aku dan empat belas februari
Kedua kakiku melangkah gontai memasuki gerbang tinggi yang memisahkan dua karakter di dalam diriku. Kinan si anak malang dan Kinan si permaisuri sekolah.
Ya, ini aku, Kinan Senaridwipta. Siswi kebanggaan sekolah dan seisinya. Siswi yang dikenal sebagai ‘si paling sempurna’. Namun, juga merupakan anak yang diam-diam selalu merasa kesepian dan mulai melupakan definisi rumah yang sesungguhnya.
“Kak Kinan!” teriakan seorang lelaki seketika membuyarkan lamunanku dan merubahnya menjadi ukiran senyum manis di wajahku. Aku menoleh dan netraku menangkap pemilik suara itu. Sepertinya adik kelasku, karena aku sendiri pun tidak merasa mengenali wajahnya.
“Happy valentine’s day, Kak Kinan. Hehe. Ini ada cokelat buat Kakak. Dimakan ya,” seru laki-laki yang baru kuketahui namanya setelah melihat name-tag di saku seragamnya. Namanya Devan. Laki-laki dengan mata bulat dan senyum yang lebar.
Belum sempat aku menjawab, Devan sudah melangkah pergi menjauh bersama teman-temannya. Dan sebelum aku melanjutkan langkahku, sebuah tepukan di bahuku menginterupsiku untuk berhenti melangkah lagi. “Kinan.” Kedua kalinya, aku menoleh dan refleks tersenyum.
“Ni, buat lo. Selamat tanggal empat belas.” Kali ini aku tahu siapa pelakunya. Namanya Reyyan, salah satu teman seangkatanku.
“Makasih, Rey,” jawabku sempurna dengan senyum manis yang masih melekat indah di wajahku.
“Sama-sama, Cantik.” Senyum Reyyan terbit di wajah pucatnya sebelum akhirnya dia menghilang bersama sekelompok siswa yang mulai berdatangan.
Kakiku melangkah pasti memasuki pintu kelas. Semua netra di dalam kelas sudah menempatkan perhatian mereka kepadaku sejak awal. Tentu saja karena melihat tumpukan berbagai macam bentuk kotak cokelat valentine di kedua tanganku. Zara, teman sebangkuku spontan berdiri dari tempatnya dan berjalan cepat untuk membantuku membawa cokelat-cokelat ini.
“Kacau ya emang, baru jam 7 pagi dan cokelat valentine lo udah sebanyak itu. Emang enggak diragukan lagi deh popularitas lo, Ki,” ujar Tara yang kemudian disusul anggukan dan tawa dari siswa lain di dalam kelas ini. Aku hanya tersenyum manis—seperti biasa, di depan mereka.
“Ya gimana ya, Tar, Kinan cantik, pinter, ramah, udah gitu orang kaya lagi. Ki, Ki, gue enggak iri sih, cuma heran kok ada ya orang sesempurna lo? Gue kira cuma ada di cerita fiksi doang.” Amara ikut menambahkan komentar sambil melihat ke arahku.
“Pujian lo berlebihan, Ra.” Hanya itu respon yang dapat aku berikan. Karena nyatanya, pujian yang aku terima dari mereka, tidak dapat mengisi relung hatiku yang sangat merindukan tulusnya kasih sayang. Mereka semua boleh memujiku karena banyak orang memberiku cokelat dan kata-kata manis hari ini. Tapi, mereka tidak tahu, bahwa sebenarnya bukan itu yang hatiku butuhkan.
Tidak ada satu pun orang yang sempurna di dunia ini.
“Mama lo di rumah enggak? Ada ngucapin apa gitu?” tanya Zara sambil menyimpan handphone-nya ke dalam tas. Aku menggelengkan kepalaku menjawab pertanyaan Zara yang aku yakini, dia sendiri sudah tahu jawabannya. Zara tahu bagaimana orangtuaku di rumah. Zara tahu bahwa aku tidak sesempurna itu. Namun, apa yang bisa ia perbuat?
Tidak ada yang spesial dan tidak akan ada yang berubah. Jika aku mampu membuat hariku selalu tanggal empat belas februari pun, kedua orangtuaku tidak akan memelukku seperti kebanyakan orangtua lain lakukan di hari kasih sayang ini. Hariku akan tetap sama. Hampa.
“Ki, nanti sore kelas XII IPA 2 ada sparring basket lawan XII IPS 1. Lo dateng nonton, kan?” Pertanyaan itu hadir begitu saja di antara aku dan Zara. Aku mengangguk. “Dateng dong, gue mau nonton.” Tyo, kapten basket kelasku, mengacungkan kedua ibu jarinya setelah aku menjawab ajakannya.
Aku tidak bermain basket. Aku hanya menyukai melihat bagaimana sekelompok orang itu rela bermandikan keringat untuk memasukkan sebuah bola ke dalam ring. Aku tidak pernah mengerti apa yang akan didapatkan mereka selain sorakan dari penonton di pinggir lapangan.
Aku masih di sini. Duduk sendiri di tribune keempat dari depan. Pertandingan basket antar kelas itu telah usai sejak satu jam lalu. Aku tidak mempunyai minat untuk pergi. Tatapan kosongku masih setia memperhatikan beberapa siswa laki-laki yang masih duduk mengeringkan tubuh penuh keringat mereka di pinggir lapangan.
Suara desah angin kecil yang menyapa rambutku membuat aku tanpa sadar tenggelam dalam lamunanku. Tenggelam dalam deretan pertanyaan yang tidak pernah mendapatkan jawaban. Aku mendongak untuk menatap langit senja yang mulai berubah warna. Mulai merapalkan pertanyaan-pertanyaan itu dalam hatiku.
Jika bumi mempunyai poros yang berputar, jika langit mempunyai siang dan malam, jika hujan memiliki petir dan pelangi, lantas mengapa aku tidak memiliki sinar matahari hangat yang memelukku? Mengapa malam yang aku miliki bahkan tidak mampu membuatku terlelap dengan tenang? Mengapa aku tidak diperbolehkan untuk bertemu pelangi?
Pertanyaan itu tidak pernah keluar dari bibirku. Karena aku tahu, aku tidak dapat menemukan jawabannya. Aku menarik panjang napasku. Berusaha sekuat tenaga menahan air mata itu untuk tidak terjatuh di tempat umum. Namun, ketika pandanganku kembali ke lapangan, aku baru menyadari, hanya diriku yang tersisa di dalam stadion sederhana sekolahku ini. Aku sendirian.
Tanganku sudah akan bergerak untuk mengusap wajahku yang sedari tadi memerah karena menahan tangis. Tapi tiba-tiba, hadirnya sebuah sapu tangan berwarna cokelat susu di hadapanku spontan membuat gerakanku terhenti. Netraku menelusuri seperti apa rupa dari pemilik tangan yang terulur ini.
Matanya menatap balik pada netraku, dan aku mengenalinya. Ini Zeran, salah satu pemain basket dari kelas XII IPS tadi. Zara pernah beberapa kali menyebut namanya karena parasnya yang terkesan dingin dan mengintimidasi membuatnya cukup dikenali warga sekolah.
Belum sempat aku membuka mulutku, Zeran mengambil alih kursi kedua di sebelah kananku. Ia memberi jarak dengan satu kursi kosong di antara kami. Tangannya meletakkan sapu tangannya begitu saja di atas kedua pahaku.
Aku menoleh menghadapnya. Menunggunya berbicara untuk mengetahui alasan dia memilih duduk di sini sementara teman-temannya sudah pergi. Zeran memiliki rahang yang tegas, tatapnya lurus ke arah depan. Lalu bibirnya terbuka. “Nangis aja. Udah enggak ada orang. Anggap gue enggak liat lo.”
“Kalau lo risih, gue bisa pergi dan lo bisa balikkin sapu tangan gue besok.” Lanjutnya.
Dengan gerakan cepat setelah mengahalau rasa terkejutku, aku menarik ujung seragamnya untuk tetap duduk. “Enggak apa-apa di sini aja. Gue lagi enggak mau sendiri.”
Entah dorongan dari mana, tapi aku rasa kali ini aku butuh ditemani. Aku tidak ingin menangis lagi. Aku hanya butuh waktu untuk sejenak melupakan rasa kesepian yang tidak jarang diam-diam membunuhku.
Zeran menurut. Laki-laki itu kembali duduk tenang di kursinya tanpa mengatakan apa pun kepadaku. Namun, setelah lima belas menit berlalu, setelah hatiku sudah tenang dengan sendirinya, Zeran membuka mulutnya untuk mengatakan kalimat yang tidak pernah kusangka akan keluar dari bibirnya.
“Kapan pun lo cape, harusnya lo nangis.” Kalimat pertama sukses sedikit memberi efek tersentak pada tubuhku.
“Kapan pun lo ngerasa semesta enggak adil, harusnya lo ngeluh.” Kalimat kedua sukses membuat hatiku seperti tertampar.
“Kapan pun lo muak berpura-pura, harusnya lo berhenti.” Kalimat ketiga sukses membuat mataku mulai terasa panas.
“Lo manusia. Bukan boneka. Bukan robot. Bukan malaikat. Lo enggak harus selalu terlihat sempurna.” Kalimat keempat sukses membuat satu tetes air mataku mengalir tanpa izin dari tempat persembunyiannya.
“Dunia emang kadang enggak adil, dan lo boleh protes. Bukan malah bertingkah seakan dunia selalu adil sama lo.” Kalimat kelima sukses membuat mataku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa lelah dan rasa sakitku. Air mataku mengalir deras membasahi kedua pipiku dengan seenaknya. Tanganku mencengkram sapu tangan berwarna cokelat miliknya tanpa berniat untuk menggunakannya.
Aku menangis … Di tempat umum … Di depan laki-laki yang netranya masih menatap tajam ke arah depan … Seakan tidak melihatku. Laki-laki yang seingatku, baru kali ini berbicara berdua denganku.
Aku menumpahkan semuanya di antara jingganya langit senja dan sunyinya stadion ini. Aku membiarkan air mataku berbicara seberapa lelahnya aku dengan keadaan yang aku alami beberapa tahun belakangan. Aku membiarkan air mataku mengalir membawa semua kenangan pahit yang terekam jelas oleh penglihatanku. Aku menaikkan lututku untuk bertemu dengan dahiku lalu mengenggelamkan wajahku di selanya. Memori pahit itu selalu terputar kembali ketika aku memejamkan kedua mataku.
Aku tahu dengan pasti bagaimana kedua orangtuaku yang selalu sibuk dengan jadwal pekerjaan mereka masing-masing. Papaku seorang pebisnis dengan saham tertinggi kedua di Jakarta dan Mamaku seorang produser di dunia entertainment. Kami jarang sekali memiliki waktu libur yang serempak. Sekalipun libur nasional tiba dan keduanya berada di rumah, yang akan mengisi penglihatanku hanyalah rupa mereka yang saling berdebat menyuarakan pendapat dengan intonasi suara yang tinggi. Berdebat seakan aku tidak ada di antara mereka. Bertengkar seakan kehadiranku tidak pernah diharapkan.
Karena itu, aku tidak suka empat belas februari. Tanggal di mana semua orang merayakan hari kasih sayang bertepatan dengan aku yang hadir di dunia ini tujuh belas tahun lalu.
Ya, hari ini hari ulang tahunku, dan aku tahu semua orang melupakannya, termasuk Zara. Satu dunia dan seisinya hanya mengingat empat belas februari sebagai hari kasih sayang, bukan hari kelahiranku. Dan aku sudah terbiasa dengan hadirku yang tidak memiliki arti apa pun.
“Nih, minum.” Suara bariton Zeran memecah lamunanku. Aku baru menyadari bahwa Zeran benar-benar diam menemaniku saat aku hanya fokus dengan tangisanku. Tanganku menerima botol yang ia berikan lalu tersadar bahwa air mataku sudah berhenti mengalir. Aku menggunakan sapu tangan cokelat itu untuk menghapus jejak di pipiku. Dan aku akui, hatiku jauh lebih ringan saat ini. Entah karena kehadiran Zeran atau karena air mataku yang berhasil terjun bebas telah berhasil mewakilkan rasa sesak di dada.
“Makasih, An. Lain waktu, gue traktir lo makan.” Ucapan terima kasihku ternyata membuat Zeran menolehkan kepalanya untuk menghadapku sepenuhnya. Aku mengeluarkan ekspresi tanya kepadanya. Kenapa?
“Lo orang pertama yang manggil gue ‘An’.”
Zeran tersenyum. Seketika aura dingin dan intimidasinya lenyap begitu saja di mataku. Senyum manis Zeran membuatku merasa udara di sekitarku menghangat. Aku nyaman, dan dengan serakahnya aku ingin melihat senyum itu lagi.
“Dunia enggak pernah bener-bener jahat sama kita. Setiap cobaan atau garis takdir yang kita terima, Tuhan ciptakan lengkap dengan solusinya. Lo belum dapet aja. Mungkin karena lo belum berdamai sama diri lo sendiri?” tanya Zeran dengan intonasi yang lebih berseri dari sebelumnya.
“Lo yang paling tau, apa yang sebenernya hati lo mau. Jangan takut. Dunia enggak sekejam itu untuk orang-orang yang percaya kalimat sakral ‘akan ada pelangi setelah hujan’. Lo cuma harus belajar untuk lebih yakinin itu.” Setelah kalimatnya selesai, Zeran berdiri dan mengambil tas ranselnya yang sebelumnya ia letakkan begitu saja di antara kedua kakinya.
Aku memutuskan untuk mengeluarkan tanya yang sedari tadi hanya berputar di pikiranku. “Lo tau dari mana? Semua tentang gue yang selama ini gue sembunyiin?”
Zeran tersenyum. “Oh, lo beneran lupa, ya? Kita satu sekolah sejak SMP. Inget cowok yang nyamperin lo di balkon sekolah pas lo merasa ditinggal semua orang? Cowok yang ngasih lo betadine buat tangan lo yang luka karena mukulin loker bekas …”
Aku termenung. Daya ingatku bekerja keras untuk mengembalikan memori masa sekolah menengahku tiga tahun lalu. Alisku mengernyit karena ternyata aku tidak dapat menemukan potongan memori itu. Melihat ekspresi bingung di wajahku, Zeran tersenyum. “Itu gue. Maaf karena gue denger semua keluhan lo tanpa izin hari itu. Enggak usah dipaksa untuk inget.”
Sebelum berbalik untuk melangkah meninggalkanku dia berkata lagi, “makasih udah mau nangis, ya. Gue bukan salah satu fans lo. Jadi, gue pastiin besok gue udah lupa sama kejadian barusan.” Ia tersenyum namun tidak memberikanku kesempatan untuk berbicara. Tubuhnya berjalan selangkah demi langkah meninggalkanku yang masih diam di tempat.
Namun, siapa sangka, tepat satu langkah sebelum ia menuruni tribune ini, wajahnya menoleh ke belakang untuk menatap tepat pada kedua netraku. ”Oiya, happy birthday, Kinan. Selamat tujuh belas tahun.”
Dia tahu ulang tahunku, dan dia memberikanku ucapan hari itu.
Tak pernah sedetik pun terlintaa dalam benakku, juga dalam pikiranku, empat belas februari tahun itu menjadi pertama dan terakhir kalinya aku mendapat ucapan selamat ulang tahun dari orang lain selain Bi Nani.
Aku tidak tahu bahwa saat itu, kalimat Zeran akan menjadi kalimat pertama dan terakhir yang aku dengar darinya. Aku tidak tahu bahwa setelah hari itu, aku tidak akan bisa melihat senyum manis miliknya di mana pun aku mencoba mencarinya.
Zeran sudah terlelap dan terbaring tenang di bawah pijakan kakiku saat ini. Zeran menghilang bahkan sebelum aku menepati janjiku untuk mentraktirnya makan. Dia sudah pergi, kembali ke Penciptanya, sebelum aku memintanya untuk tersenyum lagi.
Empat belas februari satu tahun lalu, tepat setelah Zeran keluar dari parkiran motor stadion sekolah, hantaman dari kencangnya sebuah laju mobil berhasil membuat tubuh bugarnya bersimbuh darah dan jantungnya berhenti berdetak.
Hariku hancur lagi, An. Aku tidak bisa mensyukuri tanggal empat belas februari sebagai awal pertemuan kita. Karena nyatanya, empat belas februari juga merenggut kamu, semua nasihat kamu, yang bahkan belum sempat aku gapai sedikit pun.
Aku menunduk dan meletakkan buket bunga di dekat batu nisan yang bertuliskan namanya. “Zeran Araspati, terima kasih karena sempat hadir. Aku janji akan berusaha menjadi gadis yang lebih jujur dengan diriku sendiri. Aku janji akan melakukan apa yang kamu katakan padaku satu tahun lalu. Untuk aku, juga untuk kamu.”
-ayya. perfecltyfine.