15. Ruangan.
Dua puluh menit berlalu dan Kak Rahmi belum juga kembali menemani Hanna di ruangan ini.
Sebetulnya Hanna dapat mengerti jika Kak Rahmi mungkin merasa tak nyaman berada di dalam sini. Dengan kondisi barang-barang besar milik divisi perlengkapak dan peralatan yang Hanna sendiri pun tidak tahu jenisnya itu terletak memenuhi setiap sudut ruangan. Ditambah lagi, hanya ada dua kipas angin dalam ruangan ini, semakin membuat suasananya jauh dari kata nyaman.
“Ini kalau nggak disogok Sushi Go, gue udah kabur juga dah,” keluh Hanna. Tangannya dengan cepat melepas jas almamater yang dikenakannya sejak pagi tadi.
Beruntung hari ini Hanna memakai kemeja berlengan pendek dan rok di atas lutut, sehingga angin dari kipas dapat menyapa kulitnya secara langsung.
Hanna sedang sibuk membaca timeline di akun Twitter sampai telinganya menangkap suara pembawa acara yang mengundang sahutan para mahasiswa.
“Adakah yang bisa menebak, setelah ini siapa yang akan memberikan sedikit inspirasi mahasiswa baru sebagai penutup kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru Universitas Central Jakarta hari ini? Clue-nya adalah seorang mahasiswa teladan dari fakultas hukum nih.”
Dari pintu kecil yang terbuka di sudut ruangan, Hanna dapat melihat sosok lelaki yang namanya akan segera dipanggil itu bersiap di sisi panggung. Rambutnya rapi, pundak lebarnya semakin terlihat gagah dengan almamater yang menyelimuti tubuhnya, lengkap dengan sebuah senyum sapa yang Hanna yakini menjadi senjata terbesarnya memikat wanita.
Ruangan utama gedung auditorium kampus terdengar ramai lantaran para mahasiswa baru mulai menebak-nebak siapa yang akan naik ke atas panggung.
Hanna ikut tersenyum begitu mendapati lelaki yang akan segera naik ke atas panggung itu tertawa kecil. Dia Mahen. Iya, Mahen Mirza Radeya, laki-laki yang dikenal hampir seluruh mahasiswa dan dosen karena sifatnya yang ramah dan otaknya yang pintar.
Begitu pun dengan Hanna. Gadis itu mengenal Mahen dari pembicaraan orang-orang di fakultasnya. Perbedaan fakultas hampir membuat Hanna tidak pernah melihat lelaki itu selama dua tahun terakhir. Apalagi sejak Mahen mengundurkan diri dari Badan Eksklusif Mahasiswa tiga bulan lalu, Hanna semakin jarang melihat laki-laki itu.
Tanpa Hanna sadari, kakinya berjalan maju menuju pintu untuk melihat Mahen lebih dekat.
“Baik, karena teman-teman semua sepertinya sudah penasaran, mari–,”
Pembawa acara itu tak terdengar melanjutkan kalimatnya saat secara bersamaan sebuah suara dentuman terdengar dari dalam ruangan sound system.
Mahen, yang berdiri paling dekat dengan pintu ruangan tersebut segera berlari ke dalam untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
“Aduh.”
Netranya menangkap seorang perempuan terduduk di lantai dengan lututnya yang terluka. Rambut panjangnya terurai sehingga Mahen tidak dapat menangkap jelas wajahnya.
Lalu Mahen secara spontan mendekat. ”Are you oke?”
”I’m fine.”
Hanna menganggukkan kepalanya saat menjawab pertanyaan yang tidak ia sangka berasal dari Mahen. Pandangannya kemudian beralih pada satu box sound system kecil yang terletak di sampingnya.
“Lo ngapain ada di tengah ruangan gini sih!? Nggak tau apa kalau bahaya?” ketus Hanna tertuju pada sound system tersebut. Dengan acuh, tubuhnya berusaha bangkit dari lantai.
Mahen tertawa kecil mendengar gadis itu mengomeli benda mati yang menjadi penyebabnya terjatuh. Lalu tangannya mencengkram lengan Hanna untuk membantunya berdiri.
”Let me help you. Sini, duduk di kursi. Be careful, pelan-pelan aja jalannya.”
Hanna bersumpah dalam hati, ia sangat merasa malu sekarang. Jika luka pada kakinya tidak terasa perih, pasti Hanna sudah berlari menjauh dari lelaki ini.
Bagaimana tidak? Ia terjatuh dengan konyol karena kesalahannya sendiri dan dibantu oleh seseorang yang menjadi sebab Hanna tidak memperhatikan langkahnya tadi.
“Han, speaker-nya kenapa mati? Lo kena—, what the!?”
Gia sudah akan mengomeli kecerobohan Hanna yang membuat pembawa acara menunggu di atas panggung karena mic-nya yang tiba-tiba tidak berfungsi. Tapi kalimatnya terpotong begitu ia mendapati luka di lutut sahabatnya itu.
Sementara Cadfael—wakadip bagian acara berjalan lurus untuk segera membenarkan kabel sound system yang ternyata sempat tertarik oleh Hanna.
“Lo kenapa anjir? Kenapa luka? Lo ngapain sih? Kok lecet gini lututnya?”
Diserang pertanyaan bertubi, Hanna menggelengkan kepalanya tanda ingin meminta Gia berhenti menanyainya sekarang. Ujung matanya melirik pada lelaki yang masih setia berdiri di sana, berusaha menyadarkan Gia bahwa Mahen ada di sini.
“Hen, makasih udah bantuin temen gue, tapi lo ditunggu pembawa acara di depan. Lo nggak lupa kan kalau lo harus speech?”
Yang dituju sempat membulatkan matanya lalu bergerak cekatan merapikan lengan almamaternya.
“Gue ke panggung dulu. Take care your friend. Lukanya dibersihin.”
Setelah laki-laki bernama Mahen itu berlalu dan meninggalkan wangi parfumnya di ruangan engap ini, dua sahabat di dalam ruangan itu saling melempar tatap.
“Anjir Hannaaaaaa!”