ayya.

Dua puluh menit berlalu dan Kak Rahmi belum juga kembali menemani Hanna di ruangan ini.

Sebetulnya Hanna dapat mengerti jika Kak Rahmi mungkin merasa tak nyaman berada di dalam sini. Dengan kondisi barang-barang besar milik divisi perlengkapak dan peralatan yang Hanna sendiri pun tidak tahu jenisnya itu terletak memenuhi setiap sudut ruangan. Ditambah lagi, hanya ada dua kipas angin dalam ruangan ini, semakin membuat suasananya jauh dari kata nyaman.

“Ini kalau nggak disogok Sushi Go, gue udah kabur juga dah,” keluh Hanna. Tangannya dengan cepat melepas jas almamater yang dikenakannya sejak pagi tadi.

Beruntung hari ini Hanna memakai kemeja berlengan pendek dan rok di atas lutut, sehingga angin dari kipas dapat menyapa kulitnya secara langsung.

Hanna sedang sibuk membaca timeline di akun Twitter sampai telinganya menangkap suara pembawa acara yang mengundang sahutan para mahasiswa.

“Adakah yang bisa menebak, setelah ini siapa yang akan memberikan sedikit inspirasi mahasiswa baru sebagai penutup kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru Universitas Central Jakarta hari ini? Clue-nya adalah seorang mahasiswa teladan dari fakultas hukum nih.”

Dari pintu kecil yang terbuka di sudut ruangan, Hanna dapat melihat sosok lelaki yang namanya akan segera dipanggil itu bersiap di sisi panggung. Rambutnya rapi, pundak lebarnya semakin terlihat gagah dengan almamater yang menyelimuti tubuhnya, lengkap dengan sebuah senyum sapa yang Hanna yakini menjadi senjata terbesarnya memikat wanita.

Ruangan utama gedung auditorium kampus terdengar ramai lantaran para mahasiswa baru mulai menebak-nebak siapa yang akan naik ke atas panggung.

Hanna ikut tersenyum begitu mendapati lelaki yang akan segera naik ke atas panggung itu tertawa kecil. Dia Mahen. Iya, Mahen Mirza Radeya, laki-laki yang dikenal hampir seluruh mahasiswa dan dosen karena sifatnya yang ramah dan otaknya yang pintar.

Begitu pun dengan Hanna. Gadis itu mengenal Mahen dari pembicaraan orang-orang di fakultasnya. Perbedaan fakultas hampir membuat Hanna tidak pernah melihat lelaki itu selama dua tahun terakhir. Apalagi sejak Mahen mengundurkan diri dari Badan Eksklusif Mahasiswa tiga bulan lalu, Hanna semakin jarang melihat laki-laki itu.

Tanpa Hanna sadari, kakinya berjalan maju menuju pintu untuk melihat Mahen lebih dekat.

“Baik, karena teman-teman semua sepertinya sudah penasaran, mari–,”

Pembawa acara itu tak terdengar melanjutkan kalimatnya saat secara bersamaan sebuah suara dentuman terdengar dari dalam ruangan sound system.

Mahen, yang berdiri paling dekat dengan pintu ruangan tersebut segera berlari ke dalam untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

“Aduh.”

Netranya menangkap seorang perempuan terduduk di lantai dengan lututnya yang terluka. Rambut panjangnya terurai sehingga Mahen tidak dapat menangkap jelas wajahnya.

Lalu Mahen secara spontan mendekat. ”Are you oke?”

”I’m fine.”

Hanna menganggukkan kepalanya saat menjawab pertanyaan yang tidak ia sangka berasal dari Mahen. Pandangannya kemudian beralih pada satu box sound system kecil yang terletak di sampingnya.

“Lo ngapain ada di tengah ruangan gini sih!? Nggak tau apa kalau bahaya?” ketus Hanna tertuju pada sound system tersebut. Dengan acuh, tubuhnya berusaha bangkit dari lantai.

Mahen tertawa kecil mendengar gadis itu mengomeli benda mati yang menjadi penyebabnya terjatuh. Lalu tangannya mencengkram lengan Hanna untuk membantunya berdiri.

”Let me help you. Sini, duduk di kursi. Be careful, pelan-pelan aja jalannya.”

Hanna bersumpah dalam hati, ia sangat merasa malu sekarang. Jika luka pada kakinya tidak terasa perih, pasti Hanna sudah berlari menjauh dari lelaki ini.

Bagaimana tidak? Ia terjatuh dengan konyol karena kesalahannya sendiri dan dibantu oleh seseorang yang menjadi sebab Hanna tidak memperhatikan langkahnya tadi.

“Han, speaker-nya kenapa mati? Lo kena—, what the!?

Gia sudah akan mengomeli kecerobohan Hanna yang membuat pembawa acara menunggu di atas panggung karena mic-nya yang tiba-tiba tidak berfungsi. Tapi kalimatnya terpotong begitu ia mendapati luka di lutut sahabatnya itu.

Sementara Cadfael—wakadip bagian acara berjalan lurus untuk segera membenarkan kabel sound system yang ternyata sempat tertarik oleh Hanna.

“Lo kenapa anjir? Kenapa luka? Lo ngapain sih? Kok lecet gini lututnya?”

Diserang pertanyaan bertubi, Hanna menggelengkan kepalanya tanda ingin meminta Gia berhenti menanyainya sekarang. Ujung matanya melirik pada lelaki yang masih setia berdiri di sana, berusaha menyadarkan Gia bahwa Mahen ada di sini.

“Hen, makasih udah bantuin temen gue, tapi lo ditunggu pembawa acara di depan. Lo nggak lupa kan kalau lo harus speech?”

Yang dituju sempat membulatkan matanya lalu bergerak cekatan merapikan lengan almamaternya.

“Gue ke panggung dulu. Take care your friend. Lukanya dibersihin.”

Setelah laki-laki bernama Mahen itu berlalu dan meninggalkan wangi parfumnya di ruangan engap ini, dua sahabat di dalam ruangan itu saling melempar tatap.

“Anjir Hannaaaaaa!”

Dua puluh menit berlalu dan Kak Rahmi belum juga kembali menemani Hanna di ruangan ini.

Sebetulnya Hanna dapat mengerti jika Kak Rahmi mungkin merasa tak nyaman berada di dalam sini. Dengan kondisi barang-barang besar milik divisi peralatan yang Hanna sendiri pun tidak tahu jenisnya itu terletak memenuhi setiap sudut ruangan. Ditambah lagi, hanya ada dua kipas angin dalam ruangan ini, semakin membuat suasananya jauh dari kata nyaman.

“Ini kalau nggak disogok Sushi Go, gue udah kabur juga dah,” keluh Hanna. Tangannya dengan cepat melepas jas almamater yang dikenakannya sejak pagi tadi.

Beruntung hari ini Hanna memakai kemeja berlengan pendek dan rok di atas lutut, sehingga angin dari kipas dapat menyapa kulitnya secara langsung.

Hanna sedang sibuk membaca timeline di akun Twitter sampai telinganya menangkap suara pembawa acara yang mengundang sahutan para mahasiswa.

“Adakah yang bisa menebak, setelah ini siapa yang akan memberikan sedikit inspirasi mahasiswa baru sebagai penutup kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru Universitas Central Jakarta hari ini? Clue-nya adalah seorang mahasiswa teladan dari fakultas hukum nih.”

Dari pintu kecil yang terbuka di sudut ruangan, Hanna dapat melihat sosok lelaki yang namanya akan segera dipanggil itu bersiap di sisi panggung. Rambutnya rapi, pundak lebarnya semakin terlihat gagah dengan almamater yang menyelimuti tubuhnya, lengkap dengan sebuah senyum sapa yang Hanna yakini menjadi senjata terbesarnya memikat wanita.

Ruangan utama gedung auditorium kampus terdengar ramai lantaran para mahasiswa baru mulai menebak-nebak siapa yang akan naik ke atas panggung.

Hanna ikut tersenyum begitu mendapati lelaki yang akan segera naik ke atas panggung itu tertawa kecil. Dia Mahen. Iya, Mahen Mirza Radeya, laki-laki yang dikenal hampir seluruh mahasiswa dan dosen karena sifatnya yang ramah dan otaknya yang pintar.

Begitu pun dengan Hanna. Gadis itu mengenal Mahen dari pembicaraan orang-orang di fakultasnya. Perbedaan fakultas hampir membuat Hanna tidak pernah melihat lelaki itu selama dua tahun terakhir. Apalagi sejak Mahen mengundurkan diri dari Badan Eksklusif Mahasiswa tiga bulan lalu, Hanna semakin jarang melihat laki-laki itu.

Tanpa Hanna sadari, kakinya berjalan maju menuju pintu untuk melihat Mahen lebih dekat.

“Baik, karena teman-teman semua sepertinya sudah penasaran, mari–,”

Pembawa acara itu tak terdengar melanjutkan kalimatnya saat secara bersamaan sebuah suara dentuman terdengar dari dalam ruangan sound system.

Mahen, yang berdiri paling dekat dengan pintu ruangan tersebut segera berlari ke dalam untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.

“Aduh.”

Netranya menangkap seorang perempuan terduduk di lantai dengan lututnya yang terluka.

Lalu Mahen secara spontan mendekat. ”Are you oke?”

”I’m fine.”

Hanna mendongakkan kepalanya saat menjawab pertanyaan yang tidak ia sangka berasal dari Mahen. Pandangannya kemudian beralih pada satu box sound system kecil yang terletak di sampingnya.

“Lo ngapain ada di tengah ruangan gini sih!? Nggak tau apa kalau bahaya?” ketus Hanna tertuju pada sound system tersebut. Dengan acuh, tubuhnya berusaha bangkit dari lantai.

Mahen tertawa kecil mendengar gadis itu mengomeli benda mati yang menjadi penyebabnya terjatuh. Lalu tangannya mencengkram lengan Hanna untuk membantunya berdiri.

”Let me help you. Sini, duduk di kursi.”

Hanna bersumpah dalam hati, ia sangat merasa malu sekarang. Jika luka pada kakinya tidak terasa perih, pasti Hanna sudah berlari menjauh dari lelaki ini.

Bagaimana tidak? Ia terjatuh dengan konyol karena kesalahannya sendiri dan dibantu oleh seseorang yang menjadi sebab Hanna tidak memperhatikan langkahnya tadi.

“Han, speaker-nya kenapa mati? Lo kena—, what the!?

Gia sudah akan mengomeli kecerobohan Hanna yang membuat pembawa acara menunggu di atas panggung karena mic-nya yang tiba-tiba tidak berfungsi. Tapi kalimatnya terpotong begitu ia mendapati luka di lutut sahabatnya itu.

Sementara Cadfael—wakadip bagian acara berjalan lurus untuk segera membenarkan kabel sound system yang ternyata sempat tertarik oleh Hanna.

“Lo kenapa anjir? Kenapa luka? Lo ngapain sih? Kok lecet gini lututnya?”

Diserang pertanyaan bertubi, Hanna menggelengkan kepalanya tanda ingin meminta Gia berhenti menanyainya sekarang. Ujung matanya melirik pada lelaki yang masih setia berdiri di sana, berusaha menyadarkan Gia bahwa Mahen ada di sini.

“Hen, makasih udah bantuin temen gue, tapi lo ditunggu pembawa acara di depan. Lo nggak lupa kan kalau lo harus speech?”

Yang dituju sempat membulatkan matanya lalu bergerak cekatan merapikan lengan almamaternya.

“Gue ke panggung dulu. Take care your friend. Lukanya dibersihin.”

Setelah laki-laki bernama Mahen itu berlalu dan meninggalkan wangi parfumnya di ruangan engap ini, dua sahabat di dalam ruangan itu saling melempar tatap.

“Anjir Hannaaaaaa!”

“Deefan! Gue balik duluan sama Tara. Teler banget ni anak. Lo balik sama si Gigi ya. Masih di dance floor bocahnya. Bye.” Kalimat Angga ketika berpamitan lima menit lalu itu lebih tepat disebut perintah yang tidak menerima penolakan.

Deefan menghela napasnya kasar. Sedikit menyesal karena menuruti ajakan awal Angga untuk bergabung dengan kedua temannya, Tara dan Gigi, di salah satu bar ternama di Jakarta sejak tiga jam lalu.

Setelah sesi perkenalan singkat yang dilakukan Deefan dan Angga saat tiba di sini, Gigi langsung memisahkan diri dan bergabung dengan pengunjung lain di dance floor. Sementara Tara dan Angga mengadakan sesi curhat dadakan yang berakhir dengan Tara mabuk berat.

Dari awal, Deefan mana tau kalau ternyata satu-satunya cewek di antara mereka sedang dilanda rasa patah hati, Gigi, teman cewek Angga yang baru saja putus cinta disebabkan kekasihnya yang berkhianat. Deefan sempat menjadi saksi bagaimana gadis itu menenggak lebih dari tiga gelas minumannya lalu berjalan acuh untuk menikmati alunan musik di tengah ruangan.

Sebenarnya alasan Deefan menyetujui ajakan Angga juga tidak jauh berbeda dengan Gigi. Mantannya tiga bulan lalu tiba-tiba hadir di apartemennya kemarin malam dan mencoba mengajak Deefan untuk kembali menjalin hubungan. Tentu saja penolakan yang Deefan berikan sebagai jawaban.

Deefan menghabiskan minumannya dengan sekali tenggak sebelum beranjak untuk menghampiri wanita dengan pakaian paling berbeda di antara para pengunjung wanita lainnya. Hanya ripped jeans yang dipadukan black crop top menutupi tubuh rampingnya.

“Gi, ayo balik. Gue anter.” bisik Deefan tepat di samping telinga Gigi.

Wajah tenang Deefan seketika berubah raut menjadi terkejut. Gigi memang mendengar perkataannya, namun yang dilakukan gadis itu bukan seperti yang dipikirkan Deefan. Gigi membalikkan tubuhnya dan melingkarkan tangannya di leher Deefan dengan cepat. Senyum manisnya masih dapat Deefan tangkap walau pencahayaan di sini sangat minim.

”Wanna dance with me, Dee?”

Mendengar pertanyaan Gigi, Deefan dapat menyimpulkan bahwa kesadaran gadis di depannya sudah mulai terenggut oleh pengaruh alkohol. Apalagi mendengar panggilan ‘Dee’ yang baru kali ini Deefan dengar dalam hidupnya. Deefan mendecak kecil. Ia tahu, urusannya untuk segera pulang tidak akan mudah setelah ini.

“Pulang. Gue ngantuk.”

“Nggak mau. Maunya dansa.”

“Pulang, Gi.”

Kalimat Deefan diabaikan. Gigi mulai menggerakkan kedua kakinya ke kanan dan kiri mengikuti irama. Dan secara spontan, Deefan memegang pinggul gadis di depannya karena tubuh Gigi yang sebenarnya sudah tak seimbang.

“Harusnya gue tuh sama Virgo ke tempat dansa. Gue udah dari lama nungguin waktu buat bisa nikmatin suasana malem kayak gini sama dia. Dan harusnya gue cium dia malem ini, di posisi ini.” Gigi mulai berceloteh dengan mata sayunya yang entah mengapa, bagi Deefan kedua matanya berbinar seperti anak kucing.

“Tapi, pas gue dateng dia malah dansa terus ciuman sama cewek lain. Cewek seksi. Pake dress yang gue rasa harganya belasan juta.“

Deefan masih dapat mendengar semua celotehan Gigi dengan baik walau suara musik di ruangan ini memekakkan telinganya. Fokusnya yang terkunci pada setiap langkah Gigi tidak terganggu. Beberapa kali tangan Deefan menarik tubuh Gigi untuk lebih mendekat demi menghindari terjadinya tubrukan dengan pengunjung lain. Deefan akui dalam hati, Gigi tetap wangi walau sudah beberapa jam berhimpitan di dance floor ini.

“Gue nggak insecure. Of course I know, I’m worth it. Tapi mungkin nggak sih, Virgo tega gituin gue karena gue nggak sesuai kriteria cewek jaman sekarang? Gue harusnya pake dress ketat gitu, ya? Cowok sukanya yang begitu? Kalau yang pake ripped jeans begini nggak suka?” tanya Gigi dengan gerakan kecil untuk melepas kedua tangannya dari leher Deefan, berniat untuk menunjuk dirinya sendiri. Namun gerakan itu dengan cepat ditahan Deefan. Cowok itu kembali mengaitkan kedua tangan Gigi pada lehernya.

Lalu Deefan mengalihkan fokusnya pada wajah Gigi yang mulai memerah.

“Suka. Tetep cantik.”

“Serius?” Gigi membulatkan kedua matanya. “Serius suka? Berati Virgo yang aneh, kan, bukan gue?”

Deefan berdeham singkat.

“Lo cantik selama lo jadi diri lo sendiri. Lo cantik di depan orang yang tepat. Apa pun pakaian lo.”

Perkataan Deefan mengakibatkan senyum manis terlukis di wajah Gigi. Sebenarnya Deefan sendiri juga tidak tahu apa alasannya mengatakan kalimat itu. Deefan hanya menyuarakan apa yang hatinya katakan saat ini. Deefan memang suka. Penampilan Gigi tidak ada yang salah baginya.

“Dee,” Kalimat Gigi yang menggantung menyebabkan Deefan mengerutkan dahinya. Tangan kanan gadis itu bergerak pelan merapikan rambut bagian depan Deefan yang sedikit menutupi matanya. Lalu secara teratur, jari telunjuknya turun untuk menyentuh hidung dan berakhir pada bibir lelaki itu.

“Udah pernah ciuman belum?”

Kerutan di dahi Deefan semakin kentara. Namun setelah menetralkan napasnya yang tiba-tiba terasa terburu, Deefan menjawab dengan setengah berbisik, “Udah.”

Gigi tidak terlihat terkejut mendengar jawaban yang ia dapatkan. Ia juga tidak terlihat peduli. Jari telunjuk Gigi belum berniat untuk berpindah tempat walau sebuah senyum tipis sudah terukir di sana.

“Gue belum,”

“Ini basah. Lo abis minum tadi?”

Deefan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

I wanna try. Sekarang.”

“Cobain apa?”

Your lips.” Gigi mengusap pelan ranum lembab itu.

Deefan menatap gadis di depannya dengan alis yang terangkat sebelah. Belum lima menit gadis itu menceritakan tentang kekecewaannya pada kekasihnya, juga belum sampai empat jam mereka berkomunikasi malam ini, tapi dengan sisa-sisa kesadarannya Gigi menyiratkan keinginan untuk mencium Deefan.

I am a stranger for you, am I? Nanti pas sadar, lo nyesel,” jawab Deefan dengan tenang. Berusaha menelisik lebih dalam kedua netra cokelat yang menatapnya tenang, tanpa ada keraguan di sana.

“Lo kan temennya Angga.”

Deefan tersenyum. Telapak tangannya mengusap singkat pinggang Gigi yang terbuka.

Kemudian tatapan Gigi terjatuh tepat pada kedua iris matanya, “Just kiss me.”

Maka ketika Gigi sedikit berjinjit untuk mencapai kedua labium lembab itu, si empunya sudah lebih dulu menunduk untuk menyatukan dahi dan bibir keduanya.

Setelah memberikan beberapa kecupan basah di sana, Deefan memundurkan sedikit wajahnya, sadar akan aroma stroberi yang menguar dari bibir kecil di depannya. Padahal Gigi sudah meneguk cukup banyak alkohol malam ini.

“Suka stroberi?” tanyanya. Sontak Gigi membuka kedua matanya yang sebelumnya sudah terpejam.

Belum sempat Gigi melontarkan tanya ‘kenapa?’, Deefan sudah lebih dulu mendekatkan kembali bibirnya.

“Good girl. I like strawberry too.”

Gerakan intens Deefan saat merangkul pinggang dan menahan bagian belakang leher Gigi berhasil mendatangkan ribuan kupu-kupu di perut gadis itu. Dadanya bergemuruh ricuh. Apalagi saat laki-laki di depannya itu menggigit kecil bibir bawahnya guna memperdalam ciuman keduanya.

Pengaruh alkohol yang sebelumnya sudah memberi efek pusing pada Gigi semakin terasa menyiksa. Namun kali ini Gigi rasa penyebabnya bukan lagi hanya karena alkohol itu, kecapan manis yang diberikan Deefan pada bibir dan seluruh bagian mulutnya ikut andil menjadi pemicunya.

Gigi tidak bohong dengan pengakuannya yang mengatakan ia belum pernah berciuman. Dengan pengetahuan yang hanya ia dapatkan dari adegan film, keberaniannya menguasai dirinya untuk membalas lumatan yang ia terima. Gigi tidak mau kalah dengan ciuman dalam yang Deefan berikan. Bahkan tangan mungil gadis itu sudah meremas pelan bagian belakang kepala Deefan. Berusaha mengimbangi isapan di bibirnya.

Malam ini, akhirnya Gigi berhasil memenuhi rasa penasarannya mengenai pertanyaan bodoh yang selalu mendapat pukulan dari Yeri, ”Ciuman rasanya gimana sih?”

Deefan memberi tahu Gigi perasaan itu dengan menyerap habis energi di tubuhnya, jantungnya berdetak dengan ritme yang lebih cepat dari biasanya, napasnya yang mulai terasa tersenggal karena lumatan Deefan di bibirnya, juga perutnya yang terasa sangat menggelitik sampai kakinya yang terasa lemas. Tentu saja tidak lupa dengan rasa manis yang diberikan bibir Deefan. Gigi bersumpah dalam hati, ia tidak akan melupakan ciuman ini. Kebiasaan buruknya dalam mengingat kejadian saat dirinya dikuasi alkohol harus segera ia hilangkan. Ia akan berusaha mengingat ini semua besok pagi.

Meskipun Deefan tahu mencium wanita yang tidak sepenuhnya sadar bukan hal yang bisa dibenarkan, lelaki itu tidak berniat untuk melepas penyatuan bibir mereka. Bahkan setelah ciumannya terlepas untuk sekedar memberi kesempatan Gigi mengisi pasokan udara di dadanya, Deefan menarik Gigi menuju sudut ruangan untuk kembali mencium bibirnya.

Deefan tersenyum tipis saat lenguhan pelan Gigi terdengar. Lalu tangan kanannya bergerak mengunci pergerakan Gigi di dinding. Sementara tangan lainnya menahan tengkuk gadis itu agar bibirnya tetap terbuka.

“This is your first kiss, but I swear, you’re a good kisser. Dangerous girl,”

Gigi tersenyum tepat di depan bibir lelaki asing yang mendengar celotehannya dengan baik sedari tadi, lelaki yang mengambil ciuman pertamanya.

“Lagi. Kiss me till my lips becomes a mess.”

Dan tentu saja, Deefan menuruti gadis itu.

Jeehan sedang sibuk mendengarkan dan memberikan fokusnya pada Jayen, lelaki yang sudah asik dengan piano di depannya.

Tidak banyak perbincangan yang terjadi ketika Jeehan memasuki ruangan ini. Jayen tidak banyak basa-basi seperti latihan sebelumnya. Cowok itu langsung menyuruh Jeehan untuk duduk memperhatikan permainan pianonya.

Jeehan tidak bertanya apa pun. Jayen sudah bilang kalau ia memiliki agenda acara setelah ini, dan itu cukup menjadi alasan kenapa cowok itu terkesan mempersingkat waktu latihan.

“Jee, kita nggak jadi ngomongin lirik lagu river flows in you sekarang, gapapa, kan?”

”Hah? Oh iya, gapapa, santai.” Jeehan sedikit terperanjat saat melihat Jayen yang sudah menutup bagian atas piano dengan kain yang disiapkan klub musik.

Jayen membalikkan posisi duduknya untuk menghadap Jeehan.

“Maaf nggak jadi hari ini, ya … .”

Jeehan terdiam beberapa saat. Selama Jayen sibuk mendekati dirinya, baru kali ini Jeehan melihat Jayen menatapnya dengan lembut. Tanpa ada gurat tawa atau meledek.

“Woi, Jeehan! Kenapa bengong?” Kali ini Jayen meninggikan suaranya.

Sorry sorry. Kan tadi gue udah jawab, gapapa,” ujar Jeehan.

Jayen terkekeh melihat ekspresi Jeehan yang sedikit menggerutu. Cowok itu tidak memindahkan tatapnya dari Jeehan. Menyadari hal itu, dengan cepat Jeehan menutup kedua matanya dengan jari-jari tangannya. Jeehan lupa, matanya masih sedikit bengkak karena terlalu banyak menangis semalam.

“Nggak usah ditutup. Telat. Gue udah liat dari tadi pagi,” kata Jayen dengan santainya.

“Ya, lo juga, sih, ngapain liat!”

“Kok marahnya ke gue? Gue liat, ya karena punya mata. Omelin yang bikin lo nangis dong.”

“Ck. Lo tau sesuatu, ya, dari semalem? Omongan lo yang tiba-tiba serius bikin gue suudzon,” cetus Jeehan.

“Nggak usah kepo,” balas Jayen dengan nada yang tidak kalah menyebalkan.

“Dih.” Jeehan memberi injakan cukup keras pada kaki Jayen sebelum tubuhnya bangkit berdiri.

Tawa Jayen terdengar bersamaan dengan lengan Jeehan yang ditarik cepat untuk kembali duduk oleh Jayen.

“Gue mau pulang. Katanya lo juga buru-buru, kan? Ayo.”

Jayen hanya menjawabnya dengan senyuman tipis. Kedua tangannya tanpa sadar masih memegang lengan Jeehan.

“Lo lagi dideketin cowok, ya? Tumben nggak banyak tingkah hari ini.”

Kalimat Jayen sontak membuat Jeehan terbelalak. “Apa hubungannya anjir?”

“Lagi dideketin cowok, kan, Jee?” tanya Jayen masih dengan senyum tipis di wajahnya.

“Iya,”

“Kan, lo. Yang deketin gue.”

Mungkin kalimat Jeehan terdengar sangat sederhana. Namun jangan salahkan jantung Jayen yang berdegup cepat setelah mendengar perkataan Jeehan.

“Selain gue?” Jayen perlu memastikan sendiri dari Jeehan, tentang Kama yang tiba-tiba datang menjemput Jeehan seperti yang Regan katakan.

“Nggak ada.”

“Jeehan …”

“Oh, lo abis liat reply-an di lapak gue, ya? Kama? Temen baru. Temennya temen gue. Anaknya emang suka bercanda,” ujar Jeehan dengan santainya. Bahkan tatapan matanya tidak menghindari mata Jayen.

“Anaknya emang suka bercanda? Udah sering ketemuan? Kok bisa?” tanya Jayen beruntun.

Tanpa sadar Jeehan mengulum senyumnya. “Nggak boleh kepo. Bukan pacar!” Lalu dengan cepat tubuhnya berdiri melangkah menuju pintu.

Tapi, siapa sangka, langkah Jayen yang jauh lebih besar itu berhasil menutup pintu ruang musik sebelum Jeehan berhasil keluar.

Jeehan mendengus malas. “Apa lagi?”

“Dia temen baru lo, atau emang mau macarin lo?”

“Opsi kedua, I guess?” Alis Jeehan bergerak naik untuk menggoda cowok dengan ekspresi serius di depannya.

“Nggak bakal bisa. Ada gue,” ujar Jayen dengan cepat.

Tawa Jeehan tumpah tepat di depan wajah Jayen yang ikut terkejut karena respon yang diberikan Jeehan. “Pfffttt, takut ya?”

Tubuh Jayen sedikit menjauh untuk melihat secara detail ekspresi yang Jeehan berikan. Gadis ini sedang meledeknya.

“Bukan takut, Jeehan. Cowok lain nggak akan sesabar gue ngadepin lo.”

Kekehan terbit lagi di wajah Jeehan. “Bagus deh kalau lo nggak takut. Soalnya—,”

“Soalnya lo mau liat gimana gue bersaing. Iya?” Jayen benar-benar memberikan ekspresi berbanding balik dengan Jeehan. Cowok itu sangat serius menanggapi ocehan Jeehan yang sebagian besar adalah candaan.

“Bukan. Soalnya, Kama nggak kalah menarik dari lo,” sahut Jeehan dengan senyum yang masih setia terpatri di wajahnya.

Kedua tangan Jeehan menepuk pelan bahu lebar milik Jayen. Lalu dengan senyum yang merekah, Jeehan berkata, “Jayen, in case you forget, I will say it to you. I’m not yours. And everyone allowed to love me.

Jayen mengerutkan kedua alisnya. “Jee, gue takut salah tangkep sama kalimat lo. Bisa nggak pake Bahasa Indonesia aja?”

“JAYEN.”

Gara pernah sesekali melanggar perkataan yang sering ia dan Namira sebut setiap mereka berbincang, “Nggak perlu berdoa untuk selamanya, lah. Kan, sejatinya nggak ada yang selamanya di dunia ini. Yang penting kita usaha aja. Jangan saling meninggalkan.” Karena pada kenyataannya, dalam diam, dalam setiap malam sebelum kedua matanya terpejam, Gara selalu merapalkan doa agar Tuhan memberikan kata selamanya untuk hubungan dia dan Namira.

Mungkin sebagian atau banyak orang di sekitar Gara pernah merasa iri dengan bagaimana Tuhan memberikan jalan berliku yang selalu berhasil Gara dan Namira lalui dengan hati yang tetap terikat. Mungkin beberapa dari mereka juga merasa iri dengan Namira yang berhasil menjalin hubungan dengan Gara, lelaki yang dipuja banyak kaum hawa itu selama lima tahun.

Memiliki Namira di sisinya, Gara tidak pernah sekalipun merasa kesepian. Kehidupan Gara yang penuh tuntutan dari kedua orangtuanya tidak lagi terasa membebani kedua pundaknya sejak Namira memilih untuk membalas perasaannya. Namira dengan segala keistimewaannya, Namira dengan segala ke-berisikannya, Namira dengan segala pikiran acaknya, Gara suka. Dan itu cukup menjadi alasan dia memilih bertahan dalam alur hidup yang dibuat kedua orangtuanya.

Maka, setelah terhitung delapan hari Namira tidak ada di sisinya, setelah kedua mata Gara menatap kosong pada tubuh dingin Namira yang dikebumikan, Gara mulai kehilangan arah. Tubuhnya hanya berpindah tempat antara kamar tidur dan studio pribadi di apartemennya. Tanpa merasa bahwa keadaannya mulai mengkhawatirkan karena Gara membiarkan lambungnya tidak bekerja mengolah makanan.

Gara tidak menghiraukan gitar berwarna hitam miliknya di pojok ruang studio. Juga tidak memiliki minat untuk membereskan perangkat drum yang sudah tidak berbentuk karena ulahnya kemarin. Ya, Gara melampiaskan emosinya di dalam studio ini dua hari belakangan. Darah kering sudah membekas di beberapa jari tangannya.

Lelaki ini hancur, Namira.

Dengan tergesa namun tanpa tujuan, tangannya mengambil kunci mobil lalu bergegas meninggalkan Yeri dan Evan yang ditugaskan kedua orangtuanya memantau Gara di apartemen.

Gara tidak peduli apa yang akan dilakukan kedua sepupunya di belakang mobilnya yang melaju cepat. Gara hanya peduli pada hatinya. Rasanya hampa. Tanpa suara, tanpa udara. Walau Gara tahu, di dalam sana masih Namira. Gara merasa mati rasa.

Kedua kakinya menginjak pedal gas tanpa ragu. Jalan raya di depannya tidak ramai, seakan Tuhan mengizinkan Gara untuk memberi jejak dengan laju mobil di atas rata-rata. Lalu dengan segala emosi yang membuncah di hati, ujung matanya melirik pada kursi penumpang yang kosong di sampingnya.

“Kamu harusnya duduk di sini sekarang, Ra. Ini hari kedelapan dan kamu nggak ada sama aku. Kursi ini cuma punya kamu. Kamu harus pulang.”

Kemudian tanpa bisa lagi Gara tahan, sebelah tangannya memukul dada kirinya, tempat di mana aliran darah berporos di sana.

“Sakit, Ra. Dadaku sakit. Kamu kemana?”

Tidak lagi merasa sanggup untuk menatap jalan atau sekedar memegang stir mobil, Gara memberhentikan mobilnya di bahu jalan. Tepat di sebuah jembatan besar yang menghubungkan dua bagian Jakarta.

Kakinya melangkah keluar mobil dengan lemah. Lalu, di depan aliran sungai yang tenang, di bawah tabur bintang dan bulan purnama di langit, Gara menjatuhkan kedua lututnya. Kepalanya mengadah dengan kedua mata yang tidak lagi memiliki fokus.

“Ra, kamu bilang kamu bakal pulang, kan? Kamu bilang kita harus keliling dunia karena kamu mau pamerin aku, kan? Kamu bilang kamu sayang aku, Ra... tapi kenapa kamu nggak di sini?”

“Ini alesan kamu tadi pagi bilang… kalau aku harus terus bahagia dengan atau tanpa kamu, Ra? Kamu tau, ya, kalau kamu mau pergi? Kamu tau kalau kamu bakal ninggalin aku sendiri gini, Ra?” Senyum sarkah terbit di bibir tebal Gara malam ini. Senyuman pahit, penuh rasa sakit.

“Kamu tau, Ra, waktu kamu bilang kamu mau off karena pesawat kamu udah hampir berangkat, aku langsung telfon Cero. Aku minta tolong dia buat ajarin aku main piano, aku mau nyanyiin lagu yang terakhir kamu suka itu. Aku mau sambut kamu pulang pake lagu itu, Ra.”

Kalimatnya terjeda karena hatinya semakin terasa dicabik. Gara tidak lagi menahan air matanya untuk membasahi wajahnya. “Tapi, kenapa kamu pulangnya malah ke Tuhan, bukan ke aku?”

Kedua tangannya yang terluka karena sebelumnya Gara kepal, ia satukan di depan dadanya. Kepalanya menunduk dan kedua matanya terpejam, ingin meminta pada satu-satunya Pemilik keajaiban.

“Ya Tuhan, Gara udah berbuat baik sama Papa Mama. Gara udah nggak lagi jadi anak nakal. Gara udah nggak pernah buang-buang uang. Gara juga nggak pernah lagi ngerokok. Itu semua berkat Namira. Sekarang Gara minta hadiah boleh?”

“Gara minta Namira pulang ke Gara. Tolong... Gara nggak bisa kalau nggak Namira. Gara harus ketemu Namira.”

Setelah delapan hari Gara berusaha menerima kenyataan, setelah Gara berusaha untuk tidak menyesal membiarkan Namira pergi naik pesawat itu, setelah Gara berusah terlihat baik-baik saja di depan seluruh keluarganya, malam ini seluruh tenaga Gara total habis.

Tubuhnya terduduk lemah tepat di samping pembatas jembatan. Kedua mata merahnya menatap nalar pada langit malam yang sangat berkilau malam ini.

“Namira, aku itu sun, kamu flower. Aku nggak cocok sama bulan… sama bintang. Aku nggak bisa sendirian ditatap mereka dari atas sana kayak sekarang.” Gara menyipitkan kedua matanya seakan meniliti benda di langit. “Ah, jangan-jangan kamu juga lagi natap aku dari sana, ya, Sayang? Kamu pasti kangen aku juga, kan?”

Dengan kesadaran yang hampir hilang karena tenaga fisik dan batinnya terkuras habis, Gara melampirkan senyum.

“Namira sayang, I wanna stay with you. Forever and ever. Kamu jangan natap aku dari sana. Sini pulang, Ra, tatap aku di sini. Di depan aku. Aku kangen. Aku mau peluk.”

“Kalau kamu nggak ada, siapa yang bikinin aku kebab chicken lagi? Kalau kamu nggak ada, siapa yang aku ajak telfonan buat aduin Evan yang rese? Kalau kamu nggak di sini, gimana aku bisa bersinar, Namira?”

Gara tidak pernah menyangka Tuhan akan mengambil Namira secepat ini. Maka dari itu, tubuh dan pikirannya menolak untuk menerima kenyataan itu di memorinya. Gara tidak bisa dikejutkan dengan cara seperti ini.

Kedua kakinya bangkit untuk melangkah pelan menelusuri pembatas jembatan. Matanya tak henti untuk meminta jawaban Tuhan di atas langit. Air matanya tidak berhenti mengalir karena bibirnya sudah kehabisan kata untuk menceritakan seperti apa rasa sakit yang ia rasakan.

Namiranya pergi. Meninggalkan dirinya sendirian. Gara tidak akan pernah bisa menerima kenyataan itu. Namira tidak boleh membiarkannya sendirian di sini.

Maka tepat jam dua belas lebih tiga menit, Tuhan mengabulkan permintaan Gara. Tuhan mengizinkan Gara untuk bertemu gadisnya, Namira.

Lelaki berjaket hitam itu tidak sempat menghindar saat secara mendadak sebuah cahaya lampu depan mobil menabrak kedua retinanya.

Mobil merah dari lawan arah yang dikendarai seorang lelaki mabuk itu menghantam tubuh Gara dengan keras sampai pembatas jembatan itu rusak. Begitu juga tubuh Gara.

Tubuh lelaki itu terjepit di antara kap mobil dengan besi pembatas jalan.

Saat itu juga, Tuhan memberi jawabannya. Gara dan Namira memang ditakdirkan tetap bersama. Di alam yang lain pun, mereka akn bertemu kembali.

Namira, kali ini, biar Gara yang pulang ya.

Gara pernah sesekali melanggar perkataan yang sering ia dan Namira sebut setiap mereka berbincang, “Nggak perlu berdoa untuk selamanya, lah. Kan, sejatinya nggak ada yang selamanya di dunia ini. Yang penting kita usaha aja. Jangan saling meninggalkan.” Karena pada kenyataannya, dalam diam, dalam setiap malam sebelum kedua matanya terpejam, Gara selalu merapalkan doa agar Tuhan memberikan kata selamanya untuk hubungan dia dan Namira.

Mungkin sebagian atau banyak orang di sekitar Gara pernah merasa iri dengan bagaimana Tuhan memberikan jalan berliku yang selalu berhasil Gara dan Namira lalui dengan hati yang tetap terikat. Mungkin beberapa dari mereka juga merasa iri dengan Namira yang berhasil menjalin hubungan dengan Gara, lelaki yang dipuja banyak kaum hawa itu selama lima tahun.

Memiliki Namira di sisinya, Gara tidak pernah sekalipun merasa kesepian. Kehidupan Gara yang penuh tuntutan dari kedua orangtuanya tidak lagi terasa membebani kedua pundaknya sejak Namira memilih untuk membalas perasaannya. Namira dengan segala keistimewaannya, Namira dengan segala ke-berisikannya, Namira dengan segala pikiran acaknya, Gara suka. Dan itu cukup menjadi alasan dia memilih bertahan dalam alur hidup yang dibuat kedua orangtuanya.

Maka, setelah terhitung delapan hari Namira tidak ada di sisinya, setelah kedua mata Gara menatap kosong pada tubuh dingin Namira yang dikebumikan, Gara mulai kehilangan arah. Tubuhnya hanya berpindah tempat antara kamar tidur dan studio pribadi di apartemennya. Tanpa merasa bahwa keadaannya mulai mengkhawatirkan karena Gara membiarkan lambungnya tidak bekerja mengolah makanan.

Gara tidak menghiraukan gitar berwarna hitam miliknya di pojok ruang studio. Juga tidak memiliki minat untuk membereskan perangkat drum yang sudah tidak berbentuk karena ulahnya kemarin. Ya, Gara melampiaskan emosinya di dalam studio ini dua hari belakangan. Darah kering sudah membekas di beberapa jari tangannya.

Lelaki ini hancur, Namira.

Dengan tergesa namun tanpa tujuan, tangannya mengambil kunci mobil lalu bergegas meninggalkan Yeri dan Evan yang ditugaskan kedua orangtuanya memantau Gara di apartemen.

Gara tidak peduli apa yang akan dilakukan kedua sepupunya di belakang mobilnya yang melaju cepat. Gara hanya peduli pada hatinya. Rasanya hampa. Tanpa suara, tanpa udara. Walau Gara tahu, di dalam sana masih Namira. Gara merasa mati rasa.

Kedua kakinya menginjak pedal gas tanpa ragu. Jalan raya di depannya tidak ramai, seakan Tuhan mengizinkan Gara untuk memberi jejak dengan laju mobil di atas rata-rata. Lalu dengan segala emosi yang membuncah di hati, ujung matanya melirik pada kursi penumpang yang kosong di sampingnya.

“Kamu harusnya duduk di sini sekarang, Ra. Ini hari kedelapan dan kamu nggak ada sama aku. Kursi ini cuma punya kamu. Kamu harus pulang.”

Kemudian tanpa bisa lagi Gara tahan, sebelah tangannya memukul dada kirinya, tempat di mana aliran darah berporos di sana.

“Sakit, Ra. Dadaku sakit. Kamu kemana?”

Tidak lagi merasa sanggup untuk menatap jalan atau sekedar memegang stir mobil, Gara memberhentikan mobilnya di bahu jalan. Tepat di sebuah jembatan besar yang menghubungkan dua bagian Jakarta.

Kakinya melangkah keluar mobil dengan lemah. Lalu, di depan aliran sungai yang tenang, di bawah tabur bintang dan bulan purnama di langit, Gara menjatuhkan kedua lututnya. Kepalanya mengadah dengan kedua mata yang tidak lagi memiliki fokus.

“Ra, kamu bilang kamu bakal pulang, kan? Kamu bilang kita harus keliling dunia karena kamu mau pamerin aku, kan? Kamu bilang kamu sayang aku, Ra... tapi kenapa kamu nggak di sini?”

“Ini alesan kamu tadi pagi bilang… kalau aku harus terus bahagia dengan atau tanpa kamu, Ra? Kamu tau, ya, kalau kamu mau pergi? Kamu tau kalau kamu bakal ninggalin aku sendiri gini, Ra?” Senyum sarkah terbit di bibir tebal Gara malam ini. Senyuman pahit, penuh rasa sakit.

“Kamu tau, Ra, waktu kamu bilang kamu mau off karena pesawat kamu udah hampir berangkat, aku langsung telfon Cero. Aku minta tolong dia buat ajarin aku main piano, aku mau nyanyiin lagu yang terakhir kamu suka itu. Aku mau sambut kamu pulang pake lagu itu, Ra.”

Kalimatnya terjeda karena hatinya semakin terasa dicabik. Gara tidak lagi menahan air matanya untuk membasahi wajahnya. “Tapi, kenapa kamu pulangnya malah ke Tuhan, bukan ke aku?”

Kedua tangannya yang terluka karena sebelumnya Gara kepal, ia satukan di depan dadanya. Kepalanya menunduk dan kedua matanya terpejam, ingin meminta pada satu-satunya Pemilik keajaiban.

“Ya Tuhan, Gara udah berbuat baik sama Papa Mama. Gara udah nggak lagi jadi anak nakal. Gara udah nggak pernah buang-buang uang. Gara juga nggak pernah lagi ngerokok. Itu semua berkat Namira. Sekarang Gara minta hadiah boleh?”

“Gara minta Namira pulang ke Gara. Tolong... Gara nggak bisa kalau nggak Namira. Gara harus ketemu Namira.”

Setelah delapan hari Gara berusaha menerima kenyataan, setelah Gara berusaha untuk tidak menyesal membiarkan Namira pergi naik pesawat itu, setelah Gara berusah terlihat baik-baik saja di depan seluruh keluarganya, malam ini seluruh tenaga Gara total habis.

Tubuhnya terduduk lemah tepat di samping pembatas jembatan. Kedua mata merahnya menatap nalar pada langit malam yang sangat berkilau malam ini.

“Namira, aku itu sun, kamu flower. Aku nggak cocok sama bulan… sama bintang. Aku nggak bisa sendirian ditatap mereka dari atas sana kayak sekarang.” Gara menyipitkan kedua matanya seakan meniliti benda di langit. “Ah, jangan-jangan kamu juga lagi natap aku dari sana, ya, Sayang? Kamu pasti kangen aku juga, kan?”

Dengan kesadaran yang hampir hilang karena tenaga fisik dan batinnya terkuras habis, Gara melampirkan senyum.

“Namira sayang, I wanna stay with you. Forever and ever. Kamu jangan natap aku dari sana. Sini pulang, Ra, tatap aku di sini. Di depan aku. Aku kangen. Aku mau peluk.”

“Kalau kamu nggak ada, siapa yang bikinin aku kebab chicken lagi? Kalau kamu nggak ada, siapa yang aku ajak telfonan buat aduin Evan yang rese? Kalau kamu nggak di sini, gimana aku bisa bersinar, Namira?”

Gara tidak pernah menyangka Tuhan akan mengambil Namira secepat ini. Maka dari itu, tubuh dan pikirannya menolak untuk menerima kenyataan itu di memorinya. Gara tidak bisa dikejutkan dengan cara seperti ini.

Kedua kakinya bangkit untuk melangkah pelan menelusuri pembatas jembatan. Matanya tak henti untuk meminta jawaban Tuhan di atas langit. Air matanya tidak berhenti mengalir karena mulutnya sudah kehabisan kata untuk menceritakan sesakit apa hatinya saat ini.

Namiranya pergi. Meninggalkan dirinya sendirian. Gara tidak akan pernah mau menerima kenyataan itu. Namira tidak boleh membiarkannya sendirian.

Maka tepat jam dua belas lebih tiga menit, Tuhan mengabulkan permintaan Gara. Tuhan mengizinkan Gara untuk bertemu gadisnya, Namira.

Lelaki berjaket hitam itu tidak sempat menghindar saat secara mendadak sebuah cahaya lampu depan mobil menabrak kedua retinanya.

Mobil merah dari lawan arah yang dikendarai seorang lelaki mabuk itu menghantam tubuh Gara dengan keras sampai pembatas jembatan itu rusak. Begitu juga tubuh Gara.

Tubuh lelaki itu terjepit di antara kap mobil dengan besi pembatas jalan.

Saat itu juga, Tuhan memberi jawabannya. Gara dan Namira memang ditakdirkan bersama. Di alam yang lain pun, mereka tetap bersama.

Namira, kali ini, biar Gara yang pulang ke kamu.

Gara pernah sesekali melanggar perkataan yang sering ia dan Namira sebut setiap mereka berbincang, “Nggak perlu berdoa untuk selamanya, lah. Kan, sejatinya nggak ada yang selamanya di dunia ini. Yang penting kita usaha aja. Jangan saling meninggalkan.” Karena pada kenyataannya, dalam diam, dalam setiap malam sebelum kedua matanya terpejam, Gara selalu merapalkan doa agar Tuhan memberikan kata selamanya untuk hubungan dia dan Namira.

Mungkin sebagian atau banyak orang di sekitar Gara pernah merasa iri dengan bagaimana Tuhan memberikan jalan berliku yang selalu berhasil Gara dan Namira lalui dengan hati yang tetap terikat. Mungkin beberapa dari mereka juga merasa iri dengan Namira yang berhasil menjalin hubungan dengan Gara, lelaki yang dipuja banyak kaum hawa itu selama lima tahun.

Memiliki Namira di sisinya, Gara tidak pernah sekalipun merasa kesepian. Kehidupan Gara yang penuh tuntutan dari kedua orangtuanya tidak lagi terasa membebani kedua pundaknya sejak Namira memilih untuk membalas perasaannya. Namira dengan segala keistimewaannya, Namira dengan segala ke-berisikannya, Namira dengan segala pikiran acaknya, Gara suka. Dan itu cukup menjadi alasan dia memilih bertahan dalam alur hidup yang dibuat kedua orangtuanya.

Maka, setelah terhitung delapan hari Namira tidak ada di sisinya, setelah kedua mata Gara menatap kosong pada tubuh dingin Namira yang dikebumikan, Gara mulai kehilangan arah. Tubuhnya hanya berpindah tempat antara kamar tidur dan studio pribadi di apartemennya. Tanpa merasa bahwa keadaannya mulai mengkhawatirkan karena Gara membiarkan lambungnya tidak bekerja mengolah makanan.

Gara tidak menghiraukan gitar berwarna hitam miliknya di pojok ruang studio. Juga tidak memiliki minat untuk membereskan perangkat drum yang sudah tidak berbentuk karena ulahnya kemarin. Ya, Gara melampiaskan emosinya di dalam studio ini dua hari belakangan. Darah kering sudah membekas di beberapa jari tangannya.

Lelaki ini hancur, Namira.

Dengan tergesa namun tanpa tujuan, tangannya mengambil kunci mobil lalu bergegas meninggalkan Yeri dan Evan yang ditugaskan kedua orangtuanya memantau Gara di apartemen.

Gara tidak peduli apa yang akan dilakukan kedua sepupunya di belakang mobilnya yang melaju cepat. Gara hanya peduli pada hatinya. Rasanya hampa. Tanpa suara, tanpa udara. Walau Gara tahu, di dalam sana masih Namira. Gara merasa mati rasa.

Kedua kakinya menginjak pedal gas tanpa ragu. Jalan raya di depannya tidak ramai, seakan Tuhan mengizinkan Gara untuk memberi jejak dengan laju mobil di atas rata-rata. Lalu dengan segala emosi yang membuncah di hati, ujung matanya melirik pada kursi penumpang yang kosong di sampingnya.

“Kamu harusnya duduk di sini sekarang, Ra. Ini hari kedelapan dan kamu nggak ada sama aku. Kursi ini cuma punya kamu. Kamu harus pulang.”

Kemudian tanpa bisa lagi Gara tahan, sebelah tangannya memukul dada kirinya, tempat di mana aliran darah berporos di sana.

“Sakit, Ra. Dadaku sakit. Kamu kemana?”

Tidak lagi merasa sanggup untuk menatap jalan atau sekedar memegang stir mobil, Gara memberhentikan mobilnya di bahu jalan. Tepat di sebuah jembatan besar yang menghubungkan dua bagian Jakarta.

Kakinya melangkah keluar mobil dengan lemah. Lalu, di depan aliran sungai yang tenang, di bawah tabur bintang dan bulan purnama di langit, Gara menjatuhkan kedua lututnya. Kepalanya mengadah dengan kedua mata yang tidak lagi memiliki fokus.

“Ra, kamu bilang kamu bakal pulang, kan? Kamu bilang kita harus keliling dunia karena kamu mau pamerin aku, kan? Kamu bilang kamu sayang aku, Ra... tapi kenapa kamu nggak di sini?”

“Ini alesan kamu tadi pagi bilang… kalau aku harus terus bahagia dengan atau tanpa kamu, Ra? Kamu tau, ya, kalau kamu mau pergi? Kamu tau kalau kamu bakal ninggalin aku sendiri gini, Ra?” Senyum sarkah terbit di bibir tebal Raga malam ini. Senyuman pahit, penuh rasa sakit.

“Kamu tau, Ra, waktu kamu bilang kamu mau off karena pesawat kamu udah hampir take off, aku langsung telfon Cero. Aku minta tolong dia buat ajarin aku main piano, aku mau nyanyiin lagu yang terakhir kamu suka itu. Aku mau sambut kamu pulang pake lagu itu, Ra.”

Kalimatnya terjeda karena hatinya semakin terasa dicabik. Gara tidak lagi menahan air matanya untuk membasahi wajahnya. “Tapi, kenapa kamu pulangnya malah ke Tuhan, bukan ke aku?”

Kedua tangannya yang terluka karena sebelumnya Gara kepal, ia satukan di depan dadanya. Kepalanya menunduk dan kedua matanya terpejam, ingin meminta pada satu-satunya Pemilik keajaiban.

“Ya Tuhan, Gara udah berbuat baik sama Papa Mama. Gara udah nggak lagi jadi anak nakal. Gara udah nggak pernah buang-buang uang. Gara juga nggak pernah lagi ngerokok. Itu semua berkat Namira. Sekarang Gara minta hadiah boleh?”

“Gara minta Namira pulang ke Gara. Tolong... Gara nggak bisa kalau nggak Namira. Gara harus ketemu Namira.”

Setelah delapan hari Gara berusaha menerima kenyataan, setelah Gara berusaha untuk tidak menyesal membiarkan Namira pergi naik pesawat itu, setelah Gara berusah terlihat baik-baik saja di depan seluruh keluarganya, malam ini seluruh tenaga Gara total habis.

Tubuhnya terduduk lemah tepat di samping pembatas jembatan. Kedua mata merahnya menatap nalar pada langit malam yang sangat berkilau malam ini.

“Namira, aku itu sun, kamu flower. Aku nggak cocok sama bulan… sama bintang. Aku nggak bisa sendirian ditatap mereka dari atas sana kayak sekarang.” Gara menyipitkan kedua matanya seakan meniliti benda di langit. “Ah, jangan-jangan kamu juga lagi natap aku dari sana, ya, Sayang? Kamu pasti kangen aku juga, kan?”

Dengan kesadaran yang hampir hilang karena tenaga fisik dan batinnya terkuras habis, Gara melampirkan senyum.

“Namira sayang, I wanna stay with you. Forever and ever. Kamu jangan natap aku dari sana. Sini pulang, Ra, tatap aku di sini. Di depan aku. Aku kangen. Aku mau peluk.”

“Kalau kamu nggak ada, siapa yang bikinin aku kebab chicken lagi? Kalau kamu nggak ada, siapa yang aku ajak telfonan buat aduin Evan yang rese? Kalau kamu nggak di sini, gimana aku bisa bersinar, Namira?”

Gara tidak pernah menyangka Tuhan akan mengambil Namira secepat ini. Maka dari itu, tubuh dan pikirannya menolak untuk menerima kenyataan itu di memorinya. Gara tidak bisa dikejutkan dengan cara seperti ini.

Kedua kakinya bangkit untuk melangkah pelan menelusuri pembatas jembatan. Matanya tak henti untuk meminta jawaban Tuhan di atas langit. Air matanya tidak berhenti mengalir karena mulutnya sudah kehabisan kata untuk menceritakan sesakit apa hatinya saat ini.

Namiranya pergi. Meninggalkan dirinya sendirian. Gara tidak akan pernah mau menerima kenyataan itu. Namira tidak boleh membiarkannya sendirian.

Maka tepat jam dua belas lebih tiga menit, Tuhan mengabulkan permintaan Gara. Tuhan mengizinkan Gara untuk bertemu gadisnya, Namira.

Lelaki berjaket hitam itu tidak sempat menghindar saat secara mendadak sebuah cahaya lampu depan mobil menabrak kedua retinanya.

Mobil merah dari lawan arah yang dikendarai seorang lelaki mabuk itu menghantam tubuh Gara dengan keras sampai pembatas jembatan itu rusak. Begitu juga tubuh Gara.

Tubuh lelaki itu terjepit di antara kap mobil dengan besi pembatas jalan.

Saat itu juga, Tuhan memberi jawabannya. Gara dan Namira memang ditakdirkan bersama. Di alam yang lain pun, mereka tetap bersama.

Namira, kali ini, biar Gara yang pulang ke kamu.

SMAN Narasha, XI MIPA 2, 08.20 am.

Jayen berlari cepat setelah membaca pesan WhatsApp dari Jeehan, perempuan yang kehadirannya pagi ini ia pertanyakan.

Jayen cukup tahu seperti apa sifat Jeehan. Perempuan itu memang bukan tergolong anak yang rajin, namun Jayen pastikan Jeehan tidak akan pernah berani bolos. Jayen tahu seperti apa sifat disiplin yang diterapkan seluruh keluarga Jeehan.

Cah lanang! Mau ngapain itu weh bangku mak ditarik-tarik ke situ?” seru Mak Nani dengan heboh saat tiba-tiba Jayen menarik kursi panjang kayu milik warungnya untuk merapat ke arah tembok.

“Bentar, Mak. Cewek saya kejebak macet tadi, jadi ketinggalan masuk. Gerbangnya udah ditutup, kan, sama Kang Madun,” balas Jayen dengan gerakan tubuhnya yang dengan segera menaiki kursi tersebut. Jayen berniat untuk meloncati tembok yang sebenarnya tidak terlalu tinggi ini. Lalu membantu Jeehan dari sana untuk memanjat tembok. Perempuan itu pasti kesusahan karena memakai rok, jadi Jayen akan membantunya.

Imajinasi cowok itu sudah melayang tinggi. Bagaimana Jeehan akan menaiki pundaknya dan menatap dirinya dengan senyuman manis lalu memberikannya ucapan “Terima kasih”, semua itu sudah memenuhi pikirannya. Dan tanpa sadar, wajahnya menyunggingkan senyum.

“Lo ngapain senyum-senyum, heh, Kasep!

Belum sempat Jayen membalas seruan dari Mak Nani, kalimat selanjutnya mampu membuat seluruh khayalannya runtuh detik itu juga.

“Lo nggak usah manjat-manjat, Cah. Noh, kunci gerbang sekolah di meja depan. Kang Madun lagi caw ke rumah, anaknya minta dianter pergi. Ada keperluan. Sana lo buka aja.”

Jayen tersenyum hambar.

“Yah, Mak. Nggak jadi praktek adegan film romantis dong saya.”

“Ya, emang kaga perlu! Sana atuh ih, cepetan.”

Usiran dari Mak Nani membuat Jayen melangkahkan kakinya dengan berat hati untuk membuka gembok gerbang sekolah.

Seharusnya Jayen senang. Ia tidak perlu memanjat tembok, juga tidak perlu membuat seragamnya terkena jejak tanah karena sepatu Jeehan. Tapi, nyatanya Jayen sedikit kecewa. Gugur sudah khayalan tingginya tadi.

“Jee, sini,” pangggil Jayen dengan suara yang sengaja ia pelankan. Khawatir ada guru atau staff lain dapat mendengar.

Jeehan, perempuan yang sedang mengerutkan alisnya itu segera berlari masuk ke dalam pagar yang dibuka kecil oleh Jayen.

”Thank you!” ucap Jeehan sambil menepuk pundak Jayen. Lalu ia berjalan dengan cepat melewati Jayen yang masih terdiam dengan senyum tipisnya.

Jayen sudah akan mengikuti langkah Jeehan menuju kelas sebelum sebuah interupsi dari seseorang memberhentikan langkah keduanya.

“Jeehan, kamu baru dateng? Kenapa telat? Jayen? Tas kamu mana?”

Suara Bu Tini, guru BK sekolah.

Ck. Mampus gue.


08.40 am. Lapangan sekolah.

“Hormat yang benar!” tegur Bu Tini dengan suara yang keras. Tentu saja tertuju kepada sepasang pemuda-pemudi yang saat ini memberi hormat untuk bendera merah putih yang berkibar dengan gagahnya.

“Iya, Bu,” jawab keduanya berbarengan.

Jeehan mengeluh pelan. Keringatnya mulai bercucuran di wajahnya, namun terlihat tidak mengganggunya sama sekali. Jayen melirik gadis itu dari ujung matanya.

“Kenapa lirik-lirik?” tanya Jeehan secara tiba-tiba.

Jeehan itu peka. Sangat. Dan Jayen sebenarnya belum tahu pasti tentang hal itu.

“Nggak papa. Bingung aja. Kok lo tetep cantik. Meski keringetan,” jawab Jayen tanpa dibumbui kebohongan sedikit pun.

Jeehan hanya mendengus pelan. Baginya sudah hal yang biasa mendengar Jayen yang selalu mengatakan hal-hal seperti pujian dengan sangat gamblang

By the way, sekali lagi makasih. Dan juga maaf. Karena gue, lo jadi ikutan dihukum,” ucap Jeehan dengan tatapan yang masih fokus pada bendera. Tidak menoleh sama sekali.

Jayen tersenyum. Teriknya sinar matahari yang terasa seperti tepat di atas kepala mereka seketika terasa hangat. Jayen tidak membalas, ia hanya menunduk, belum berniat menghilangkan senyum di bibirnya.

“Nggak usah senyum terus. Aneh. Lagi dijemur gini, lo malah nyengir.”

“Selama ada lo di sini, gue gapapa deh dijemur terus.”

Jeehan mengernyitkan alisnya.

“Geli lo.”

Satu kata yang sebenarnya berisikan cacian, namun malah membuat senyum Jayen lebih lebar lagi.

“Tau nggak, Jee, kenapa gue mau bantuin lo?”

“Kenapa?”

Bahkan ketika gadis itu mengajukan pertanyaan, tatap matanya tidak teralihkan dari bendera.

Ya, Jeehan dengan konsistensinya.

“Gue nggak mau lo nggak nepatin jadwal yang lo buat. Hari ini jadwal temenin gue latihan piano, kan? Jadi, lo harus dateng ke sekolah.”

Jeehan mengatupkan mulutnya sementara pikirannya mencerna maksud dari cowok di sampingnya.

“Itu mah emang lonya aja yang nggak mau jadwal hari ini batal,” kata Jeehan dengan nada yang sedikit sinis.

Jayen malah tertawa mendengarnya.

“Iya, itu juga termasuk, sih. Tapi ya, Jee, gini. Gue tau lo suka males, tapi gue juga tau lo tipe yang kegiatan harian lo itu terjadwal. Entah di note atau di otak lo.”

Perkataan Jayen barusan berhasil membuat ekspresi bingung kentara di wajah Jeehan.

“Kita kenal dari setahun lalu, terus gue engeh aja sama kebiasaan lo. Jangan mikir yang aneh-aneh. Gue bukan penguntit.”

“Gue cuma suka aja. Sama kebiasaan-kebiasaan lo. Lucu.”

Jayen Velio, May 2022.

SMAN Narasha, XI MIPA 2, 08.20 am.

Jayen berlari cepat setelah membaca pesan WhatsApp dari Jeehan, perempuan yang kehadirannya pagi ini ia pertanyakan.

Jayen tahu betul seperti apa kebiasaan Jeehan. Perempuan itu memang bukan tergolong anak yang rajin, namun Jayen pastikan Jeehan tidak akan pernah berani bolos. Jayen tahu seperti apa sifat disiplin yang diterapkan seluruh keluarga Jeehan.

Cah lanang! Mau ngapain itu weh bangku mak ditarik-tarik ke situ?” seru Mak Nani dengan heboh saat tiba-tiba Jayen menarik kursi panjang kayu milik warungnya untuk merapat ke arah tembok.

“Bentar, Mak. Cewek saya kejebak macet tadi, jadi ketinggalan di depan ini. Gerbangnya udah ditutup, kan, sama Kang Madun.” balas Jayen dengan gerakan tubuhnya yang segera menaiki kursi tersebut. Jayen berniat untuk meloncati tembok yang sebenarnya tidak terlalu tinggi ini. Lalu membantu Jeehan dari sana untuk memanjat tembok. Perempuan itu pasti kesusahan karena memakai rok, jadi Jayen akan membantunya.

Imajinasi cowok itu sudah melayang tinggi. Bagaimana Jeehan akan menaiki pundaknya dan menatap dirinya dengan senyuman manis lalu memberikannya ucapan “Terima kasih”, semua itu sudah memenuhi pikirannya. Dan tanpa sadar, wajahnya menyunggingkan senyum.

“Lo ngapain senyum-senyum, heh, Kasep!

Belum sempat Jayen membalas seruan dari Mak Nani, kalimat selanjutnya mampu membuat seluruh khayalannya runtuh detik itu juga.

“Lo nggak usah manjat-manjat, Cah. Noh, kunci gerbang sekolah. Kang Madun lagi caw ke rumah, anaknya minta dianter pergi. Ada keperluan. Sana buka aja.”

Jayen tersenyum hambar.

“Yah, Mak. Nggak jadi praktek adegan film romantis dong saya.”

“Ya, emang kaga perlu! Sana atuh ih, cepetan.”

Usiran dari Mak Nani membuat Jayen melangkahkan kakinya dengan berat hati untuk membuka gembok pagar sekolah.

Seharusnya Jayen senang. Ia tidak perlu memanjat tembok, juga tidak perlu membuat seragamnya terkena jejak tanah karena sepatu Jeehan. Tapi, nyatanya Jayen sedikit kecewa. Gugur sudah khayalan tingginya tadi.

“Jee, sini.” pangggil Jayen dengan suara yang sengaja ia pelankan. Khawatir ada guru atau staff lain dapat mendengar.

Jeehan, perempuan yang sedang mengerutkan alisnya itu segara berlari masuk ke dalam pagar yang dibuka kecil oleh Jayen.

”Thank you!” ucap Jeehan sambil menepuk pundak Jayen. Lalu ia berjalan dengan cepat melewati Jayen yang masih terdiam dengan senyum tipisnya.

Jayen sudah akan mengikuti langkah Jeehan menuju kelas sebelum sebuah interupsi seseorang memberhentikan langkah keduanya.

“Jeehan, kamu baru dateng? Kenapa telat? Jayen? Tas kamu mana?”

Suara Bu Tini, guru BK sekolah.

Mampus gue.


08.40 am. Lapangan sekolah.

“Hormat yang benar!” tegur Bu Tini dengan suara yang keras. Tentu saja tertuju kepada dua pasang pemuda-pemudi yang saat ini memberi hormat untuk bendera merah putih yang berkibar dengan gagahnya.

“Iya, Bu.” jawab keduanya berbarengan.

Jeehan mengeluh pelan. Keringatnya mulai bercucuran di wajahnya, namun terlihat tidak menganggunya sama sekali. Jayen menatap gadis itu dari ujung matanya.

“Kenapa lirik-lirik?” tanya Jeehan secara tiba-tiba.

Jeehan itu peka. Sangat. Dan Jayen belum tau tentang hal itu.

“Nggak papa. Lo cantik. Meski keringetan.” jawab Jayen tanpa dibumbui kebohongan sedikit pun.

Mendengar itu, Jeehan hanya mendengus pelan. Baginya sudah hal yang biasa mendengar Jayen yang selalu mengatakan hal-hal seperti pujian dengan sangat gamblang

By the way, sekali lagi makasih. Dan juga maaf. Karena gue lo jadi ikutan dihukum.” ucap Jeehan dengan tatapan yang masih fokus pada bendera. Tidak menoleh sama sekali.

Jayen tersenyum. Panasnya matahari yang terasa seperti tepat di atas mereka seketika menjadi hangat. Jayen tidak membalas, ia hanya menunduk, belum berniat menghilangkan senyum di bibirnya.

“Nggak usah senyum terus. Aneh. Lagi dijemur gini, lo malah nyengir.”

“Selama ada lo di sini, gue gapapa deh dijemur terus.”

Jeehan mengernyitkan alisnya.

“Geli lo.”

Satu kata yang sebenarnya berisikan cacian, namun malah membuat senyum Jayen lebih lebar lagi.

“Tau nggak, Jee, kenapa gue mau bantuin lo?”

“Kenapa?”

Bahkan ketika gadis itu mengajukan pertanyaan, tatap matanya tidak teralihkan dari bendera.

Jeehan dengan konsistensinya.

“Gue nggak mau lo nggak nepatin jadwal yang lo buat. Hari ini jadwal temenin gue latihan piano, kan? Jadi, lo harus dateng ke sekolah.”

Jeehan mengatupkan mulutnya sementara pikirannya mencerna maksud dari cowok di sampingnya.

“Gue tau lo suka males, tapi gue juga tau lo tipe yang kegiatan harian lo itu terjadwal. Entah di note atau di otak lo.”

Perkataan Jayen barusan berhasil membuat ekspresi bingung kentara di wajah Jeehan.

“Kita kenal dari setahun lalu, terus gue engeh aja sama kebiasaan lo. Jangan mikir yang aneh-aneh. Gue bukan penguntit.”

“Gue cuma suka aja. Sama kebiasaan-kebiasaaan lo.”

Jayen Velio, May 2022.

Kedua kakiku melangkah gontai memasuki gerbang tinggi yang memisahkan dua karakter di dalam diriku. Kinan si anak malang dan Kinan si permaisuri sekolah.

Ya, ini aku, Kinan Senaridwipta. Siswi kebanggaan sekolah dan seisinya. Siswi yang dikenal sebagai ‘si paling sempurna’. Namun, juga merupakan anak yang diam-diam selalu merasa kesepian dan mulai melupakan definisi rumah yang sesungguhnya.

“Kak Kinan!” teriakan seorang lelaki seketika membuyarkan lamunanku dan merubahnya menjadi ukiran senyum manis di wajahku. Aku menoleh dan netraku menangkap pemilik suara itu. Sepertinya adik kelasku, karena aku sendiri pun tidak merasa mengenali wajahnya.

“Happy valentine’s day, Kak Kinan. Hehe. Ini ada cokelat buat Kakak. Dimakan ya,” seru laki-laki yang baru kuketahui namanya setelah melihat name-tag di saku seragamnya. Namanya Devan. Laki-laki dengan mata bulat dan senyum yang lebar.

Belum sempat aku menjawab, Devan sudah melangkah pergi menjauh bersama teman-temannya. Dan sebelum aku melanjutkan langkahku, sebuah tepukan di bahuku menginterupsiku untuk berhenti melangkah lagi. “Kinan.” Kedua kalinya, aku menoleh dan refleks tersenyum.

“Ni, buat lo. Selamat tanggal empat belas.” Kali ini aku tahu siapa pelakunya. Namanya Reyyan, salah satu teman seangkatanku.

“Makasih, Rey,” jawabku sempurna dengan senyum manis yang masih melekat indah di wajahku.

“Sama-sama, Cantik.” Senyum Reyyan terbit di wajah pucatnya sebelum akhirnya dia menghilang bersama sekelompok siswa yang mulai berdatangan.

Kakiku melangkah pasti memasuki pintu kelas. Semua netra di dalam kelas sudah menempatkan perhatian mereka kepadaku sejak awal. Tentu saja karena melihat tumpukan berbagai macam bentuk kotak cokelat valentine di kedua tanganku. Zara, teman sebangkuku spontan berdiri dari tempatnya dan berjalan cepat untuk membantuku membawa cokelat-cokelat ini.

“Kacau ya emang, baru jam 7 pagi dan cokelat valentine lo udah sebanyak itu. Emang enggak diragukan lagi deh popularitas lo, Ki,” ujar Tara yang kemudian disusul anggukan dan tawa dari siswa lain di dalam kelas ini. Aku hanya tersenyum manis—seperti biasa, di depan mereka.

“Ya gimana ya, Tar, Kinan cantik, pinter, ramah, udah gitu orang kaya lagi. Ki, Ki, gue enggak iri sih, cuma heran kok ada ya orang sesempurna lo? Gue kira cuma ada di cerita fiksi doang.” Amara ikut menambahkan komentar sambil melihat ke arahku.

“Pujian lo berlebihan, Ra.” Hanya itu respon yang dapat aku berikan. Karena nyatanya, pujian yang aku terima dari mereka, tidak dapat mengisi relung hatiku yang sangat merindukan tulusnya kasih sayang. Mereka semua boleh memujiku karena banyak orang memberiku cokelat dan kata-kata manis hari ini. Tapi, mereka tidak tahu, bahwa sebenarnya bukan itu yang hatiku butuhkan.

Tidak ada satu pun orang yang sempurna di dunia ini.

“Mama lo di rumah enggak? Ada ngucapin apa gitu?” tanya Zara sambil menyimpan handphone-nya ke dalam tas. Aku menggelengkan kepalaku menjawab pertanyaan Zara yang aku yakini, dia sendiri sudah tahu jawabannya. Zara tahu bagaimana orangtuaku di rumah. Zara tahu bahwa aku tidak sesempurna itu. Namun, apa yang bisa ia perbuat?

Tidak ada yang spesial dan tidak akan ada yang berubah. Jika aku mampu membuat hariku selalu tanggal empat belas februari pun, kedua orangtuaku tidak akan memelukku seperti kebanyakan orangtua lain lakukan di hari kasih sayang ini. Hariku akan tetap sama. Hampa.

“Ki, nanti sore kelas XII IPA 2 ada sparring basket lawan XII IPS 1. Lo dateng nonton, kan?” Pertanyaan itu hadir begitu saja di antara aku dan Zara. Aku mengangguk. “Dateng dong, gue mau nonton.” Tyo, kapten basket kelasku, mengacungkan kedua ibu jarinya setelah aku menjawab ajakannya.

Aku tidak bermain basket. Aku hanya menyukai melihat bagaimana sekelompok orang itu rela bermandikan keringat untuk memasukkan sebuah bola ke dalam ring. Aku tidak pernah mengerti apa yang akan didapatkan mereka selain sorakan dari penonton di pinggir lapangan.


Aku masih di sini. Duduk sendiri di tribune keempat dari depan. Pertandingan basket antar kelas itu telah usai sejak satu jam lalu. Aku tidak mempunyai minat untuk pergi. Tatapan kosongku masih setia memperhatikan beberapa siswa laki-laki yang masih duduk mengeringkan tubuh penuh keringat mereka di pinggir lapangan.

Suara desah angin kecil yang menyapa rambutku membuat aku tanpa sadar tenggelam dalam lamunanku. Tenggelam dalam deretan pertanyaan yang tidak pernah mendapatkan jawaban. Aku mendongak untuk menatap langit senja yang mulai berubah warna. Mulai merapalkan pertanyaan-pertanyaan itu dalam hatiku.

Jika bumi mempunyai poros yang berputar, jika langit mempunyai siang dan malam, jika hujan memiliki petir dan pelangi, lantas mengapa aku tidak memiliki sinar matahari hangat yang memelukku? Mengapa malam yang aku miliki bahkan tidak mampu membuatku terlelap dengan tenang? Mengapa aku tidak diperbolehkan untuk bertemu pelangi?

Pertanyaan itu tidak pernah keluar dari bibirku. Karena aku tahu, aku tidak dapat menemukan jawabannya. Aku menarik panjang napasku. Berusaha sekuat tenaga menahan air mata itu untuk tidak terjatuh di tempat umum. Namun, ketika pandanganku kembali ke lapangan, aku baru menyadari, hanya diriku yang tersisa di dalam stadion sederhana sekolahku ini. Aku sendirian.

Tanganku sudah akan bergerak untuk mengusap wajahku yang sedari tadi memerah karena menahan tangis. Tapi tiba-tiba, hadirnya sebuah sapu tangan berwarna cokelat susu di hadapanku spontan membuat gerakanku terhenti. Netraku menelusuri seperti apa rupa dari pemilik tangan yang terulur ini.

Matanya menatap balik pada netraku, dan aku mengenalinya. Ini Zeran, salah satu pemain basket dari kelas XII IPS tadi. Zara pernah beberapa kali menyebut namanya karena parasnya yang terkesan dingin dan mengintimidasi membuatnya cukup dikenali warga sekolah.

Belum sempat aku membuka mulutku, Zeran mengambil alih kursi kedua di sebelah kananku. Ia memberi jarak dengan satu kursi kosong di antara kami. Tangannya meletakkan sapu tangannya begitu saja di atas kedua pahaku.

Aku menoleh menghadapnya. Menunggunya berbicara untuk mengetahui alasan dia memilih duduk di sini sementara teman-temannya sudah pergi. Zeran memiliki rahang yang tegas, tatapnya lurus ke arah depan. Lalu bibirnya terbuka. “Nangis aja. Udah enggak ada orang. Anggap gue enggak liat lo.”

“Kalau lo risih, gue bisa pergi dan lo bisa balikkin sapu tangan gue besok.” Lanjutnya.

Dengan gerakan cepat setelah mengahalau rasa terkejutku, aku menarik ujung seragamnya untuk tetap duduk. “Enggak apa-apa di sini aja. Gue lagi enggak mau sendiri.”

Entah dorongan dari mana, tapi aku rasa kali ini aku butuh ditemani. Aku tidak ingin menangis lagi. Aku hanya butuh waktu untuk sejenak melupakan rasa kesepian yang tidak jarang diam-diam membunuhku.

Zeran menurut. Laki-laki itu kembali duduk tenang di kursinya tanpa mengatakan apa pun kepadaku. Namun, setelah lima belas menit berlalu, setelah hatiku sudah tenang dengan sendirinya, Zeran membuka mulutnya untuk mengatakan kalimat yang tidak pernah kusangka akan keluar dari bibirnya.

“Kapan pun lo cape, harusnya lo nangis.” Kalimat pertama sukses sedikit memberi efek tersentak pada tubuhku.

“Kapan pun lo ngerasa semesta enggak adil, harusnya lo ngeluh.” Kalimat kedua sukses membuat hatiku seperti tertampar.

“Kapan pun lo muak berpura-pura, harusnya lo berhenti.” Kalimat ketiga sukses membuat mataku mulai terasa panas.

“Lo manusia. Bukan boneka. Bukan robot. Bukan malaikat. Lo enggak harus selalu terlihat sempurna.” Kalimat keempat sukses membuat satu tetes air mataku mengalir tanpa izin dari tempat persembunyiannya.

“Dunia emang kadang enggak adil, dan lo boleh protes. Bukan malah bertingkah seakan dunia selalu adil sama lo.” Kalimat kelima sukses membuat mataku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa lelah dan rasa sakitku. Air mataku mengalir deras membasahi kedua pipiku dengan seenaknya. Tanganku mencengkram sapu tangan berwarna cokelat miliknya tanpa berniat untuk menggunakannya.

Aku menangis … Di tempat umum … Di depan laki-laki yang netranya masih menatap tajam ke arah depan … Seakan tidak melihatku. Laki-laki yang seingatku, baru kali ini berbicara berdua denganku.

Aku menumpahkan semuanya di antara jingganya langit senja dan sunyinya stadion ini. Aku membiarkan air mataku berbicara seberapa lelahnya aku dengan keadaan yang aku alami beberapa tahun belakangan. Aku membiarkan air mataku mengalir membawa semua kenangan pahit yang terekam jelas oleh penglihatanku. Aku menaikkan lututku untuk bertemu dengan dahiku lalu mengenggelamkan wajahku di selanya. Memori pahit itu selalu terputar kembali ketika aku memejamkan kedua mataku.

Aku tahu dengan pasti bagaimana kedua orangtuaku yang selalu sibuk dengan jadwal pekerjaan mereka masing-masing. Papaku seorang pebisnis dengan saham tertinggi kedua di Jakarta dan Mamaku seorang produser di dunia entertainment. Kami jarang sekali memiliki waktu libur yang serempak. Sekalipun libur nasional tiba dan keduanya berada di rumah, yang akan mengisi penglihatanku hanyalah rupa mereka yang saling berdebat menyuarakan pendapat dengan intonasi suara yang tinggi. Berdebat seakan aku tidak ada di antara mereka. Bertengkar seakan kehadiranku tidak pernah diharapkan.

Karena itu, aku tidak suka empat belas februari. Tanggal di mana semua orang merayakan hari kasih sayang bertepatan dengan aku yang hadir di dunia ini tujuh belas tahun lalu.

Ya, hari ini hari ulang tahunku, dan aku tahu semua orang melupakannya, termasuk Zara. Satu dunia dan seisinya hanya mengingat empat belas februari sebagai hari kasih sayang, bukan hari kelahiranku. Dan aku sudah terbiasa dengan hadirku yang tidak memiliki arti apa pun.

“Nih, minum.” Suara bariton Zeran memecah lamunanku. Aku baru menyadari bahwa Zeran benar-benar diam menemaniku saat aku hanya fokus dengan tangisanku. Tanganku menerima botol yang ia berikan lalu tersadar bahwa air mataku sudah berhenti mengalir. Aku menggunakan sapu tangan cokelat itu untuk menghapus jejak di pipiku. Dan aku akui, hatiku jauh lebih ringan saat ini. Entah karena kehadiran Zeran atau karena air mataku yang berhasil terjun bebas telah berhasil mewakilkan rasa sesak di dada.

“Makasih, An. Lain waktu, gue traktir lo makan.” Ucapan terima kasihku ternyata membuat Zeran menolehkan kepalanya untuk menghadapku sepenuhnya. Aku mengeluarkan ekspresi tanya kepadanya. Kenapa?

“Lo orang pertama yang manggil gue ‘An’.”

Zeran tersenyum. Seketika aura dingin dan intimidasinya lenyap begitu saja di mataku. Senyum manis Zeran membuatku merasa udara di sekitarku menghangat. Aku nyaman, dan dengan serakahnya aku ingin melihat senyum itu lagi.

“Dunia enggak pernah bener-bener jahat sama kita. Setiap cobaan atau garis takdir yang kita terima, Tuhan ciptakan lengkap dengan solusinya. Lo belum dapet aja. Mungkin karena lo belum berdamai sama diri lo sendiri?” tanya Zeran dengan intonasi yang lebih berseri dari sebelumnya.

“Lo yang paling tau, apa yang sebenernya hati lo mau. Jangan takut. Dunia enggak sekejam itu untuk orang-orang yang percaya kalimat sakral ‘akan ada pelangi setelah hujan’. Lo cuma harus belajar untuk lebih yakinin itu.” Setelah kalimatnya selesai, Zeran berdiri dan mengambil tas ranselnya yang sebelumnya ia letakkan begitu saja di antara kedua kakinya.

Aku memutuskan untuk mengeluarkan tanya yang sedari tadi hanya berputar di pikiranku. “Lo tau dari mana? Semua tentang gue yang selama ini gue sembunyiin?”

Zeran tersenyum. “Oh, lo beneran lupa, ya? Kita satu sekolah sejak SMP. Inget cowok yang nyamperin lo di balkon sekolah pas lo merasa ditinggal semua orang? Cowok yang ngasih lo betadine buat tangan lo yang luka karena mukulin loker bekas …”

Aku termenung. Daya ingatku bekerja keras untuk mengembalikan memori masa sekolah menengahku tiga tahun lalu. Alisku mengernyit karena ternyata aku tidak dapat menemukan potongan memori itu. Melihat ekspresi bingung di wajahku, Zeran tersenyum. “Itu gue. Maaf karena gue denger semua keluhan lo tanpa izin hari itu. Enggak usah dipaksa untuk inget.”

Sebelum berbalik untuk melangkah meninggalkanku dia berkata lagi, “makasih udah mau nangis, ya. Gue bukan salah satu fans lo. Jadi, gue pastiin besok gue udah lupa sama kejadian barusan.” Ia tersenyum namun tidak memberikanku kesempatan untuk berbicara. Tubuhnya berjalan selangkah demi langkah meninggalkanku yang masih diam di tempat.

Namun, siapa sangka, tepat satu langkah sebelum ia menuruni tribune ini, wajahnya menoleh ke belakang untuk menatap tepat pada kedua netraku. ”Oiya, happy birthday, Kinan. Selamat tujuh belas tahun.”

Dia tahu ulang tahunku, dan dia memberikanku ucapan hari itu.


Tak pernah sedetik pun terlintaa dalam benakku, juga dalam pikiranku, empat belas februari tahun itu menjadi pertama dan terakhir kalinya aku mendapat ucapan selamat ulang tahun dari orang lain selain Bi Nani.

Aku tidak tahu bahwa saat itu, kalimat Zeran akan menjadi kalimat pertama dan terakhir yang aku dengar darinya. Aku tidak tahu bahwa setelah hari itu, aku tidak akan bisa melihat senyum manis miliknya di mana pun aku mencoba mencarinya.

Zeran sudah terlelap dan terbaring tenang di bawah pijakan kakiku saat ini. Zeran menghilang bahkan sebelum aku menepati janjiku untuk mentraktirnya makan. Dia sudah pergi, kembali ke Penciptanya, sebelum aku memintanya untuk tersenyum lagi.

Empat belas februari satu tahun lalu, tepat setelah Zeran keluar dari parkiran motor stadion sekolah, hantaman dari kencangnya sebuah laju mobil berhasil membuat tubuh bugarnya bersimbuh darah dan jantungnya berhenti berdetak.

Hariku hancur lagi, An. Aku tidak bisa mensyukuri tanggal empat belas februari sebagai awal pertemuan kita. Karena nyatanya, empat belas februari juga merenggut kamu, semua nasihat kamu, yang bahkan belum sempat aku gapai sedikit pun.

Aku menunduk dan meletakkan buket bunga di dekat batu nisan yang bertuliskan namanya. “Zeran Araspati, terima kasih karena sempat hadir. Aku janji akan berusaha menjadi gadis yang lebih jujur dengan diriku sendiri. Aku janji akan melakukan apa yang kamu katakan padaku satu tahun lalu. Untuk aku, juga untuk kamu.”

-ayya. perfecltyfine.