telat

SMAN Narasha, XI MIPA 2, 08.20 am.

Jayen berlari cepat setelah membaca pesan WhatsApp dari Jeehan, perempuan yang kehadirannya pagi ini ia pertanyakan.

Jayen cukup tahu seperti apa sifat Jeehan. Perempuan itu memang bukan tergolong anak yang rajin, namun Jayen pastikan Jeehan tidak akan pernah berani bolos. Jayen tahu seperti apa sifat disiplin yang diterapkan seluruh keluarga Jeehan.

Cah lanang! Mau ngapain itu weh bangku mak ditarik-tarik ke situ?” seru Mak Nani dengan heboh saat tiba-tiba Jayen menarik kursi panjang kayu milik warungnya untuk merapat ke arah tembok.

“Bentar, Mak. Cewek saya kejebak macet tadi, jadi ketinggalan masuk. Gerbangnya udah ditutup, kan, sama Kang Madun,” balas Jayen dengan gerakan tubuhnya yang dengan segera menaiki kursi tersebut. Jayen berniat untuk meloncati tembok yang sebenarnya tidak terlalu tinggi ini. Lalu membantu Jeehan dari sana untuk memanjat tembok. Perempuan itu pasti kesusahan karena memakai rok, jadi Jayen akan membantunya.

Imajinasi cowok itu sudah melayang tinggi. Bagaimana Jeehan akan menaiki pundaknya dan menatap dirinya dengan senyuman manis lalu memberikannya ucapan “Terima kasih”, semua itu sudah memenuhi pikirannya. Dan tanpa sadar, wajahnya menyunggingkan senyum.

“Lo ngapain senyum-senyum, heh, Kasep!

Belum sempat Jayen membalas seruan dari Mak Nani, kalimat selanjutnya mampu membuat seluruh khayalannya runtuh detik itu juga.

“Lo nggak usah manjat-manjat, Cah. Noh, kunci gerbang sekolah di meja depan. Kang Madun lagi caw ke rumah, anaknya minta dianter pergi. Ada keperluan. Sana lo buka aja.”

Jayen tersenyum hambar.

“Yah, Mak. Nggak jadi praktek adegan film romantis dong saya.”

“Ya, emang kaga perlu! Sana atuh ih, cepetan.”

Usiran dari Mak Nani membuat Jayen melangkahkan kakinya dengan berat hati untuk membuka gembok gerbang sekolah.

Seharusnya Jayen senang. Ia tidak perlu memanjat tembok, juga tidak perlu membuat seragamnya terkena jejak tanah karena sepatu Jeehan. Tapi, nyatanya Jayen sedikit kecewa. Gugur sudah khayalan tingginya tadi.

“Jee, sini,” pangggil Jayen dengan suara yang sengaja ia pelankan. Khawatir ada guru atau staff lain dapat mendengar.

Jeehan, perempuan yang sedang mengerutkan alisnya itu segera berlari masuk ke dalam pagar yang dibuka kecil oleh Jayen.

”Thank you!” ucap Jeehan sambil menepuk pundak Jayen. Lalu ia berjalan dengan cepat melewati Jayen yang masih terdiam dengan senyum tipisnya.

Jayen sudah akan mengikuti langkah Jeehan menuju kelas sebelum sebuah interupsi dari seseorang memberhentikan langkah keduanya.

“Jeehan, kamu baru dateng? Kenapa telat? Jayen? Tas kamu mana?”

Suara Bu Tini, guru BK sekolah.

Ck. Mampus gue.


08.40 am. Lapangan sekolah.

“Hormat yang benar!” tegur Bu Tini dengan suara yang keras. Tentu saja tertuju kepada sepasang pemuda-pemudi yang saat ini memberi hormat untuk bendera merah putih yang berkibar dengan gagahnya.

“Iya, Bu,” jawab keduanya berbarengan.

Jeehan mengeluh pelan. Keringatnya mulai bercucuran di wajahnya, namun terlihat tidak mengganggunya sama sekali. Jayen melirik gadis itu dari ujung matanya.

“Kenapa lirik-lirik?” tanya Jeehan secara tiba-tiba.

Jeehan itu peka. Sangat. Dan Jayen sebenarnya belum tahu pasti tentang hal itu.

“Nggak papa. Bingung aja. Kok lo tetep cantik. Meski keringetan,” jawab Jayen tanpa dibumbui kebohongan sedikit pun.

Jeehan hanya mendengus pelan. Baginya sudah hal yang biasa mendengar Jayen yang selalu mengatakan hal-hal seperti pujian dengan sangat gamblang

By the way, sekali lagi makasih. Dan juga maaf. Karena gue, lo jadi ikutan dihukum,” ucap Jeehan dengan tatapan yang masih fokus pada bendera. Tidak menoleh sama sekali.

Jayen tersenyum. Teriknya sinar matahari yang terasa seperti tepat di atas kepala mereka seketika terasa hangat. Jayen tidak membalas, ia hanya menunduk, belum berniat menghilangkan senyum di bibirnya.

“Nggak usah senyum terus. Aneh. Lagi dijemur gini, lo malah nyengir.”

“Selama ada lo di sini, gue gapapa deh dijemur terus.”

Jeehan mengernyitkan alisnya.

“Geli lo.”

Satu kata yang sebenarnya berisikan cacian, namun malah membuat senyum Jayen lebih lebar lagi.

“Tau nggak, Jee, kenapa gue mau bantuin lo?”

“Kenapa?”

Bahkan ketika gadis itu mengajukan pertanyaan, tatap matanya tidak teralihkan dari bendera.

Ya, Jeehan dengan konsistensinya.

“Gue nggak mau lo nggak nepatin jadwal yang lo buat. Hari ini jadwal temenin gue latihan piano, kan? Jadi, lo harus dateng ke sekolah.”

Jeehan mengatupkan mulutnya sementara pikirannya mencerna maksud dari cowok di sampingnya.

“Itu mah emang lonya aja yang nggak mau jadwal hari ini batal,” kata Jeehan dengan nada yang sedikit sinis.

Jayen malah tertawa mendengarnya.

“Iya, itu juga termasuk, sih. Tapi ya, Jee, gini. Gue tau lo suka males, tapi gue juga tau lo tipe yang kegiatan harian lo itu terjadwal. Entah di note atau di otak lo.”

Perkataan Jayen barusan berhasil membuat ekspresi bingung kentara di wajah Jeehan.

“Kita kenal dari setahun lalu, terus gue engeh aja sama kebiasaan lo. Jangan mikir yang aneh-aneh. Gue bukan penguntit.”

“Gue cuma suka aja. Sama kebiasaan-kebiasaan lo. Lucu.”

Jayen Velio, May 2022.