisnya, Byan masih diam. Kedua tangan lelaki itu tergeletak lemah di atas kedua lututnya yang diangkat.
Melihat Byan yang hanya diam, Keyza mendekatkan diri. Dan samar-samar Keyza dapati napas Byan mulai memberat. Laki-laki ini terluka. Ada rasa sakit yang belum Keyza tahu.
“Athala … udah di surga, Key. Athala meninggal.”
“Hah? Kapan? Dimana?”
“Empat tahun lalu. Athala meninggal waktu aku bawa kamu ke ruang operasi.”
Keyza belum memberi respon apa pun selain memeluk pundak kanan Byan. Ia tahu masih ada kalimat lain yang akan Byan katakan.
“Athala yang nyelamatin kamu. Bukan aku. Malam itu, waktu mobil kamu terbalik, aku lagi kejar Athala yang lari dari panti karena dia bilang dia mau kuliah di kampus kamu dulu dan aku nggak kasih izin. Larinya tiba-tiba berhenti waktu dia liat mobil kamu dalam posisi terbalik dan ada percikan api di bagian belakang.”
“Athala tanpa pikir panjang langsung narik tubuh kamu untuk keluar dari mobil. Tapi setelah itu, piyama yang dia pake malem itu, kesangkut di pintu mobil. Dan di ledakan kedua, kamu kelempar ke trotoar sedangkan Athala … dia nggak selamat.”
“Itu semua terjadi di depan mata kepala aku sendiri. Begitu cepat, Key … Aku nggak bisa nyelamatin Athala, tapi aku bisa nyelamatin kamu. Athala lakuin itu karena mau kamu selamat, jadi dengan pikiran aku yang udah kalut, aku langsung gendong kamu dan bawa kamu ke rumah sakit dengan mobil aku sendiri.”
Keyza terduduk lemah. Lengan yang sebelumnya melingkari pundak Byan perlahan terlepas. Tatapan matanya tiba-tiba kosong. Tidak ada suara tangis. Dan hal itu yang membuat Byan merasa khawatir melihat Keyza saat ini.
Tangan Byan dengan cepat memegang kedua pundak Keyza.
“Key, liat aku … Kamu nggak salah. Kamu nggak melakukan kesalahan apa pun. Dan aku nggak nyesel lakuin itu empat tahun lalu.”
Sorot khawatir terlihat jelas di kedua mata Byan. Ia takut Keyza akan marah pada dirinya sendiri. Ia takut Keyza akan pergi dengan rasa bersalahnya.
”Key, please, answer me. Kamu nggak salah, Sayang. Please … Aku nggak menyesali apa pun. Athala nggak akan marah. Athala pasti bahagia karena abangnya sekarang bisa bikin kamu senyum dan ketawa … Keyra, please … .”
Seperkian detik kemudian, Keyra menggerakkan matanya untuk menatap Byan kembali. Ia satu kan kedua tangan hangat Byan dengan miliknya yang sedikit bergetar.
“Bi … Tapi Athala … gara-gara aku.”
”No, no, please. I beg you. Not your fault. Athala juga pasti pengen kamu selamat malem itu, Key. Bukan gara-gara kamu.”
Indra pendengaran Keyza menangkap semua ucapan Byan dengan baik. Maka setelahnya, tangis Keyza pecah. Ie menangis tersedu-sedu di dalam dekapan Byan. Ralat, keduanya menangis.
“Keyza, dengerin aku. Aku nggak pernah merasa nyesel karena udah bawa kamu ke rumah sakit malem itu. Awalnya iya, aku marah. Aku mau langsung pergi setelah kamu masuk IGD. Tapi, waktu suster cek dompet kamu dan liat kartu identitas kamu, aku berubah pikiran. Aku tau Keyra Desmarani karena beberapa kali aku liat Athala nulis nama kamu. Athala juga pernah cerita tentang kamu yang selalu ngajak dia main. Aku yakin Athala juga setuju dengan pilihan aku.”
“Dan alesan kenapa aku mau bawa kamu ke Paris, itu karena Mama Santika kasih tunjuk aku buku harian kamu. Buku harian kamu yang menemani aku setiap hari di rumah sakit. Selama kamu koma, buku harian kamu yang selalu aku baca. Dan anehnya, sebanyak apa pun aku baca itu, rasa sakit tulisan kamu tetap membekas di aku, Key.”
“Karena buku itu juga, keputusan aku bulat. Aku mau jaga kamu dari laki-laki bernama Cade, dari perempuan bernama Yura. Aku mau jaga kamu, kayak kamu jaga Athala setiap aku nggak ada di sana untuk dia.”
“Nggak ada yang perlu disesali, Sayang. Aku sama kamu dipertemukan Tuhan memang dengan cara seperti ini. Nggak bisa protes. Ini pasti jalan terbaik yang Tuhan rencanakan untuk aku sama kamu.”
Keyza mengeratkan pelukannya pada tubuh Byan. Matanya memejam, ia ingin Byan membagi semua lukanya pada Keyza. Keyza ingin Byan tidak menyimpan semua rasa sakitnya sendirian lagi.
“Aku di sini. Nggak mau kemana-mana.” lirih Keyza masih dengan sisa-sisa tangisnya. Byan tersenyum kecil sembari mengelus lembut punggung sempit Keyza.
“Bi, jenguk Athala yuk? Aku mau kasih salam.”
Byan mengangguk mendengar ajakan Keyza.
“Makasih ya, Bi. Untuk semuanya. Makasih karena jadi penyelamat aku, di mana pun, kapan pun. Makasih karena nggak ninggalin aku sendiri. I’m so grateful to having you. Dan maaf. Maaf karena Athala. Maaf karena Athala nggak bisa di sini lagi. Maafin aku, Bi … .”
-ayya.