113. ain’t afraid

Jeehan sedang sibuk mendengarkan dan memberikan fokusnya pada Jayen, lelaki yang sudah asik dengan piano di depannya.

Tidak banyak perbincangan yang terjadi ketika Jeehan memasuki ruangan ini. Jayen tidak banyak basa-basi seperti latihan sebelumnya. Cowok itu langsung menyuruh Jeehan untuk duduk memperhatikan permainan pianonya.

Jeehan tidak bertanya apa pun. Jayen sudah bilang kalau ia memiliki agenda acara setelah ini, dan itu cukup menjadi alasan kenapa cowok itu terkesan mempersingkat waktu latihan.

“Jee, kita nggak jadi ngomongin lirik lagu river flows in you sekarang, gapapa, kan?”

”Hah? Oh iya, gapapa, santai.” Jeehan sedikit terperanjat saat melihat Jayen yang sudah menutup bagian atas piano dengan kain yang disiapkan klub musik.

Jayen membalikkan posisi duduknya untuk menghadap Jeehan.

“Maaf nggak jadi hari ini, ya … .”

Jeehan terdiam beberapa saat. Selama Jayen sibuk mendekati dirinya, baru kali ini Jeehan melihat Jayen menatapnya dengan lembut. Tanpa ada gurat tawa atau meledek.

“Woi, Jeehan! Kenapa bengong?” Kali ini Jayen meninggikan suaranya.

Sorry sorry. Kan tadi gue udah jawab, gapapa,” ujar Jeehan.

Jayen terkekeh melihat ekspresi Jeehan yang sedikit menggerutu. Cowok itu tidak memindahkan tatapnya dari Jeehan. Menyadari hal itu, dengan cepat Jeehan menutup kedua matanya dengan jari-jari tangannya. Jeehan lupa, matanya masih sedikit bengkak karena terlalu banyak menangis semalam.

“Nggak usah ditutup. Telat. Gue udah liat dari tadi pagi,” kata Jayen dengan santainya.

“Ya, lo juga, sih, ngapain liat!”

“Kok marahnya ke gue? Gue liat, ya karena punya mata. Omelin yang bikin lo nangis dong.”

“Ck. Lo tau sesuatu, ya, dari semalem? Omongan lo yang tiba-tiba serius bikin gue suudzon,” cetus Jeehan.

“Nggak usah kepo,” balas Jayen dengan nada yang tidak kalah menyebalkan.

“Dih.” Jeehan memberi injakan cukup keras pada kaki Jayen sebelum tubuhnya bangkit berdiri.

Tawa Jayen terdengar bersamaan dengan lengan Jeehan yang ditarik cepat untuk kembali duduk oleh Jayen.

“Gue mau pulang. Katanya lo juga buru-buru, kan? Ayo.”

Jayen hanya menjawabnya dengan senyuman tipis. Kedua tangannya tanpa sadar masih memegang lengan Jeehan.

“Lo lagi dideketin cowok, ya? Tumben nggak banyak tingkah hari ini.”

Kalimat Jayen sontak membuat Jeehan terbelalak. “Apa hubungannya anjir?”

“Lagi dideketin cowok, kan, Jee?” tanya Jayen masih dengan senyum tipis di wajahnya.

“Iya,”

“Kan, lo. Yang deketin gue.”

Mungkin kalimat Jeehan terdengar sangat sederhana. Namun jangan salahkan jantung Jayen yang berdegup cepat setelah mendengar perkataan Jeehan.

“Selain gue?” Jayen perlu memastikan sendiri dari Jeehan, tentang Kama yang tiba-tiba datang menjemput Jeehan seperti yang Regan katakan.

“Nggak ada.”

“Jeehan …”

“Oh, lo abis liat reply-an di lapak gue, ya? Kama? Temen baru. Temennya temen gue. Anaknya emang suka bercanda,” ujar Jeehan dengan santainya. Bahkan tatapan matanya tidak menghindari mata Jayen.

“Anaknya emang suka bercanda? Udah sering ketemuan? Kok bisa?” tanya Jayen beruntun.

Tanpa sadar Jeehan mengulum senyumnya. “Nggak boleh kepo. Bukan pacar!” Lalu dengan cepat tubuhnya berdiri melangkah menuju pintu.

Tapi, siapa sangka, langkah Jayen yang jauh lebih besar itu berhasil menutup pintu ruang musik sebelum Jeehan berhasil keluar.

Jeehan mendengus malas. “Apa lagi?”

“Dia temen baru lo, atau emang mau macarin lo?”

“Opsi kedua, I guess?” Alis Jeehan bergerak naik untuk menggoda cowok dengan ekspresi serius di depannya.

“Nggak bakal bisa. Ada gue,” ujar Jayen dengan cepat.

Tawa Jeehan tumpah tepat di depan wajah Jayen yang ikut terkejut karena respon yang diberikan Jeehan. “Pfffttt, takut ya?”

Tubuh Jayen sedikit menjauh untuk melihat secara detail ekspresi yang Jeehan berikan. Gadis ini sedang meledeknya.

“Bukan takut, Jeehan. Cowok lain nggak akan sesabar gue ngadepin lo.”

Kekehan terbit lagi di wajah Jeehan. “Bagus deh kalau lo nggak takut. Soalnya—,”

“Soalnya lo mau liat gimana gue bersaing. Iya?” Jayen benar-benar memberikan ekspresi berbanding balik dengan Jeehan. Cowok itu sangat serius menanggapi ocehan Jeehan yang sebagian besar adalah candaan.

“Bukan. Soalnya, Kama nggak kalah menarik dari lo,” sahut Jeehan dengan senyum yang masih setia terpatri di wajahnya.

Kedua tangan Jeehan menepuk pelan bahu lebar milik Jayen. Lalu dengan senyum yang merekah, Jeehan berkata, “Jayen, in case you forget, I will say it to you. I’m not yours. And everyone allowed to love me.

Jayen mengerutkan kedua alisnya. “Jee, gue takut salah tangkep sama kalimat lo. Bisa nggak pake Bahasa Indonesia aja?”

“JAYEN.”