everyone's gone
Gara pernah sesekali melanggar perkataan yang sering ia dan Namira sebut setiap mereka berbincang, “Nggak perlu berdoa untuk selamanya, lah. Kan, sejatinya nggak ada yang selamanya di dunia ini. Yang penting kita usaha aja. Jangan saling meninggalkan.” Karena pada kenyataannya, dalam diam, dalam setiap malam sebelum kedua matanya terpejam, Gara selalu merapalkan doa agar Tuhan memberikan kata selamanya untuk hubungan dia dan Namira.
Mungkin sebagian atau banyak orang di sekitar Gara pernah merasa iri dengan bagaimana Tuhan memberikan jalan berliku yang selalu berhasil Gara dan Namira lalui dengan hati yang tetap terikat. Mungkin beberapa dari mereka juga merasa iri dengan Namira yang berhasil menjalin hubungan dengan Gara, lelaki yang dipuja banyak kaum hawa itu selama lima tahun.
Memiliki Namira di sisinya, Gara tidak pernah sekalipun merasa kesepian. Kehidupan Gara yang penuh tuntutan dari kedua orangtuanya tidak lagi terasa membebani kedua pundaknya sejak Namira memilih untuk membalas perasaannya. Namira dengan segala keistimewaannya, Namira dengan segala ke-berisikannya, Namira dengan segala pikiran acaknya, Gara suka. Dan itu cukup menjadi alasan dia memilih bertahan dalam alur hidup yang dibuat kedua orangtuanya.
Maka, setelah terhitung delapan hari Namira tidak ada di sisinya, setelah kedua mata Gara menatap kosong pada tubuh dingin Namira yang dikebumikan, Gara mulai kehilangan arah. Tubuhnya hanya berpindah tempat antara kamar tidur dan studio pribadi di apartemennya. Tanpa merasa bahwa keadaannya mulai mengkhawatirkan karena Gara membiarkan lambungnya tidak bekerja mengolah makanan.
Gara tidak menghiraukan gitar berwarna hitam miliknya di pojok ruang studio. Juga tidak memiliki minat untuk membereskan perangkat drum yang sudah tidak berbentuk karena ulahnya kemarin. Ya, Gara melampiaskan emosinya di dalam studio ini dua hari belakangan. Darah kering sudah membekas di beberapa jari tangannya.
Lelaki ini hancur, Namira.
Dengan tergesa namun tanpa tujuan, tangannya mengambil kunci mobil lalu bergegas meninggalkan Yeri dan Evan yang ditugaskan kedua orangtuanya memantau Gara di apartemen.
Gara tidak peduli apa yang akan dilakukan kedua sepupunya di belakang mobilnya yang melaju cepat. Gara hanya peduli pada hatinya. Rasanya hampa. Tanpa suara, tanpa udara. Walau Gara tahu, di dalam sana masih Namira. Gara merasa mati rasa.
Kedua kakinya menginjak pedal gas tanpa ragu. Jalan raya di depannya tidak ramai, seakan Tuhan mengizinkan Gara untuk memberi jejak dengan laju mobil di atas rata-rata. Lalu dengan segala emosi yang membuncah di hati, ujung matanya melirik pada kursi penumpang yang kosong di sampingnya.
“Kamu harusnya duduk di sini sekarang, Ra. Ini hari kedelapan dan kamu nggak ada sama aku. Kursi ini cuma punya kamu. Kamu harus pulang.”
Kemudian tanpa bisa lagi Gara tahan, sebelah tangannya memukul dada kirinya, tempat di mana aliran darah berporos di sana.
“Sakit, Ra. Dadaku sakit. Kamu kemana?”
Tidak lagi merasa sanggup untuk menatap jalan atau sekedar memegang stir mobil, Gara memberhentikan mobilnya di bahu jalan. Tepat di sebuah jembatan besar yang menghubungkan dua bagian Jakarta.
Kakinya melangkah keluar mobil dengan lemah. Lalu, di depan aliran sungai yang tenang, di bawah tabur bintang dan bulan purnama di langit, Gara menjatuhkan kedua lututnya. Kepalanya mengadah dengan kedua mata yang tidak lagi memiliki fokus.
“Ra, kamu bilang kamu bakal pulang, kan? Kamu bilang kita harus keliling dunia karena kamu mau pamerin aku, kan? Kamu bilang kamu sayang aku, Ra... tapi kenapa kamu nggak di sini?”
“Ini alesan kamu tadi pagi bilang… kalau aku harus terus bahagia dengan atau tanpa kamu, Ra? Kamu tau, ya, kalau kamu mau pergi? Kamu tau kalau kamu bakal ninggalin aku sendiri gini, Ra?” Senyum sarkah terbit di bibir tebal Gara malam ini. Senyuman pahit, penuh rasa sakit.
“Kamu tau, Ra, waktu kamu bilang kamu mau off karena pesawat kamu udah hampir berangkat, aku langsung telfon Cero. Aku minta tolong dia buat ajarin aku main piano, aku mau nyanyiin lagu yang terakhir kamu suka itu. Aku mau sambut kamu pulang pake lagu itu, Ra.”
Kalimatnya terjeda karena hatinya semakin terasa dicabik. Gara tidak lagi menahan air matanya untuk membasahi wajahnya. “Tapi, kenapa kamu pulangnya malah ke Tuhan, bukan ke aku?”
Kedua tangannya yang terluka karena sebelumnya Gara kepal, ia satukan di depan dadanya. Kepalanya menunduk dan kedua matanya terpejam, ingin meminta pada satu-satunya Pemilik keajaiban.
“Ya Tuhan, Gara udah berbuat baik sama Papa Mama. Gara udah nggak lagi jadi anak nakal. Gara udah nggak pernah buang-buang uang. Gara juga nggak pernah lagi ngerokok. Itu semua berkat Namira. Sekarang Gara minta hadiah boleh?”
“Gara minta Namira pulang ke Gara. Tolong... Gara nggak bisa kalau nggak Namira. Gara harus ketemu Namira.”
Setelah delapan hari Gara berusaha menerima kenyataan, setelah Gara berusaha untuk tidak menyesal membiarkan Namira pergi naik pesawat itu, setelah Gara berusah terlihat baik-baik saja di depan seluruh keluarganya, malam ini seluruh tenaga Gara total habis.
Tubuhnya terduduk lemah tepat di samping pembatas jembatan. Kedua mata merahnya menatap nalar pada langit malam yang sangat berkilau malam ini.
“Namira, aku itu sun, kamu flower. Aku nggak cocok sama bulan… sama bintang. Aku nggak bisa sendirian ditatap mereka dari atas sana kayak sekarang.” Gara menyipitkan kedua matanya seakan meniliti benda di langit. “Ah, jangan-jangan kamu juga lagi natap aku dari sana, ya, Sayang? Kamu pasti kangen aku juga, kan?”
Dengan kesadaran yang hampir hilang karena tenaga fisik dan batinnya terkuras habis, Gara melampirkan senyum.
“Namira sayang, I wanna stay with you. Forever and ever. Kamu jangan natap aku dari sana. Sini pulang, Ra, tatap aku di sini. Di depan aku. Aku kangen. Aku mau peluk.”
“Kalau kamu nggak ada, siapa yang bikinin aku kebab chicken lagi? Kalau kamu nggak ada, siapa yang aku ajak telfonan buat aduin Evan yang rese? Kalau kamu nggak di sini, gimana aku bisa bersinar, Namira?”
Gara tidak pernah menyangka Tuhan akan mengambil Namira secepat ini. Maka dari itu, tubuh dan pikirannya menolak untuk menerima kenyataan itu di memorinya. Gara tidak bisa dikejutkan dengan cara seperti ini.
Kedua kakinya bangkit untuk melangkah pelan menelusuri pembatas jembatan. Matanya tak henti untuk meminta jawaban Tuhan di atas langit. Air matanya tidak berhenti mengalir karena mulutnya sudah kehabisan kata untuk menceritakan sesakit apa hatinya saat ini.
Namiranya pergi. Meninggalkan dirinya sendirian. Gara tidak akan pernah mau menerima kenyataan itu. Namira tidak boleh membiarkannya sendirian.
Maka tepat jam dua belas lebih tiga menit, Tuhan mengabulkan permintaan Gara. Tuhan mengizinkan Gara untuk bertemu gadisnya, Namira.
Lelaki berjaket hitam itu tidak sempat menghindar saat secara mendadak sebuah cahaya lampu depan mobil menabrak kedua retinanya.
Mobil merah dari lawan arah yang dikendarai seorang lelaki mabuk itu menghantam tubuh Gara dengan keras sampai pembatas jembatan itu rusak. Begitu juga tubuh Gara.
Tubuh lelaki itu terjepit di antara kap mobil dengan besi pembatas jalan.
Saat itu juga, Tuhan memberi jawabannya. Gara dan Namira memang ditakdirkan bersama. Di alam yang lain pun, mereka tetap bersama.
Namira, kali ini, biar Gara yang pulang ke kamu.